Pak Ahmad terduduk dan fokus mengoreksi hasil ulangan kelas XII IPA 1, seraya menunggu para siswa menyelesaikan tugas yang telah ia berikan.
Sebuah suara ketukan dari pintu berwarna hijau terdengar membuat seisi kelas termasuk Ani menoleh. Mendapati seorang lelaki yang tak pernah rapih. Siapa lagi kalau bukan Mars.
Pak Ahmad mengedarkan pandanganya dari ujung kaki hingga ujung kepala Mars.
Sukses mengukir kerutan pada dahinya.
"Eit... Ini anak sekolah apa anak punk. Rapiin dulu bajunya !"
Suruh Pak Ahmad. Mars dengan cepat merapikan pakaian nya beserta rambutnya yang acak - acakan.
Pak Ahmad memang terkenal dengan kedisiplinannya. Bahkan mata elangnya dapat mengukur panjang rok maupun celana dengan mata relanjang.
Mars mendekati Pak Ahmad yang sedang memperhatikannya. Mars bersalaman dengan guru itu. Mendekatkan mulut Mars tepat didepan kuping Pak Ahmad.
"Saya boleh pinjam Stevianinya ?"
Bisik Mars. Yang pasti diperhatikan dengan seksama oleh penghuni kelas. Walau tak dapat mereka dengar.
"Kamu nggak liat apa ?. Lagi ada tugas"
32 siswa melirik kagum Ani yang berjalan dan menumpuk hasil pekerjaannya. Sudah biasa Ani menumpuk tugas terlalu awal.
Lcc sudah seperti kawan lamanya.
Ketika Ani hendak berbalik menuju bangkunya sebuah tangan menahannya. Menghentikan niat Ani. Lagi - lagi 32 siswa kembali melayangkan tatapan kagum dan heboh.
Kini kedua orang itu saling bertatapan. Ani menyelisik tatapan Mars. Sepertinya ia ingin mengajaknya keluar kali ini. Ini bukan telepati, hanya saja perasaan.
"Ehemm !"
Sorak salah satu anak. Membuat anak yang lainya heboh bersama.
Ani yang menyadari dirinya tengah menjadi pusat perhatian dengan cepat melepaskan tangan Mars.
"Banyak yang liat"
Ucap Ani setengah berbisik. Ia paling benci ketika dirinya menjadi pusat perhatian masyarakat.
Dirinya takan bebas lagi bila terkenal.
Mars berdeham, memenarkan dasinya lalu menatap Pak Ahmad yang sedari tadi mengawasi kedua pasangan itu.
"Pak. Pinjem ya"
Mars memainkan kedua alisnya. Kemudian menarik Ani tanpa menghiraukan balasan Pak Ahmad atau bahkan keluh dakit dari cewek dibelakangnya.
***
"Duduk" Mars menepuk bangku disebelahnya.
Mempersilahkan cewek berwajah lesu itu duduk.
Ani hanya pasrah kepada orang didepannya. Ia terduduk disebuah taman sekolah yang kini sepi karena jam pelajaran baru saja dimulai sekitar 10 menit lalu.
"Kamu bolos yah ?"
Ani mencoba memecah rasa canggung dalam dirinya. Rasa lesu, rasa malas.
Tapi sepertinya Mars tidak mendukung niatnya. Membiarkan pertanyaan itu menua terkikis umur tanpa balasan.
Mars mengeluarkan obat merah dengan kapas putih.
Menaruh keduanya disamping Ani.
Tanpa perlu bertanya Ani sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Memang begitu banyak luka diwajah Mars. Luka itu sudah ada sejak kemarin, apa ia baru sempat mengobatinya sekarang ?.
Melihat lukanya saja sudah menumbuhkan ngilu yang luar biasa bagi Ani.
"Emang nggak bisa obatin sendiri ?"
Ketus Ani.
"Ya emang gue bisa liat wajah gue sendiri ?"
Ani mendengus kesal. Pilihan satu - satunya memang hanya pasrah. Cowok itu sangat jago menjawab perkataan orang lain.
Tapi mengapa harus menyelesaikan masalahnya dengan beradu ?.
Ani meneteskan obat merah pada kapas putih itu. Dan mulai mengolesnya pelan - pelan pada luka dibagian pelipis.
"Lo takut yah ?"
Ucap Mars mengulum tawa. Tentu saja ia bisa berkata seperti itu. Ani mengobati lukanya dengan pelan dan lembut namun sangat berlawanan dengan ukiran wajahnya yang meringis saat menempelkan kapas dan memitingkan mata ketika menggesernya.
"Nggak"
Jawab Ani dengan singkat.
"Lo kan penakut"
Ani melotot ketika mendengar itu. Ia menekan kapas nya pada luka dengan sengaja. Membuat cowok itu meringkih kesakitan.
"Aduh... Gue kan ngomong apa adanya"
Keluh Mars.
"Kapan gue takut ?. Gue gak pernah takut apa lagi sama lo"
"Mau bukti ?"tanya Mars
Ani menyekat rambutnya menghantarkannya kebelakang daun telinga.
Sebelum tangan nya kembali turun, Mars mengambil tangan nya dan memegangnya dengan erat.
Menjulurkan hangat nya tangan besar itu menuju pergelangan tangan putih yang kecil.
Ani hanya terdiam memejamkan matanya. Tak berani menunjukan wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus. Keduanya kini salah tingkah. Tak ada tatapan dari keduanya.
***
Bel sekolah berbunyi. Semua siswa menghela napas lega. Ani mengangkat tas pink nya, menghantarkan ke pundaknya. Semua siswa bertebaran keluar kelas.
Mars menghalangi jalan Ani.
"Lo bisa nemenin gue nggak hari ini ?"
Tanya Mars.
"Mau kemana ?"
Tanya Ani seray mencoba menyingkirkan Mars yang menghalanginya dipintu kelas.
Mars tak menanggapinya.
"Aku dah ditunggu kakak ku" katanya mendengus kesal.
"Ya udah gue ijinin"
Mars membalik badannya. Hendak berjalan menuju gerbang. Ani menghadang Mars dari depan.
"Eh. Tunggu... Gimana kalo besok ?." Beruntung Mars bisa dinegosiasi.
Ani sudah menegaskan dirinya untuk tidak terlalu dekat dengan Mars. Apalagi mengingat kejadian tadi. Mars terlalu dekat dengan batang hidungnya. Beruntung tuhan masih sayang sama Ani.
***
Langit yang semulanya cerah kini terselimuti awan. Ini sudah lewat satu jam dari bel sekolah. Ani menyekat rambutnya yang menutupi telinga.
Menempelkan benda gepeng berwarna hitam pada telinga. Menunggu sebuah jawaban yang rupanya tak pernah ada.
Ani terduduk di halte bus tanpa atap. Halte bus tua yang rapuh. Setia menunggu jemputan meski lumut mulai merambat.
Jangan sampai terbesit di otaknya untuk pulang jalan kaki. Kalau sistem zonasi sudah ada dari dulu. Ia yakin ia takan pernah diterima disekolah ini.
Tempat sudah mulai sepi. Hanya suara guntur yang menemani telinganya. Ani melihat jam tangan nya yang sudah menunjukan pukul 4. Dia memang pulang lebih sore hari ini. Mengambil sebuah ekstrakurikuler bahasa inggris selama 1 jam.
Ani mengangkat tangan nya mendapati rintikan hujan mulai turun. Hari juga mulai gelap. Terbesit rasa takut dalam dirinya. Tapi ia percaya, itu sedikit menepis nya.
Ketika air hujan mulai meraja lela Ani memutuskan untuk berteduh disalah satu rumah kosong. Ia tahu pasti rumah itu kosong.
Suara deruman sepeda motor terdengar kencang oleh kedua telinga Ani. Tampak Reza, teman Mars.
Menaiki motor besar diikuti Rendi dan Esa, badboy dari SMA tetangga. Seolah - olah Reza pemimpinnya.
Reza berhenti didepan Ani dengan pakaian mereka yang basah karena air hujan.
"Nwengg... Ada tempat nih" Reza menepuk jok belakang motornya. Ani berusaha menghiraukannya.
"Sikat aja bos!" Seru Esa. Cengengesan.
Reza turun dari motornya dengan senyum jahat hendak memeluk Ani. Sebelum benar - benar memeluknya dengan rapat Ani langsung menepis kedua tangan Reza dan menamparnya tepat pada pipi.
"Nggak sopan banget sih lo—" sebuah tamparan yang berkali - kali lipat lebih keras mendarat dipipi Ani.
Matanya berkaca - kaca. Tangannya meraba pipi yang memerah. Panas menjalar diwajahnya.
Rendi dan Esa menngenggamkan tangan lalu menempelkan dimulut. Mereka begitu menikmati pertunjukan walau kadang terbawa suasana dan berempati.
"Eh sorry sayang" ucap Reza manja. Sungguh menggelikan bagi seorang Ani. Cewek pendek sepertinya bukan berarti harga dirinya juga pendek.
Reza perlahan kembali memeluk Ani. Dengan cepat Ani menginjakan kakinya pada kaki Reza. Membuat nya menarik kaki tinggi - tinggi seraya lompat - lompat menahan sakit.
Ani memanfaatkan situasi seperti ini. Ia langsung kabur secepat kilat. Ia sudah tak mempedulikan hujan yang membasahi tubuhnya.
"BANGKE TUH CEWEK. KEJAR!!!"
Teriak Reza kesal memerintahkan.
Ani berlari menuju gang kecil. Ia akui, ia sangat takut kali ini. Sebuah besi tajam menggores kakinya. Mengeluarkan darah segar yang cukup banyak.
Ani terjatuh. Isakan kini terdengar dengan jelas. Bahkan suara nya lebih kencang dari pada suara hujan.
Tangannya gemetar ketika memegang kaki yang berdarah - darah. Menyekat air matanya dengan punggung tangan.
Ani mengesot kearah bak sampah yang cukup besar ketika suara deruman motor kembali terdengar.
Ia memeluk kedua kakinya. Berusaha sekuat mungkin untuk menahan isakan. Air hujan mengalir dari kepala hingga dagu. Menusuk dingin disekujur tubuh.
Sorotan lampu motor dapat ia lihat didepan sana.
Ani memejamkan matanya. Merundukan kepalanya.
Ani memberanikanndiri untuk membuka mata ketika motor itu tepat didepannya.
"Mars" panggil Ani lirih. Sebelum benar - benar menutup matanya.
***
"Mars. Mars. Sorry gue nggak tau, kalo dia punya lo!"
Mars tak mempedulikan perkataan Reza. Sebuah pukulan terlempar tepat dipelipis Reza. Membuatnya tersungkur dilantai.
Tak ada penonton kali ini. Mereka semua mengikuti upacara. Tapi tidak dengan kedua orang teman ini. Reza dan Mars sering bolos bersama, jahil bersama, nakal bersama. Tapi apa sekarang. Gelut bersama ?.
Mars menatap Reza dengan senyum kecil yang pasti palsu. Tatapan yang sangat Reza kenali.
Sudah terjamin Reza takan selamat bila ia tak melawan kali ini. Tatapan dengan bendera pertempuran.
Reza bangkit. Mereka beradu hantam.
Mars tak mau membiarkan orang yang disayanginya harus menderita.
Keduanya babak belur kali ini. Namun Reza masih dapat mengontrol diri. Reza memilih untuk kabur, melihat dirinya yang begitu hancur.
Seharusnya Mars juga begitu. Namun Mars sudah tidak dapat berpikir. Balas dendam lah yang ada dipikirannya.
Menurutnya peringatan itu tak ada artinya. Lebih baik pembalasan tanpa peringatan.
Mars terus mengejar Reza yang kuwalahan. Jujur saja Reza itu kuat. Tapi rasa sakit ditubuh Mars mati oleh rasa tak terima seorang Reza berani membuat Ani tak masuk 2 hari.
"PAK TOLONG !!"
Teriak Reza masih berlari. Kini Reza sengaja berlari kearah lapangan upacara yang tengah berlangsung.
Hanya guru yang dapat menolongnya saat ini. Ini sudah bukan Mars yang ia kenal. Ini iblis yang terobsesi untuk membunuh.
Semua guru yang tidak menghadiri upacara langsung memegangi Mars dengan kencang.
Memegangi Mars yang kesurupan.
"AN**NG LO. TANGGUNG JAWAB SAMA ANI—"
Mars belum menyelesaikan omongannya sebuah tamparan mendarat dipipinya.
Manik mata Ani tidak mendeteksi keberadaan Mars kali ini. Ani kesal dengan kelakuan Mars.
Ani mengusap wajahnya dengan napas tersendat.
Itulah Mars. Ia langsung menyimpulkan tanpa bukti yang nyata.
Ia pikir Ani tidak berangkat hari ini.
"Gue ijin berangkat siang"
Ucap Ani. Jujur saja Ani tidak membela keduanya. Jujur saja Ani masih benci dengan Reza yang semena - mena. Tapi melihat wajahnya yang lebih mirip dengan mayat hidup. Cukup menumbuhkan simpatinya.
Mars kini lebih tenang dari sebelumnya. Luka Mars lebih sedikit dari pada luka Reza. Para guru yang sedari tadi memegang erat tangan Mars kini melepasnya.
Mars berjalan keki. Seperti pohon yang akan tumbang. Memeluk Ani dengan erat.
"Biarin gue peluk lo dulu ya..."
Ucap nya tak berdaya.
Ani cukup peka kali ini. Mars sangat bermasalah kali ini. Mungkin ia ingin sesekali melepas penat kepalanya.
Hai. terimakasih udah baca. bantuin share ya. kalo ad typo di comment aja. nanti gue benerin kok. vote !.