Di rumah pak Irfandi,
Di depan kamar kanjeng ibu..
"Tuh kan dok, benar apa yang saya bilang, kanjeng ibu begitu, kalau kanjeng ibu bilang enggak, ya artinya enggak", kata Titah.
"Oh begitu ya bu Fandi", sambung dokter.
"Iya dok", kata Titah lagi.
"Lalu bagaimana saya bisa tau penyakit kanjeng ibu itu apa, kalau kanjeng ibu tidak mau di ambil darahnya", sambung dokter lagi.
"Haaaa saya ada ide, bagaimana untuk mewakili kanjeng ibu darah saya saja yang di ambil ya", kata Titah lagi.
"Ha..", sambung dokter yang heran.
Di dapur..
"Hati-hati ya sih potong daging ayamnya nanti berdarah", kata Paijo.
"Haduh mas jo", sambung Asih yang kesakitan, karena jarinya terkena pisau.
"Emm kan apa saya bilang, hati-hati Asih, berdarah kan tuh, sini saya isepin, biar darahnya mampet dan biar darahnya gak keluar terus", kata Paijo lagi.
"Enggak mau ah mas jo, nanti Asih hamil lagi", sambung Asih lagi.
"Uhuk uhuk.., eh lemot darimana sejarahnya cuma di isap jarinya kamu hamil, ha..", Paijo keselek saat minum, karena mendengar perkataan dari Asih.
"Emang gak bisa ya mas ?", tanya Asih.
"Ya enggak lah Asih, lagian juga ya darah merah begini saja sombong, gak pantas tau, yang pantas sombong itu kanjeng ibu, karena darah kanjeng ibu itu berbeda dengan kita", jawab Paijo.
"Loh memangnya darah kanjeng ibu warnanya apa mas ?", tanya Asih lagi.
"Warna darah kanjeng ibu adalah biru, makannya kanjeng ibu sering bilang keturunan darah biru", jawab Paijo lagi.
"Oh begitu ya mas", kata Asih.
"Iya.., tuh dengar tidak sih, suaranya kanjeng ibu, muach", sambung Paijo yang mengalihkan perhatian dari Asih yang kemudian mencolek pipinya sehingga seolah-olah Paijo mencium Asih.
"Ih, cie.., mas jo, diam-diam ingin mencium saya, cie..", kata Asih lagi.
"Lebay kamu, orang tangan juga, eeh cie cie..", sambung Paijo lagi.
Di depan kamar kanjeng ibu lagi..
"Untung saya pernah minta di ajarin oleh tetangga yang perawat dulu, kalau soal ambil darah Titah jagonya, sekarang tinggal panggil Paijo dan Asih untuk antar ke lab rumah sakit, Paijo, Asih", kata Titah.
"Inggih bu Fandi"
(Iya bu Fandi), sambung Paijo dan Asih.
"Yang tadi teriak kanjeng ibu ya bu Fandi ?", tanya Asih.
"Iya", jawab Titah.
"Tuh apa saya bilang yang teriak kanjeng, di kandani ra percaya", kata Paijo.
"Oh aya aya wae", sambung Asih.
"Wae wae ya", keluh Paijo.
"Hehe..", Asih tertawa.
"Hihi..", keluh Paijo lagi.
"Ah sudah, ini kamu kasih ke Asep", kata Titah lagi.
"Ini apa tuan mami ?", tanya Paijo.
"Itu stempel darah kanjeng ibu, jangan lupa kamu kasih ke Asep dan antar ke lab rumah sakit ya jo, dan kamu, Asih yuk ikut saya menemani kanjeng ibu di kamar" jawab Titah.
"Inggih bu Fandi"
(Iya bu Fandi), kata Asih.
"Emm tuan mami", sambung Paijo.
"Apa lagi sih jo ?", tanya Titah.
"Saya lupa, saya ingin memberitahu tuan mami, Asep kan cuti tuan mami, terus saya kasih darah ini ke siapa ?", tanya Paijo lagi.
"Oh iya, ya, Asep cuti, ya sudah begini saja kamu kasih ke Betta, suruh Betta antar ke lab rumah sakit", jawab Titah lagi.
"Siap tuan mami", kata Paijo lagi.
"Ya, Asih yuk, kamu, Betta", sambung Titah.
"Iya, iya, ngomel mulu", keluh Paijo lagi.
"Waduh, wah bisa malu saya dengan si Asih, kok warnanya merah, wah ada yang tidak beres nih kayanya nih, harus cepat saya beresin, haduh salah masuk", kata Paijo lagi.
Dan aku pun pergi kedapur untuk mencari pewarna makanan berwarna biru untuk ku campurkan dengan darah kanjeng ibu.
Di dapur lagi..
"Nah ini baru benar, darah kanjeng ibu, darah biru, cikiciew hehe", kata Paijo.
Lalu datang lah Betta dan aku segera memberikan darah kanjeng ibu kepadanya.
Masih di dapur..
"Nah ini dia, saya cari-cari, ke kolong meja, ke gorong-gorong gak ada kemana kamu, ngumpet ?", tanya Paijo.
"Apa sih jo, dari tadi saya cuci mobil kok di garasi, oh kamu tuh suka lebay, lebay, lebay nya kamu", jawab Betta.
"Ah berisik, berisik", keluh Paijo.
"Oh iya kamu di kasih tugas tuh sama tuan mami", kata Paijo.
"Tugas apa ?", tanya Betta.
"Ini kamu disuruh antar stempel darah kanjeng ibu ke lab rumah sakit", jawab Paijo.
"Waduh jo, jo, saya masih capek habis cuci mobil", kata Betta.
"Sstttsss sssttss", sambung Paijo.
"Aku ya dikasih istirahat dulu dong jo", kata Betta lagi.
"Ssstttss sssttss diam, berisik kamu ya, kalau dikasih tugas itu harus dikerjakan, mau dianterin atau saya pecat kamu", sambung Paijo lagi.
"Oh iya ngaterin jo, ngaterin", kata Betta lagi.
"Nah gitu dong ya sudah nih anterin, belum tau ya siapa saya ?", tanya Paijo lagi.
"Joya kan ?", tanya Betta juga.
"Itu tau..", jawab Paijo.
"Uh kaya majikan ya", kata Betta.
"Situ nurut saja", sambung Paijo.
"Lah situ yang ngomong", kata Betta lagi.
"Malah bentak kamu ya ha.., sekarang saya tanya sama kamu, yang pura-pura jadi majikan siapa ?", tanya Paijo lagi.
"Joya", jawab Betta lagi.
"Yang nurut siapa ?", tanya Paijo lagi.
"Betta", jawab Betta lagi.
"Terus yang salah, yang jadi majikan atau yang nurut ?", tanya Paijo lagi.
"Betta", jawab Betta lagi.
"Ya sudah, berarti yang salah ?", tanya Paijo.
"Betta", jawab Betta lagi.
"Ya sudah, gitu saja repot, sudah sana", kata Paijo.
"Salakatur..", keluh Betta.
"Sana salakatur, salakatur", keluh Paijo juga.
Di kamar kanjeng ibu..
"Tenang ya ibu, nanti kita tunggu hasil tesnya", kata Titah.
"Bukan gitu tah, seumur hidup baru kali ini ibu diambil darahnya, terus di tes di lab rumah sakit, ibu tuh takut kena sakit berat tah", sambung kanjeng ibu.
"Oh, tapi bukan sakitnya saja yang berat ibu", kata Titah lagi.
"Lah terus ?", tanya kanjeng ibu.
"Badannya", jawab Titah.
"Eh, hemm Titah..", keluh kanjeng ibu.
"Penyakit orang kaya itu memang berat-berat kanjeng ibu jantung,", kata Asih.
"Haaaa", kanjeng ibu ketakutan dengan yang Asih katakan.
"Tumor, struk, radang otak, kanker", kata Asih lagi.
"Haaaa Asih, stop, stop, stop, kamu berani nyumpahin saya", kanjeng ibu ketakutan dengan yang Asih katakan.
"Bukan nyumpahin kanjeng ibu, kalau nyumpahin itu seperti ini nih, kanjeng ibu, saya sumpahin kanjeng ibu terkena penyakit yang berat-berat seperti jantung, tumor, struk, radang otak, dan kanker, gitu kanjeng ibu", kata Asih lagi.
"Tah, tah, tah, Titah, nduk, tolong ibu, nduk, tolong hentikan Asih", sambung kanjeng ibu dengan memegang dadanya, karena sesak.
"Eeh Asih, Asih, stop jangan lagi kamu ini nyumpahin kanjeng ibu", kata Titah lagi.
"Habisnya bu Fandi sih gak mau contohin, jadinya Asih deh yang berikan contoh", sambung Asih.
"Aahh sudah-sudah, sekarang kamu pijitin kanjeng ibu", kata Titah lagi.
"Inggih bu Fandi"
(Iya bu Fandi), sambung Asih.
"Eh gak usah deh, itu ada telepon tolong kamu angkat ya, siapa tau dari rumah sakit", kata Titah lagi.
"Laksanakan bu Fandi", sambung Asih lagi.