Dalam beberapa detik Honey tak bereaksi. Ia masih melotot pada sosok yang muncul secara tiba-tiba itu. Terus memperhatikannya, seakan menunggu mahluk itu akan langsung menghilang dari hadapannya.
Namun tidak.
Akan tetapi mahluk dengan pakaian kuno itu masih tersenyum padanya. Wajahnya terlihat sangat pucat, walau harus dia akui juga menawan di saat bersamaan. Lihatlah sorot tajam yang keluar dari sepasang iris berwarna hitam keabu-abuan itu, lihatlah sebuah hidung mancung sebagai penyeimbang di tengahnya itu, lihatlah jugalah bibirnya yang sedikit merah menyala, hingga garis rahang yang tegas.
Namun bukan itu yang berhasil menarik perhatian Honey saat ini. Melainkan sepasang taring tajam yang berada di sela-sela bibirnya itu.
"A-Aa… S-Si…"
Honey bahkan tak sanggup mengeluarkan suara. Dia berusaha semakin mundur menjauh, sebelum kemudian segera bangkit dan berlari menuju pintu besar yang masih tertutup dengan rapat tadi.
"BUKA!!! BUKA!!!" teriaknya panik sambil menggedor pintu itu dengan kencang. "BUKA. BIARKAN AKU PERGI!"
Sesekali diintipnya mahluk itu lagi. Yang mana ia masih saja berdiri di tempatnya sambil memandangi kepanikan Honey dengan tatapan datar dan tanpa ekspresi. Seakan dirinya tengah menonton sesuatu yang membuatnya cukup terhibur.
"BUKA! SIAPAPUN DI LUAR, TOLONG BUKA PINTUNYA!"
"Kenapa reaksimu begitu berlebihan? Padahal aku bertanya baik-baik."
Untuk pertama kalinya ia bersuara. Sukses membuat Honey bergidik ngeri. Sulit dijelaskan, tapi suaranya terdengar sangat dalam dan dingin. Begitu datar seakan tanpa emosi.
"Kau tahu, aku bahkan ingin berterima kasih padamu karena telah membangunkanku," kata mahluk itu tak lama kemudian.
Namun Honey tak mau peduli tentang itu. Ia tak mau dengar apapun dari mahluk ini. Satu-satunya yang ada di pikirannya kini agar bisa keluar dari sini dan melarikan diri. Sejauh-jauhnya dari mahluk dan tempat aneh ini.
Di saat itulah Honey menyadari kalau mahluk itu mulai melangkah mendekat ke arahnya. Berhasil membuat gadis itu semakin terancam, sehingga membuatnya mulai menggedor-gedor benda itu dengan frustrasi. Berharap agar segera terbuka atau mungkin roboh sekalian agar dia dapat melarikan diri.
"BUKA! BIARKAN AKU PERGI!"
Tapi tidak terjadi. Pintu itu tak bergeser sama sekali. Sementara mahluk itu seperti kian menyudutkannya saja.
"T-Tolong j-jangan menahanku di sini. Lagipula kau juga tak akan bisa menyakitiku di alam mimpi ini, bukan?" ucap Honey akhirnya menyerah. Ia akhirnya memberanikan diri untuk berbalik, lalu memelas pada mahluk itu.
Sosok itu menghentikan langkahnya sekitar setengah meter dari Honey. Sebuah senyuman tipis terlihat lagi di wajahnya.
"Aku tak menahanmu. Apalagi menyakitimu." Ia berkata dengan nada datar. Berpangku tangan sambil terus menatap Honey dan melajutkan, "Kau tak lihat? Aku bahkan tidak melakukan apapun?"
"Lantas kenapa pintu ini tak bisa terbuka. Kalau bukan kau yang tutup lantas siapa?" Honey kembali berteriak frustrasi dan ketakutan. "Kumohon. Tolong lepaskan aku. Tolong buka pintu itu dan biarkan aku pergi!"
Sosok itu tersenyum lagi. "Baiklah. Aku tidak merasa menguncimu, tapi kalau memang itu yang kamu inginkan maka akan kupenuhi."
Ia menjentikkan jarinya.
Bruk. Honey kaget begitu pintu itu benar-benar terbuka setelahnya, sehingga membuat tubuhnya yang bersandar di sana langsung tersungkur ke lantai marmer. Suara tawa yang menjengkelkan terdengar menggelegar tak lama kemudian. Membuat Honey curiga kalau ia sengaja ingin mengerjai dirinya.
Namun apapun itu, Honey memutuskan untuk tidak ambil pusing. Menyelamatkan diri adalah satu-satunya hal yang harus dilakukannya terlebih dahulu. Sehingga ketika sosok itu masih asyik tertawa terpingkal-pingkal di tempatnya, dengan secepat kilat Honey langsung berdiri dan berlari sekencang-kencangnya. Menempuh kembali lorong tanpa ujung tadi.
Suara sepatu dan pacuan napasnya kembali menggema di antara lorong yang sepi itu. Berharap agar dia bisa pergi jauh sehingga tidak bertemu lagi dengan mahluk aneh tadi.
"Kau pikir bisa lari dariku dengan semudah itu?"
Honey mengerem larinya lagi ketika sosok itu muncul tiba-tiba di depannya. Berdiri dengan santainya, berbanding terbalik dengan keadaan Honey yang telah terengah-engah.
"Juga… kenapa kau terus menyebutku mahluk aneh? Ucapanmu terdengar cukup kasar, kau tahu?"
Apa ini? Apa mahluk ini bisa membaca fikiran Honey juga? Kenapa dia bisa tahu apa yang Honey pikirkan?
'Tidak, tidak. Ini bukan saatnya bagiku memikirkan hal itu. Yang jelas aku harus melarikan diri dulu dari mahluk ini.'
Honey berniat pergi ke arah sebaliknya. Namun baru saja ia berbalik, tahu-tahu mahluk itu berpindah lagi ke hadapannya.
"Percuma. Sudah dengar sendiri tadi, kan? Kalau kau tidak akan bisa melarikan diri dari takdirmu. Kenapa kau sangat keras kepala?"
"S-Sebenarnya apa masalahmu? Kenapa kau terus mengikutiku seperti ini?" Honey akhirnya tak tahan dan berteriak frustrasi.
"Aku hanya ingin—"
"Kau pasti berniat untuk memangsaku, kan?" Honey menyela tak tahan. Terus mundur ketakutan. "Tak ada satu pun siluman yang baik di dunia ini. Kau pasti hanya berusaha membuatku lengah biar bisa menyerangku, bukan? Iya kan?" tudingnya kian histeris.
Mahluk itu hanya diam saja. Namun senyuman tipis terlihat di wajahnya. "Menurutmu begitu—"
"Tentu saja. Kau kira aku tak melihat dua taring di gigimu? Kau pasti akan menggunakannya untuk… untuk...."
"Untuk apa? Mencabikmu begitu?"
Honey tak sanggup menyahut.
Hingga tak lama, seringaian kembali terlihat di wajah itu. Lantas perlahan mendekati Honey yang refleks berjalan mundur.
"Kau benar…"
Ia sempat menghilang setelah mengatakan itu, namun tahu-tahu menampakkan diri lagi tepat di depan Honey. Tangannya dengan cepat merengkuh tubuh gadis itu sebelum sempat kembali mundur dan melarikan diri. Menyandarkannya ke dinding lorong.
"Lepaskan!"
"Mana mungkin aku lepaskan? Bukankah kau sendiri yang tadinya menuduhku hendak memangsamu? Kau benar. Aku memang sudah tidak sabar untuk mencabik seluruh daging di tubuhmu, meminum setiap tetes darahmu, serta memakan jantung hatimu…."
Manusia mana yang tidak merinding mendengarnya?
Sempat Honey mencoba berontak lagi dan melarikan diri, namun gerakannya benar-benar telah dikunci. Saat kedua pundaknya ditahan agar tak bergerak ke mana-mana. Bahkan lidahnya mendadak menjadi kaku, tak bisa mengeluarkan sedikit pun suara.
'A-Apa dia mengambil kemampuanku untuk bicara? Apa yang dia inginkan? Apa dia benar-benar akan mencabik-cabik diriku?' Honey hanya bisa bergumam di dalam hati.
"Tidakkah kau mengingatnya? 'Jangan lari dari takdirmu, karena kemana pun kau pergi dia pasti akan menemukanmu…', bukankah tadi ada yang mengatakan itu padamu? Ketahuilah Nona Honey Araneta. Inilah takdirmu yang sesungguhnya.'
Itulah yang dikatakan oleh mahluk itu untuk terakhir kali sebelum membuka mulutnya lebar-lebar. Sosok itu semakin mencengkeram erat lengan Honey, bersama dengan wajahnya yang kian mendekati leher sang gadis. Siap menancapkan taringnya yang tajam ke kulit Honey yang putih.
***