"Kau bisa mengemudi?", ketakutan jelas terpancar dari wajah Hansel. Ia melihat Covina Ven, wanita yang pernah ia cintai , mengemudi seperti seorang yang kerasukan setan.
Rem seolah-olah sudah ia lupakan, ia hanya terus menatap tajam ke arah jalanan. Hampir-hampir tidak melihat spion sama sekali. Suara GPS, terus mengarahkan dengan pasti, tapi Vina nyaris tak menoleh ke arah layar GPS sama sekali. Sebenarnya yang lebih menakutkan dari semua itu adalah pengemudi saat ini bukanlah orang dari benua Amerika. Ini berarti, posisi kemudi jelas berlawanan di dataran tempat ia berasal.
"Aku bisa menggantikanmu jika kau mau, Vina"
Keluar dari Jalan tol, Vina memperlamabat laju mobil mewah yang kendarai. Ia mulai menunjukan emosinya. Ia menoleh ke arah Hansel. Ini membuat temannya itu merasa sedikit lebih tenang secara psikologis.
"Tunjukkan di mana sebaiknya aku memarkir mobil ini."
Setelah mendapatkan tempat parkir yang stategis, Vina mematikan mesin mobil. Ia tak serta merata turun. Ia mengamati situasi beberapa saat dari dalam mobil.
"Yang mana? Apa yang sedang mengantarkan pesanan di meja depan itu?"
Hansel menengok ke arah wanita yang membawa nampan berisi minuman dan memberikannya pada pelanggan yang duduk di area luar café
"Bukan, bukan dia."
"Jadi, apa kau yakin wanita itu bekerja pada siang hari?"
"Iya" jawab Hansel mantab. Aku mendapatkan jadwalnya dari manager yang berjaga di malam hari.
"Baiklah. Kirim alamat instagramnya ke whatshap ku."
Vina melepaskan sabuk pengamannya. Ia bersiap untuk melangkah keluar. Ia mengambil sebuah tas tangan. Mengenakan kacamata dan mengambil ponsel miliknya. Ia melihat alamat instagram yang Hansel kirim ke jalur pribadinya. Ia menyalin dan segara mencari di aku instagram miliknya.
"Tidak di kunci. Ini jauh lebih mudah dari yang aku duga."
Setelah mengikui aku wanita yang Hansel sukai, Vina dengan cepat menyelidiki gambar-gambar di akun tersebut. Tidak menunjukkan ia dekat dengan pria mana pun. Harusnya wanita ini belum memiliki kekasih.
"Tunggu telepon dariku."
"Kau mau ke mana?" tanya Hansel menghawatirkan isi otak Vina dan ide gilanya. Wanita ini terlihat sangat cerdas dan licik. Itulah daya Tarik Vina yang membuat Hansel jatuh cinta dulu. Sebelum ia dinikahi oleh Lux Hemel Immanuel.
"Kau mencintainya bukan?" kata Vina sambil membuka pintu mibil berwarna hitam pekat.
"Lalu?"
"Aku akan membuatnya mau menerimamu. Percayakan semua padaku."
Tercengang dengan pernyataan Vina, Hansel hanya menganga tak bergerak di dalam mobil. Ia hanya bisa menyaksikan Vina berjalan dengan anggun dan penuh percaya diri. Ia sama sekali tak menoleh kebelakang.
~Apa yang akan ia lakukan?~
Melihat Vina melenggang masuk ke dalam retoran Pizza, mebuat Hansel yang sedang dirundung asmara mendadak sesak nafas seperti terkena asma. Semoga ia tak pingsan di dalam mobil.
"Selamat siang, siapa manager yang bertugas di sini?" tanya Vina saat seorang pelayan yang membukakan pintu untuknya.
Pelayan itu, sempat terpesona beberapa detik melihat kecantikan Vina. Meskipun ia berasal dari Asia tapi cukup memesona dan telihat tegas. Membuat siapapun tak bisa menolak untuk memandangnya meski hanya sekilas. Tak ingin membuat wanita itu kecewa, sang pelayan segera undur diri dam memanggilkan manager.
"Saya, Kush Irnijad" kata seorang keturunan India yang baru saja muncul. "Adakah yang bisa saya bantu nyonya?"
Vina melepas kacamata hitamnya.
"Tuan Irnijad. Saya ingin menikmati pizza di restoran in secara oribadi. Apakah saya bisa memesan seluruh restoran saat ini?"
Manager berkulit putih keturunan Indian itu terkejut. Ia melihat sekeliling yang sedang ramai pengunjung. Tentu saja permintaan wanita di depannya itu agak berlebihan dan tidak mungkin ia kabulkan.
"Nyonya, apakah anda bersedia menunggu beberapa jam? Kami akan mengosongkan restoran. Tapi tentu saja kami tak mungkin mengusir para pelanggan yang sudah masuk."
Tanpa sadar, Vina menoleh ke sekeliling dan memakai kembali kaca mata hitam miliknya.
"Apa aku terihat memiliki waktu sebanyak itu?" tanyanya dalam keangkuhan. Entah dari mana ia belajar bersuara dengan angkuh. Terutama dalam bahasa inggris, suara Vina menjadi terdengar seperti mengancam.
"Tidak nyonya"
"Bagus!" kata Vina memotong pembicaraan. "Lakukan yang terbaik." Mendengar kata-kata Vina manager itu segera panik. Ia undur diri dan memanggil beberapa karyawan untuk berdiskusi di kantornya sebentar. Setelah menemukan jawaban, barulah manager itu kembali keuar dan menemui Vina.
"Nyonya, kami bisa mengosongkan ruangan atas, tapi tidak ruangan bagian bawah. Di atas adalah area terbuka. Pelanggan di atas sudah selesai makan, tak banyak yang duduk di atas. Jika anda bersedia, anda bisa menggunakan area tersebut, tentu saja dengan biaya tambahan pada setiap meja yang ada.
"Bagus, pastikan saja tidak ada seorang pun menganggu ku."
"Kami mengerti. Kami akan segera siapkan."
Sebelum manager itu pergi, Vina meminta suatu pemintaan yang lebih aneh lagi. "Aku ingin mengundang seorang pegawai di sini." Kata Vina menunjukkan foto instagaram. Manager itu tebelalak.
"Nona Rowalski?" katanya sambil mengerutkan alis. "Apakah ia berhutang pada anda?"
"Bukan urusanmu. Aku ingin ia bersiap sesegera mungkin"
Tekanan Vina membuat manager itu sedikit ketakutan. ~Tentu ia bukan wanita biasa~, pikir sang manager. Mendengar hal itu, ia segera menyetujui. Ia tak banyak bicara dan menyampaikan apa yang wanita itu inginkan.
Tak berapa lama, ruangan dan Nona Rowalski sudah siap.
"Nyonya, selamat datang. Terimaksih atas undangan makan ini."kata Rowalski menyapa Vina yang baru saja tiba dan memasuki ruangan.
Vina tersenyum dan duduk di depan Rowalski. Ia melepas kacamata dan meletakkannya di meja. Mengamat-amati wanita berambut hampir putih, kulit terbakar dan hidung mancung khas Rusia.
"Kau sudah lama bekerja di sini?"
"Ia nyonya" jawabnya dengan canggung. "Saya bekerja sejak saya lulus dari sekolah menengah setahun yang lalu. Saat ini saya sedang berkuliah di salah satu universitas. Untuk menunjang biaya kuliah, saya bekerja di restoran ini."
"Jika boleh saya tahu, mengapa anda mengundang saya?"
Vina tersenyum. Ia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
"Bukan aku yang mengundangmu, tapi temanku. Aku harap kau bisa menerimanya apa adanya. Ia menyukaimu. Tapi tak punya keberania mengatakannya. Karena kau membencinya. Pertimbangkan ini, setiap orang memiliki siis baik dan buruk, tidak ada sakahnya memberi seseorang kesempatan sebab apa yang terlihat buruk, belum tentu buruk adanya, begitu pula aoa yang telihat baik. Tak serta merta baik"
Kata-kata Vina mebuat Rowalski terlihat bingung. Dalam kebingungannya, seorang pria bertopi muncul dari tangga.
Mereka berdua menoleh ke arah pria itu. Vina mengambil tas, berdiri dan memakai kacamata.
"Semoga beruntung."
Vina meninggalkan ruangan, sedangkan pria itu duduk menggantikan Vina. Rowalski, hanya bisa tercengang tiada habisnya. Ia tak pernah membanyangkan, hal seaneh itu akan menghampiri dirinya.