Jealousy

<p>Aku berjalan begitu emosi menghampiri kerumunan orang di cafetaria, seseorang menghampiriku di kelas saat ujian berakhir dan memberikan kabar yang membuatku begitu emosi. Benar saja, saat aku berhasil melewati kerumunan itu, aku menemukan Jeffyin tengah berkelahi begitu hebat dengan seseorang yang tidak asing bagiku.<br/>Aku ingin sekali berteriak menghentikan Jeffyin tapi begitu banyak orang yang memperhatikan, jadi aku hanya bisa menatap kegiatan itu dengan mata penuh emosi berharap Jeffyin segera menemukan kehadiranku. <br/>Dapat dengan jelas mereka saling memukul tanpa henti, wajah mereka berdua sama-sama lebam akibat pukulan. Bodohnya orang-orang hanya menontoni tanpa menghentikan mereka, dasar gila.<br/>Aku meremas puncak kepalaku kehabisan kesabaran melihat kekerasan ini, dan sesaat mataku bertemu dengan pria itu yang membuatnya menghentikan tangannya yang sudah mengepal keras. Ketika itu juga Jeffyin akhirnya menemukanku yang menatap penuh emosi, aku segera pergi setelah menatap sinis pada orang itu. <br/>"Aubrey," panggil Nethan padaku saat aku belum terlalu jauh pergi dari kerumunan, dia berjalan dari arah sebaliknya bersama Tom, Gallant dan Damien. <br/>"Stop those two idiots." ucapku tanpa berhenti ataupun menatap orang-orang. <br/>"Rain!" jelas sekali itu suara Jeffyin. <br/>Aku tetap berjalan lurus, tidak begitu ingin menghiraukannya, begitu banyak yang menatapku dengan Jeffyin yang babak belur berjalan mengikuti di belakang. Aku membawanya ke kamarku, tentu saja. Tidak mungkin jika ke kamarnya, matahari masih di atas, terlalu banyak mata. <br/>"By God Neptune, what's going on in your head?" Akhirnya aku membuka suara saat kami sudah di depan pintu kamarku. Tidak ada jawaban darinya, aku masih mencoba mendapatkan kunci kamarku di dalam tas. <br/>"If this time you think you will be forgiven, don't expect much." Ucapku mengancam, seketika tangan Jeffyin melewatiku menahan kenop pintu. <br/>Aku segera menoleh dan menemukan dia dengan wajah tertunduk, tidak menatapku. "get out of the way." Ucapku lalu membuka pintu kamar. <br/>Aku berjalan masuk lalu meletakan tasku ke sembarang tempat dan segera mencari kotak obatku. Kulihat Jeffyin terduduk tak berdaya di ranjangku, wajahnya tetap tertunduk. <br/>Aku berjalan mendekat, lalu duduk di sofa unicornku. "I'm sorry," ucapnya pelan. <br/>Aku tidak terlalu memperdulikan, terus saja fokus pada beberapa lebam di wajahnya. Mata Jeffyin tidak lepas terus memandangiku, namun aku berusaha begitu keras supaya tidak luluh dan menatapnya balik.<br/>"If you want to fight again, wait at least another week or this face will be ugly forever." Ucapku benar-benar mengancam tepat di depan wajahnya.<br/>"Alright." Ucap Jeffyin singkat. Terdengar seperti menantang di telingaku.<br/>"What does 'alright' mean?" Ucapku, membuat nada yang sama pada kata baiklah yang Jeffyin ucapkan. Aku bangkit dan menyimpan kembali kotak obatku. <br/>"Alright, I'll fight again next week." Dia menantangku.<br/>"Jeffyin!" Teriakku tak tertahankan.<br/>"I want to sleep here." Jeffyin berbaring dan menarik selimut, tidak menghiraukan aku yang menatapnya jengkel.<br/>"Whateva." Jawabku tak kalah tidak peduli. Aku mengambil dompet dan ponsel dari dalam tas.<br/>"Don't you want to ask?" Tanya Jeffyin dengan mata yang sudah tertutup.<br/>"no." <br/>"So you don't care." Tanya Jeffyin lagi, matanya tetap tertutup rapat.<br/>"I went out for a bit." Pamitku tidak menjawab pertanyaannya lalu pergi. <br/>Aku segera menelfon Deanis sambil berjalan cepat menuruni tangga. "Hei," ucapnya di sebrang sana. <br/>Aku mencoba mengatur nafasku, "Hei, Am I bothering you?" Tanyaku pada Deanis.<br/>"It's okay, what's wrong?" Suara peluru pada permainan terdengar begitu jelas di ujung sana.<br/>Aku berusaha tidak tahu malu, "Can you take me please? I need to buy medicine." Ucapku meminta tolong pada Deanis. <br/>"medicine?" Suara bising peluru sesaat menghilang, "for you?" Tanyanya.<br/>"No, for my friend. Is it okay?" Aku berhenti sebentar di akhir anak tangga, mencoba fokus dengan percakapan ini.<br/>"Of course not, where are you?" Tanya Deanis dengan nada sedikit lebih cepat.<br/>Aku berjalan melewati lapangan, menuju asrama pria, "I just got out of the dorm." Jawabku.<br/>"Wait for me in front of the men's dorm, I'll come down immediately." <br/>"Thank you, Deanis." <br/><br/>Sincerely, Rain<br/><br/>Setelah selesai membeli semua obat yang aku butuhkan, Deanis mengantarku kembali ke asrama, namun aku dikejutkan dengan menghilangnya Jeffyin dari kamarku. Aku hanya menemukan barang-barangnya di atas lemari pendingin, yang bahkan tidak berpindah tempat sejak semalam aku taruh disana kecuali dompetnya, sudah tidak ada. <br/>Kemana dia? Aku segera berlari keluar asrama, mencoba mencari Jeffyin di cafetaria. <br/>Kafetaria sudah cukup sepi, untung saja aku menemukan batang hidung Nethan, "Nethan!" Panggilku, aku menemukannya bersama Damien dengan beberapa perempuan. <br/>"Hey, Aubrey. What's wrong?" Tanyanya. <br/>Aku melihat sekilas pada perempuan-perempuan ini, "Have you seen Jeffyin?" <br/>Nethan menatap Damien, kemudian menjawabku. "No, isn't he with you." <br/>Damien menarik tanganku, "Sit down first. Tell me." Nethan memberi tanda agar perempuan asing itu pergi.<br/>Aku duduk lemas, "He was sleeping in my room," aku mulai bercerita, "then I went out for a while, after coming back, he wasn't there. But his belongings are still there, except the wallet." Aku menghembuskan nafas berat.<br/>Nethan terlihat tidak yakin, "Monday night weren't you two together until midnight in his room?" Tanyanya.<br/>"Yeah," jawabku.<br/>Nethan kembali berfikir, "Then tomorrow night? He didn't go back to his room." Ungkap Nethan.<br/>"Jeffyin got drunk and then slept in my room." Jelasku.<br/>Aku menangkap mata Nethan yang kembali melihat ke arah Damien di sebelahku, "Drunk? That's not possible." Ungkap Damien.<br/>"I saw it myself." Aku mencoba meyakinkan.<br/>Damien pergi menjauh dari aku dan Nethan, terlihat seperti menelfon seseorang. Nethan melihat bungkusan kertas di tanganku, "What did you bring?" Tanyanya.<br/>"Jeffyin's, and his medicine."<br/>Damien kembali dengan wajah yang sangat sulit aku jelaskan, "No one has seen Jeffyin today after he had a fight this afternoon." Ucap Damien padaku.<br/>Nethan mengusap puncak kepalaku, "Just wait in your room, we will find him." Ucapnya meyakinkan.<br/>"Okay." Aku berjalan kembali ke kamarku, masih memegang bungkusan obat yang aku beli tadi. <br/>Aku melirik sekilas ponsel Jeffyin di atas lemari pendingin, lalu mengambilnya. Wallpapernya adalah wajahku, saat kami pergi kencan dan makan di McDonald, entah kapan Jeffyin mengambil gambar ini. Aku memustuskan untuk membawa semua barang-barang Jeffyin kembali ke kamarnya. <br/>Asrama laki-laki masih terlihat begitu ramai, mungkin karena belum terlalu malam. Aku melewati beberapa orang yang terkejut melihatku disini, beberapa menyapaku, tapi tidak sedikit yang tidak terlalu peduli. <br/>Kunci kamar Jeffyin menyatu dengan kunci mobilnya, saat aku membuka kamarnya, pemandangan kapal pecah tergambarkan di depan mataku. Tidak seperti biasa, kamar Jeffyin selalu rapih, paling mengerikan yang pernah aku temukan hanya tumpukan baju kotor. Yang ada di hadapanku lebih dari tumpukan baju kotor, sepatu yang tidak teratur seperti diletakan begitu saja setelah di pakai, beberapa buku di meja kerjanya bertumpuk-tumpuk dan botol-botol kosong juga kaleng bir di meja depan ranjangnya. <br/>Aku segera mengganti pakaianku lalu merapihkan kamar Jeffyin. <br/><br/>Sincerely, Rain<br/><br/>Aku terbangun mendengar suara yang sangat berisik, pemandanganku gelap karena ruangan ini tidak memiliki cahaya sama sekali, hanya ada sebuah cahaya kecil dari ponsel di atas meja, benda itu juga yang mengeluarkan suara berisik sedari tadi. Dengan malas aku mengambil ponsel tersebut, sebuah panggilan masuk. <br/>Aku mengangkat panggilan tersebut, "Halo," suaraku terdengar jelas sekali baru bangun tidur.<br/>"Qui êtes vous? puis-je parler à Jeffyin?" <br/>"I'm sorry, I don't speak French, can you speak English, please." Jawabku karena orang di sebrang sana berbicara dengan bahasa Prancis dan logat yang sangat kental sekali. <br/>"Is Jeffyin there, I need to talk to him now." Jawab orang itu, dia mencari Jeffyin. <br/>What? Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku untuk melihat dengan jelas nama pemanggilnya, 'DAD' OMG. <br/>"I'm sorry sir, Jeffyin isn't around right now. Is there a message I need to convey?" Ucapku begitu gugup, segala cara kucoba untuk menbuat yang lebih baik.<br/>"Where is he going." Suaranya terdengar seperti pria yang sudah cukup berumur, bahasa inggrisnya penuh dengan aksen Prancis yang kental.<br/>"Maybe he's already in his class, left his cell phone to me yesterday afternoon." Aku menjelaskan dengan tone suara yang sudah lebih baik. <br/>"ok, please tell him that I called" Pintanya ramah.<br/>"Alright sir, sorry again." Aku menyesal.<br/>"It does not matter, Mademoiselle." Jelas sekali pria ini tertawa saat mengucapkannya.<br/>Gila. Aku segera melihat jam, sudah pukul 7.45 pagi. Kelas sebentar lagi dimulai dan aku sebentar lagi mati. Aku segera menggeledah ruang khusus pakaian Jeffyin, untung saja ada baju miliku disana. <br/><br/>Sincerely, Rain<br/><br/> "Where have you been all night??" Tanya Arielle saat aku tiba di kelas. Setelah semalam membereskan kamar Jeffyin, aku tertidur di ranjangnya. <br/>"I'll explain later." Jawabku, lalu ujian dimulai. <br/>Aku dan Arielle sedang makan siang di cafetaria, ujian berakhir lebih cepat karena hanya ada satu ujian saja. "Now tell me, where did you sleep last night?" <br/>"In Jeffyin's room." Jawabku singkat.<br/>"What?" Arielle begitu terkejut, entah kenapa.<br/>"Yeah, the room key was left in my room, so I could enter." Aku menjelaskan, lalu menghabiskan seluruh susu almond di tanganku.<br/>"Last night Jeffyin knocked on my door so hard," ungkap Arielle tiba-tiba, tentu saja membuatku terpaku, "he's looking for you. He looked so drunk, and so messed up." Arielle mengakhiri pengakuannya.<br/>Aku yakin Jeffyin semalam pulang, obat yang aku bawa berantakan di atas meja, dan lampu kamar padam. Jelas Jeffyin yang melakukanya. <br/>"Tomorrow is the last day of exams, I hope this doesn't mess up your exam Aubrey." Ungkap Arielle lagi.<br/>"Don't worry, this doesn't mess up my exam at all Arielle." Aku mencoba meyakinkan Arielle.<br/>Aku melihat El dari kejauhan, rambut merahnya begitu menyala terkena sinar matahari, sudah lama aku tidak melihatnya selama ujian. "Aubrey! I heard Jeffyin had a fight a while back, you know that?" Tanya El begitu sampai di tempat duduk kami.<br/>"I know El," jawabku tidak terlalu ingin membahasnya.<br/>"What's the real deal with those guys, the two of them are good friends. Did Jeffyin say anything to you?" El mencoba mencari sesuatu dariku. <br/>"Nope. El, there's something I need to tell you." Ungkapku, El terlihat ingin tahu, "The man at the hotel at that time was Darrell." Ucapku yang sukses membuat mata El membulat sempurna.<br/>"Shit!" Ucap El terkejut, "Are you sure? I thought you didn't see his face." El bertanya, aku menunduk, merutuki semua kejadian gila beberapa hari terakhir. <br/>"Wait a minute, the guy at the hotel, what do you mean?" Arielle mengeluarkan suara akhirnya, aku sungguh lupa menceritakan ini padanya.<br/>"We went out drinking a few days ago, and Aubrey woke up in a hotel with a guy." El menjelaskan pada Arielle dengan begitu singkat.<br/>"You're crazy Aubrey." Uangkap Arielle.<br/>"Then? rest of the story?" El meminta kelanjutan kisahnya.<br/>"It's true I didn't see that person's face, you remember the guy in the library that time?" Tanyaku pada Arielle.<br/>Arielle memasang wajah yang sedikit mengingat-ingat, "Yes, who was asleep at that time." <br/>"He is that man." Aku membuat pernyataan resmi.<br/>"Oh God." Arielle menutup mulutnya sambil masih terus saja terkejut.<br/>"And what's even worse now is that the guy is Jeffyin's friend." Ungkapku lagi menambah kejutan.<br/>"You're playing mad, Aubrey." Ungkap El, ekspresi tidak percaya terukir di wajah Arielle.<br/>"Oh God, don't talk like that El." <br/>"Does Jeffyin know??" Arielle menyelidiki. <br/>"Jeffyin knew, that person asked how I got home that morning and said I was not beside him when he woke up in front of Jeffyin." Aku menjelaskan panjang lebar.<br/>"Good play, Darrell is an expert." Alih-alih membelaku, El malah memuji Darrel, si perusak hubungan.<br/>"But actually you don't have to think too much about it Aubrey, you and Jeffyin aren't a couple or anything." Arielle mengungkapkan pernyataan yang mengandung seratus persen kebenaran.<br/>"truth." El menambahkan.<br/>"I know too." <br/>Kami bertiga terduduk lesu. Sungguh. Semuanya berubah menjadi begitu rumit.<br/>"Aubrey," dari jauh Tom memanggil namaku begitu keras, "Have you met Traynor?" Pertanyaan pertama yang diucapkannya sessat setelah sampai di hadapanku.<br/>"He was there this morning, taking an exam." Gallant menambahkan, "But his appearance is very messy." <br/>"He was back in his room last night, but I didn't see him, I fell asleep." Ungkapku pada mereka.<br/>"He is now preparing for the match, you don't want to go there?" Gallant menawarkan.<br/>"No, just give this to him." Tolakku kemudian memberikan ponsel Jeffyin pada Gallant. <br/>"Are you sure?" Gallant memastikan.<br/>"Yeah." Jawabku lugas.<br/>"I don't understand you two." Ucap Arielle menyatakan sebuah kalimat yang begitu dalam di pikirannya..<br/>"I also." Tom menimpali.<br/>"Moreover, I don't understand this kind of relationship at all." Ungkap El. Well, memang El sepertinya tidak ingin berurusan dengan sebuah hubungan pria dan wanita yang berlandaskan sebuah kata yang begitu tidak masuk akal : cinta.<br/>"Just accept his heart, Aubrey. That's my only advice to you." Ungkap Tom. <br/>Dengan jelas yang lain menyetujui saran Tom barusan. "He never confessed his love for me." Ungkapku berusaha melawan dunia.<br/>"Impossible." Gallant merespon tidak percaya.<br/>"You're kidding, Aubrey." Tambah Tom, yang juga tidak percaya.<br/>"Vous êtes stupide." Ungkap El kesal.<br/>Dering ponsel milik Gallant berdering cukup kencang, dia segera meraih ponsel di saku celananya dan membuka pesan itu. "The match is about to start, don't you want to watch, Arielle? I play." Gallant berusaha.<br/>"You can't see I need to accompany Aubrey." Jawab Arielle dengan nada tinggi.<br/>"I'm ok." Ungkapku tidak ingin menjadi penghalang.<br/>'No Aubrey, you'd be better off with Arielle. Bye." Pamit Gallant lalu pergi bersama Tom.<br/>El dengan segera ikut bangkit dari kursinya, "I'm also leaving, let me know how the story ends" Pamitnya lalu segera menghilang.<br/>"I can't believe you're friends with those people." Ungkap Arielle setelah semuanya pergi. <br/>Aku sudah lama mengetahui tentang rasa tidak suka Arielle setiap kami semua berkumpul bersama, percaya padaku, aku telah melakukan banyak cara agar Arielle tidak merasa seperti itu lagi. Tapi aku rasa usahaku belum cukup, Arielle masih saja tidak menyukai mereka. Aku harap alasannya bukan karena Tom. "They are also your friends Arielle." Ucapku.<br/>Arielle menghembuskan nafas panjang, "Yes, because you are friends with them." <br/>"Come on, accompany me to buy some books." Ungkapku menyudahi obrolan tidak berujung ini. <br/>"okay." <br/>Aku dan Arielle menghabiskan hari ini dengan beberapa tumpukan buku, Arielle terkejut karena aku membeli banyak sekali buku. Well, sudah menjadi kebiasaanku membeli buku banyak. Saat menyadari matahari sudah tidak lagi ada di langit, aku memutuskan untuk kembali ke asrama karena besok masih ada ujian terkahir. <br/>Arielle langsung masuk ke kamarnya setelah sampai di asrama, aku hanya meletakan buku-buku miliku lalu berencana ke tempat rahasiaku.<br/>Terdengar suara halus piano, menandakan ada orang di dalam sana. Benar saja, saat aku masuk Deanis sedang bermain piano. <br/>Deanis menoleh padaku, "You want to cry?" Tanyanya.<br/>Aku berjalan mendekat padanya, "Ya," jawabku.<br/>Deanis kembali melanjutkan permainannya, Soundtrack Hannah Montana The Climb, "Are your exams messed up? I hope not, or I'll be embarrassed." Jemarinya menari dengan indah.<br/>Aku duduk di sebelahnya, memperhatikan lebih jelas bagaimana jemarinya memainkan piano tua ini, "It's my exam that will be messed up, but why are you the one bearing the shame?" Tanyaku.<br/>Deanis menghentikan gerakan di jari-jari tangannya lalu menatapku, "As a fellow scholarship student and as your senior, the image of a scholarship student has never been scratched, so if you scratch it, I would obviously be embarrassed." Jelasnya.<br/>Aku sungguh tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum, "No, my exams weren't messed up. My life is messed up." Aku berterus terang.<br/>Deanis kembali memainkan pianonya, "What year were you born?" Sekali lagi dia bertanya.<br/>Perlahan jari telunjukku terangkat, menyetuh kayu tua yang berusaha semampunya agar tetap terlihat kuat untuk dimainkan 20 tahun lagi, "98" <br/>"Life was ruined at 19, sadly." Ucapnya, <br/>"I said messed up, not ruined." Aku membenarkan.<br/>"You're right, I'm sorry." Ucapnya dengan sedikit rasa bersalah.<br/>"Apology accepted." Jemari tanganku tidak berhenti terus saja menyentuh apapun yang bisa di jangkaunya di piano ini. <br/>"You want to play together." Deanis menawarkan.<br/>Aku begitu terkejut mendengar pertanyaan itu, "I really don't play this anymore." Dengan seketika menjauhkan tanganku dari piano.<br/>"Tell me, do you hate men who play the piano?" Deanis mencoba menebak.<br/>Tawa pelan lolos dari bibirku, "No, I'm not that dramatic." <br/>Deanis ikut tertawa, "In that case?" <br/>"I can't tell you." Aku menatapnya kali ini, seorang asing yang membuatku nyaman berbicara banyak dengannya. <br/>Kali ini permainan piano Deanis benar-benar berakhir, dia menutup kembali piano tua ini. "Don't you believe me?" Kalimatnya begitu serius.<br/>Aku segera membuang tatapanku, memilih memperhatikan menicure di kuku jemariku, "Not yet, maybe later, depending on how you behave." Jawabku. <br/>Deanis bangkit dari duduknya, "Alright, I'll confirm two things before I graduate." Dia merapihkan barang-barangnya. <br/>Menjauh menuju sofa untuk memasukan beberapa buku ke dalam ranselnya, "What?" Tanyaku. <br/>Deanis terdiam, menegakan punggungnya, "I'll make you tell me why you stopped playing the piano and make you play it again." Ucapnya.<br/>"I think it will be difficult." <br/>Deanis tertawa hambar, "Because it's difficult, that's why I'm challenged." <br/>"You are crazy." Ucapku, tetap duduk terdiam menatap benda besar di hadapnku, bertanya-tanya, apa aku benar-benar bisa memainkan ini lagi.<br/>"Don't you realize, all Parisians are crazy." Ucap Deanis menyadarkan ku. <br/>"you're right." <br/>Deanis berdiri di ambang pintu, "I think I should go back, it's getting too late, but it looks like you haven't shed a single tear yet."<br/>Untuk pertama kalinya aku menatap Deanis dengan benar, aku belum pernah menatapnya seserius ini. "Yep, looks like they doesn't want to be seen by you." Jawabku akhirnya.<br/>"probably," jawab Deanis. <br/>"Bye, Deanis." Aku melambaikan tangan padanya yang akan pergi.<br/>"You can call me again if you need a driver." Ucap Deanis sebelum benar-benar menghilang di balik pintu usang itu.<br/>Saat keluar dari perpustakaan, ada dorongan kuat dalam diriku yang ingin duduk sebentar di taman rahasiaku. Aku selalu penasaran, kenapa taman ini selalu sepi, tamannya tidak jelek ataupun kotor atau alasan lainnya yang membuat orang tidak ingin duduk disini. Bahkan aku selalu suka dengan suara gemericik airnya. <br/>Aku mendudukkan tubuhku di kursi taman tempat aku dan Jeffyin biasa duduk, menyedihkan duduk disini sendirian.<br/>"Le siège à côté de vous a-t-il déjà un propriétaire ?" aku terkejut mendengar suara dengan tone yang begitu berat itu. Sontak saja aku menoleh dan sialnya aku menemukan pria perpustakaan itu berdiri tegap di samping kursi taman, masih terlihat beberapa lebam di wajahanya. Sama seperti Jeffyin.<br/>Aku mengalihkan pandanganku pada pohon pyrus di sebelah kolam air mancur, "Oui, the seat next to me always has an owner." Jawabku dengan begitu ketus.<br/>Namun sepertinya ucapanku tidak begitu dia indahkan, pria itu duduk di sebelahku, tidak dengan jarak yang dekat, dia duduk di bagian terjauh yang bisa ia duduki. "Jeffyin, right?" tanyanya.<br/>"You already know, why ask." Aku kini mulai kesal. <br/>Dia menghembuskan nafas begitu berat, "Couldn't you be a little nicer to me." Tanyanya. <br/>"I could, but I don't want to." Jawabku, masih terus saja memperhatikan pohon pyrus yang sedari tadi bertanya ada apa dengan kami berdua.<br/>"The reason?" <br/>Pertanyaan bodoh, "I don't need to explain."<br/>Aku merasakan tekanan cukup berat pada sandaran kursi taman, ekor mataku menangkap dirinya yang sedang bersandar, menatap langit, sedikit tidak cocok dengannya. "Do you remember meeting me here." Ucapnya.<br/>"nope." Jawabku memperjelas bahwa aku sungguh tidak ingin dia disini.<br/>"Try harder."<br/>"No, I remember nothing." Ungkapku benar-benar tidak ingin mencoba mengingat apapun. <br/>Hembusan nafas berat itu kembali terdengar olehku, "It seems that only Jeffyin is in your memory. I gave you a jacket while you were with Jeffyin here." Ungkapnya.<br/>"Ahhh, the man back then." ucapku dalam hati. "Thank you."<br/>Tawa pelan mengalir keluar dari pria itu, "aucun problème. I've come to explain something you want to hear."<br/>Tidak. "I don't want to hear anything from you." Ucapku lugas.<br/>"Stop being rude to me." Ungkapnya, dia mendudukkan sedikit tubuhnya di kuris lalu menatap langit, sungguh-sungguh tidak cocok dengan penampilannya. "When you and your friends came to the club, I was playing that day. Obviously I went straight to you guys, but by the time I got there, everyone was already drunk." dia menjelaskan.<br/>Aku tidak menerima penjelasan itu, "Then why is it only me that you bring to" tanyaku.<br/>"Elainne, Hilaire and the others were used to coming to the club. I know very well that they always book rooms, unfortunately because they are too drunk, impossible to take you who is clearly not moving anymore. " jelasnya panjang lebar padaku.<br/>aku memalingkan wajahku, membuang nafas kesal karena tidak bisa mengalahkannya lagi "You'd better leave me there." Ucapku asal.<br/>Kali ini aku mendengar dengan jelas tawanya, "Oh madame, I can guarantee that you will regret it for the rest of your life if I do that." Ungkapnya.<br/>Mendengar itu membuatku kembali jengkel, "Then why am I sleeping in the same place as you?" tanyaku kembali teringat.<br/>"Where else should I sleep?" tanyanya,<br/>Aku menoleh menatapnya tak percaya, "On the floor." Jawabku, tentu saja.<br/>"If I were Jeffyin, you probably wouldn't say the same thing." <br/>Aku memutar bola mataku begitu malas mendengar kalimat itu, "No, he would hear exactly the same thing.<br/>"I just found out that you two never sleep in the same bed. How can you endure it?" tanyanya. Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu, terdengar suara berdeham seseorang tepat di belakangku, yang jelas saja membuatku begitu terkejut.</p>