Setelah pertemuannya kemarin dengan Enggar di gubuk persawahan, Berlian menekadkan diri untuk berkunjung ke rumah yang dimaksud Enggar kemarin, rumah dimana ia akan menjual kue-kuenya, memang sih beberapa warga bekerja di situ, bahkan ada yang menjual tanah untuk bertahan hidup dan proyek tersebut membuat warga desa merasa terbantukan, bisnis raksasa yang di bangun perusahaan tersebut begitu menyenangkan hati para warga di sini, selain bisa mendapatkan pekerjaan, desa mereka pun mendapatkan tambang uang yang dapat mengubah nasib mereka.
Seorang gadis keluar dari pagar rumah dan membuang sampah didepan sana, Berlian menghampiri gadis tersebut dengan senyum mengambang.
"Assalamu'alaikum, Serly," ucap Berlian membuat Serly menoleh dan berdiri tegap dihadapan Berlian.
Serly adalah teman sekolahnya dulu, mereka sekolah sejak SMP dan hingga mereka tamat dari bangku SMA. Mereka juga besar sama-sama di desa ini, hanya saja bedanya, nasib Serly lebih baik, Serly adalah anak kepala sekolah yang hidupnya lumayan kaya dan berkecukupan, sedangkan dirinya hanya lah penjual kue yang memiliki banyak beban hidup.
"Wa'alaikumssalam," ucap Serly. "Ngapain kemari, Lian?"
"Aku mau jualan kue di rumah itu," jawab Berlian mengabaikan tatapan kesal Serly yang sudah sering melarangnya jangan kemari. Serly memang merasa tersaingi oleh Berlian, karena meski hidup pas-passan, Berlian adalah idola di sekolah, Berlian juga sangat cantik.
"Aku kan udah sering bilang ke kamu, jangan jualan ke rumah itu, bosnya galak," kata Serly, menaruh tempat sampah di depan pagar rumahnya dan bersedekap didepan Berlian.
"Aku bukan mau jualan ke bosnya, Ser, aku mau jualan sama karyawannya," jawab Berlian membuat Serly menyunggingkan senyum paksa.
"Oh ya?"
"Meski bos yang kamu maksud itu galak dan mesum, aku nggak takut lah, aku juga cari uang yang halal kok," kata Berlian merasa bahwa perkataannya sudah benar. Ia terus saja mengabaikan tatapan Serly yang terus memaksanya untuk membalas tatapan itu. "Aku mau ke sana, udah mau siang nih. Kueku masih banyak."
"Aku akan beli semua kue kamu, sini, kamu nggak usah ke sana," kata Serly mengambil box kue milik Berlian yang hendak melangkah melintasinya.
"Nggak usah, Ser, kamu kan nggak suka makan makanan manis apalagi kue kayak gini, udah lah aku jual aja ke sana," tolak Berlian.
"Kalau kamu ke sana pun nggak akan langsung laku semuanya, sedangkan aku tahu kalau kamu itu butuh uang, kan, jadi mending jual di aku aja, pembantuku pasti suka makan kue kayak gini, udah ah di bungkus aja, ini uangnya," kata Serly memberikan uang seratus ribu selembar kepada Berlian.
"Ser, ini banyak sekali, kue di sini hanya ada 48 biji."
"Udah, bungkusin aja, lalu kamu pulang cepet, Denis pasti sudah menunggumu," dalih Serly. "Ambil aja kembaliannya."
Berlian lalu membungkus semua kue yang ada dalam box nya dan menaruhnya ke kantong kresek bening.
"Udah?" Serly menarik kantong kresek bening itu dari tangan Berlian. "Udah kamu pulang aja. Nggak usah lama-lama di sini."
"Kamu kenapa sih ngelarang aku ke sana? Sampai beli kue sebanyak itu."
"Emangnya kenapa? Aku juga nggak mau kamu ke sana," jawab Serly. "Udah ah pergi saja. Aku masuk dulu."
Serly hendak melangkah memasuki halaman rumahnya, namun langkahnya terhenti ketika melihat Enggar berjalan menuju ke arah rumahnya. Serly membulatkan matanya penuh dan melihat Berlian.
"Berlian, kamu pulang gih, jangan lama-lama, kasihan Denis," dalih Serly membuat Berlian mengangguk.
"Ya udah. Aku pulang dulu," jawab Berlian berbalik hendak pergi meninggalkan rumah Serly. Mereka memang tak akrab semenjak sekolah, namun Berlian menganggap Serly sebagai teman dan tegangga yang baik, meski Serly tak menganggapnya sebaliknya.
Enggar menatap Berlian dari jauh dan setengah berlari menghampiri Berlian.
"Berlian!" teriak Enggar membuat Berlian berbalik kembali.
Enggar hendak menghampiri Berlian, namun langkah kakinya terhenti ketika Serly menghadang jalannya, hal yang ditakutkannya terjadi juga. Tapi tunggu ... darimana Enggar tahu nama Berlian?
"Pagi, Kak Enggar," ucap Serly memainkan rambutnya dengan wajah memerah padam. Serly hendak memberikan kue miliknya kepada Enggar, namun Enggar malah melintasi Serly dan menghampiri Berlian yang kini berdiri dibelakang Serly.
"Kenapa nggak datang, Berlian? Aku udah nungguin daritadi, bahkan aku udah ngomong ke pekerja akan ada orang yang datang membawa cemilan, makanya aku mau ke gubuk siapatahu saja kamu lagi di sana," kata Enggar membuat Berlian menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Maaf, Nggar, tapi semua kue udah di borong Serly," jawab Berlian.
"Iya kah? Kok bisa? Padahal kamu udah janji mau datang ke rumah," geleng Enggar.
Serly memisahkan pandangan Enggar dan Berlian, lalu tertawa terbahak-bahak. "Tadinya aku beli kue ini mau bawain kamu dan pekerja di sana, Kak, tapi Kak Enggar udah di sini, jadi ini boleh buat Kakak."
"Udah nggak usah, buat kamu sama keluargamu aja," jawab Enggar. "Kamu udah mau balik, Berlian?"
"Iya nih. Adikku udah nunggu," jawab Berlian.
"Baiklah. Aku antar sekalian, aku juga mau ke sana."
"Tapi—"
"Udah ayo."
Serly mengepal tangan kanannya karena kesal, ia sudah menghindarkan pertemuan Berlian dan Enggar, malah mereka udah ketemu sebelum ia melakukan itu. Serly merasa gagal.
"Kalian mau kemana? Aku boleh ikut?"
"Serly! kamu dimana?" teriak sang Ibu dari dalam rumah, membuat Serly menghentak kaki dan masuk ke dalam rumah.
"Ayo, Berlian," ajak Enggar lalu mereka berjalan berdampingan. Jantung Berlian bak sebuah bom yang sebentar lagi akan meledak, rasanya berguncang didalam sana saking senangnya berjalan berdampingan dengan lelaki yang ia kagumi.
"Kamu jualan dari jam berapa?"
"Dari jam 6 pagi, biasanya jam begini aku udah balik rumah dan biasanya kalau belum abis, aku biasanya duduk diam dan nongkrong, masih jalan-jalan kemana-mana, biasanya sampai kampung sebelah."
"Kamu hebat ya, aku jadi kagum sama kamu. Orangtuamu juga pasti kagum."
"Aku udah nggak punya Ayah dan ibuku di rumah sakit saat ini," jawab Berlian.
"Maaf, Berlian, aku nggak tahu."
"Nggak apa-apa kok. Ada yang lebih hebat dariku kok dan aku pun nggak hebat-hebat amat, aku hanya jualan, ngurusin adik, hanya itu aja."
"Oke deh. Maaf ya jika aku banyak nanya."
"Iya nggak apa-apa."
"Aku di sini hanya sampai proyek di sini selesai, setelah itu aku balik Jakarta dan bekerja seperti biasa."
"Wah. Bahkan kamu yang hebat karena mengurus kerjaan di sini."
"Hehe. Aku mah nggak ada apa-apanya, aku hanya bekerja di sini."
Tawa khas Berlian terdengar merdu ditelinganya, semenjak beberapa hari ini ia sering melihat Berlian di gubuk, membuat Enggar memiliki rasa pada wanita itu. Wanita yang ia anggap hebat karena berjuang sendirian.
FLASHBACK OFF.