webnovel

Memikirkan Rencana Tetapi Tetap Sah

"Kak Nay, belum tau wajah Mas Azam?" Ahsan berani bertanya.

"Sudah pernah di kasih foto sih sama Opa tapi aku tidak lihat, mending lihatnya pas jadi suamiku saja, ganteng ataupun jelek kalau sudah menjadi suami pun aku terima," jawab Naya santai.

"Kak Nay, tidak tertarik sama sekertaris? Maaf saya bertanya, biasanya kan CEO jodohnya sering sekertarisnya, atau orang terdekatnya, sahabatnya mungkin?" ujar Ahsan, Naya tertawa simpul.

"He hehe. Tanya Nisya gih," ujar Naya melempar pertanyaan Ahsan ke Nisya.

"Ha? Jawab aku, baiklah biar tidak ngantuk saja ya, setiap bos tidak tentu jodohnya bisa siapa saja, sama seperti Dokter tidak mesti menikahi susternya kan?" Nisya balik bertanya, pemuda tampan itu mengangguk.

"Iya benar," jawab Ahsan lirih.

"Maa perawat sudah ada jodoh?" tanya Nisya.

"Masih menjalani ta'aruf," jawabnya, Nisya mengetuk-ngetuk setir dengan jari telunjuk.

"Wih keren banget tuh Mas, malah bagus itu," puji Nisya.

"Risya sudah lama tidak bawa cowok ke rumah, taubat kah dia?" tanya Naya, Nisya tertawa.

"He he he, pertanyaanmu konyol Kak, palingan ada hati ke Mas per," jawaban Nisya membuat Ahsan tercengang.

"Masa, tapi tenang saja Mas dia mudah muve on kok, Mas fokus sama pekerjaan Mas saja, Risya itu cantik dan mudah akrab, jadi mudah meluluhkan hati, wanitanya yang kasihan, ya semoga cepat taubat, Aamiin," ucapan Nisya menenangkan Ahsan.

"Aamiiin," sahut Ahsan.

Matahari beranjak tapi dingin menyerang, pagi ini menunjukkan waktu hampir jam sembilan namun Bogor adalah kota hujan, hujan turun tiba-tiba tanpa tanda.

Nisya sangat berhati-hati karna jalanan yang becek, hujan deras namun sebentar saat hujan di musim semi, mentari bersinar lagi.

Gadis itu membuka lebar kaca mobil dan menghirup bau segar teh yang tertanam subur di tanah Jawa Barat.

Vila besar dan kokoh sudah terlihat bercet putih tulang, susunan batu keramik berwarna hitam di bagian sisi tertentu.

"Opa sampai," ucap Kana dia mengamati wajah kiriput yang penuh dengan uban itu. 'Perjuangan Opa tidaklah mudah, sebisaku aku jangan sampai menyakiti hatinya,' batin Naya melihat Opa yang baru saja bangun, mata Opa tiba-tiba terbuka lebar menatap tajam dengan merahnya membuat Naya terkejut dan berkedip-kedip.

"Cepat ganti mandi dan pakai baju pengantin!" titah Opa.

Naya terbelalak seketika, meneguk ludah mengangguk. Mereka semua turun dari mobil, Oma dibantu dengan Ahsan disisi kanan dan Risya berlari ke samping Opa sisi kiri, niatnya cari perhatian ke perawat muda itu.

"Cepat bantu Nisya menurunkan seserahan," titah Opa membuat rencananya gagal.

"Opa, opa kapan kesempatanku," keluh Risya dia menuruti titah Opa dengan berat hati.

Semuanya sudah siap namun pengantin wanitanya belum siap, "Naya kaki Opa sudat tidak kuat nih," keluh Opa lalu duduk melempos, Ahsan tersenyum merasa lucu dengan keluarga Naya.

Nisya datang dengan membawa kursi, "Kotor Opa sini duduk," ujar Nisya membantu Opanya berdiri lalu duduk di kursi plastik.

"Kakak mu itu lamanya ...." Opa sudah tidak sabar lagi, Fariz lari kesana kemari dengan girangnya, Galih sibuk menyuapi putranya.

Nisya berlari merangkul ponakkannya lalu menggedongnya, "Ayah capek kalau harus mengejarmu," ujar Nisya, Galih tersenyum melihat Adiknya pengertian.

Sementara gadis tomboy itu sibuk mengambil foto, dia banyak mencuri foto Ahsan. Ahsan terlihat bahagia melihat kerukunan keluarga Al Gifari.

"Ya Allah Naya kok ngalah-ngalahi orang wanita, Opa sampai sampai keluar keringat, Sya, eh, Lih, maksudnya Risya ... panggil Kakak mu," titah Opa, Risya menghela napas dan masuk ke Villa.

"Kak ... Kak." Risya terus memanggil, Naya keluar dari salah satu kamar.

Semua mata terpesona karna wajahnya yang cantik dan manis.

"Maaf Opa, lama. Wajarkan," kata Naya. "Salah siapa, katanya cuma lamaran, eh nyatanya langsung nikah. Bagaimana bisa kabur aku," gumam Naya.

"Ayo cepat!" titah Opa dengan wajah senang tidak sabar.

Langkah mereka pelan menuju masjid yang sangat sederhana namun sangat enak di pandang, masjid sederhana milik calon mertua Naya yaitu Bapak Hadi, tidak ada acara mewah hanya kerabat terdekat.

"Bagaimana Kak? Panas dingin tidak?" tanya Nisya berbisik Naya menangguk berjalan merunduk saat melangkah masuk ke masjid itu.

"Assalamualaikum," ucap semua keluarga Al Gifari.

"Wa'alaikumsalam Kang ...." semua tamu saling bersalam-salaman di halaman masjid.

"Aku dulu ya seperti itu Kak, kapan sih Opa merencanakan ini semua?" tanya Galih, Naya hanya menaikan bahu lalu bersalam-salaman.

"Mari duduk, terima kasih Kang Fari sudah menerima lamaran kami waktu itu, kalau belum Azam pasti sama orang lain, Naya ... Terima nanti kekurangan Azam ya ... Jangan kelebihanya saja," ujar Pak Hadi, Naya sedikit malas, wajah yang tidak mengenakkan itu segera dihilangkan Opa, Opa mencubit pahanya.

"Iya Pak sama-sama. Saya juga mohon keluarga ini menerima apa adanya saya," ceplos Naya, Risya, Galih dan Nisya menahan tawa.

'Aku tidak tau kapan Opa menerima melamarnya, pastas saja aku langsung disuruh nikah, Opa ... Sakit pula cubitannya, Naya jangan memamdang wajah suamimu nanti, bagaimana kalau kamu semakin benci, situasi ini sangat memberatkanku, pusing ... Apa aku pingsan pura-pura ya? Ah malah malu-maluin Opa dan paman nanti, huh ....' Batinnya yang tersiksa.

Setelah berbincang selesai pernikahan pun akan segera dilangsungkan.

'Ah pasti gagal, aku kan belum mengurus semuanya, satu suntik kesehatan sebelum nikah, domisili pindah tempat nikah. Pasti masih bisa ditunda,' batinnya sudah tenang.

"Nisya ... Mana kemarin yang kamu urus sama Opa? Bawa kemari berkasnya," ujar Opanya, Nisya mengambilkan.

'Opa kenapa tidak lupa ... Padahal sering salah panggil, padahal lupa minum obat juga, lupa kalau Ibunya Fariz sudah meninggal, kan sering lupa ... Kenapa saat begini ingatannya sempurna,' batin Naya semakin heran.

"Azam jabat tangannya, latihan dulu nih baca," pinta Opa.

Saat itu Naya menatap Opanya dan muncul ide baru.

'Ah andai si panjol, salah sebutin nama tiga kali kan tidak sah, ah ... Begitulah, tapi apa si Panjol bisa diajak kerja sama?' batin Naya memikirkan ide konyol.

"Azam jangan sampai salah sebut nama ya, Opa nanti bisa is death disini karna serangan jantung," bisik Opanya.

"Iya Oma," jawan Azam.

Peralatan solat yang di bentuk sangat indah pun sudah di depan mata Naya. Azam menjabat tangan penghulu. Penghulu sudah memberikan pertanyaan dan memulai ijab.

"Saya trima nikah dan kawinnya Kanaya Naura Al Ghifari binti Bapak Al dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," Azam sangat cepat dan jelas.

"Sah?" tanya penghulu.

"Sah," jawab saksi serempak Opanya seketika bangun dan sujud syukur, suasana menjadi haru. Opanya bangun.

"Doa setelah pernikahan," titah Opa, penghulu berdoa semua mengamini, Naya hanya fokus melihat kegembiraan dari raut wajah keriput Opa.

'Opa ... Maafkan aku ....' batin Naya menitihkan air mata. Lalu segera mengusap wajahnya setelah mengamini.