*Happy Reading*
"Mas Bos, kita cerai aja, yuk!"
Kiranya, setelah mendengar permintaan Aika yang tiba-tiba, Kairo akan terkejut, marah, ngomel, atau menghardiknya seperti dalam sinetron yang Biasa Mama Desi tonton tiap pagi dan malam.
Siapa sangka? Ternyata Kairo hanya menanggapi pinta Aika dengan helaan napas panjang dan berat, sebelum kemudian menyentil kening wanita itu dengan gemas.
"Jangan bicara sembarangan," tegurnya. Lalu merangkul Aika dan membawanya untuk duduk di sofa ruang tamu. Diikuti keluarga Aika, yang turut duduk di sana.
"Tapi Aika serius, Mas Bos!" protes Aika kemudian. Merasa tersinggung dengan jawaban Kairo barusan.
Padahal dia tidak sedang bercanda. Dia serius, dan memikirkan masa depan Kairo. Kenapa pria ini malah menganggapnya bicara sembarangan? Aneh banget!
"Mas Bos tahu kan, kondisi Aika? Aika ini sakit Mas Bos! Ya itu rahimnya, juga jiwanya. Aika bahkan bisa dibilang gila. Lalu, buat apa lagi Mas Bos mempertahankan Aika?" terang Aika dengan menggebu, berharap agar Kairo mengerti maksud keputusannya ini.
Namun lagi-lagi Kairo malah mendesah panjang, seakan masih tak percaya pada keseriusan Aika.
"Mas bos, ih!" kesal Aika.
"Apa, sih, Ka? Udahlah, kamu mending tenangin diri dulu, seperti kata Papa Heru. Biar omongan kamu tidak semakin ngaur."
Apa? Ngaur katanya? Orang Aika serius kok malah dikatain ngaur. Gimana, sih?
"Mas Bos--"
"Minum dulu!" sela Kairo dengan cepat, seraya menyodorkan minuman yang baru saja dibawakan Mama Desi.
Mau tak mau, Aika pun menurut, dan menyesap air itu dengan pelan.
"Tapi Aika serius." Ternyata Aika belum menyerah.
"Dan saya juga serius gak akan ninggalin kamu!"
Eh?
"Tidak peduli seperti apa dan bagaimana kamu. Saat saya sudah memilih kamu menjadi istri saya. Itu berarti saya siap dengan resiko apapun dalam hal mendampingi kamu," pungkas Kairo dengan tegas. Membuat Aika langsung bungkam seketika.
Benarkah? Apa suaminya memang sebaik itu? Atau ... itu hanya kata-kata penyejuk saja. Agar Aika tenang. Ya! Pasti begitu. Apalagi, di sini juga ada keluarga Aika, jadi Kairo pasti hanya pura-pura.
"Tapi ... Aika gak bisa punya anak," cicit Aika lagi, masih belum menyerah.
"Belum pasti, Aika. Kamu belum mendengar penjelasan dari keluarga kamu, kan? Jangan suka mengambil keputusan tanpa tahu cerita lengkapnya," bantah Kairo.
"Tapi--"
"Ssttt ...." Kairo menghentikan bantahan Aika, dengan menempelkan jari pada bibirnya sendiri.
Sebenarnya, tadinya Kairo ingin membungkam Aika dengan bibirnya sendiri, tapi karena ada mertuanya di sini, jadinya ya ... Kairo harus menahan diri melaksanakan niatnya nanti, setelah berduaan saja dengan istrinya.
"Dengar dulu penjelasan orang tuamu, setelah itu kita cari jalan keluarnya bersama-sama," putus Kairo, tak ingin dibantah lagi.
Aika pun kini hanya bisa menunduk dalam. Berusaha menuruti titah suaminya. Meski, sebenarnya dia masih berharap Kairo meninggalkannya saja, dan mencari wanita lebih baik darinya.
Sungguh! Kini Aika merasa tidak pantas bersanding bersama Mas Bosnya. Dan Aika rasa, Kairo berhak mendapatkan pasangan yang lebih baik darinya.
Namun pertanyaannya sekarang adalah, kira-kira Aika rela tidak, melihat Kairo bersama wanita lain?
***
"Mas Bos? Mas Bos yakin gak mau cerai aja, terus cari istri yang lain?"
Kairo memutar mata dengan jengah, saat lagi-lagi mendapat pertanyaan yang sama dari Aika, entah sudah keberapa kalinya hari ini.
Sejak tahu kenyataan tentang kondisinya, Aika memang terus saja menawarkan hal konyol, dengan beralaskan untuk kebahagiaan Kairo.
Bulshit banget!
Apa Aika tidak tahu? Kalau bagi Kairo, kebahagiaan dia itu ada pada Aika. Karena seperti yang sudah Kairo jelaskan di atas.
Saat Kairo memutuskan menikahi Aika, meski sudah tahu kondisi yang sebenarnya. Itu berarti Kairo harus siap dengan konsekuensi yang akan terjadi pada pernikahan mereka.
"Enggak!" jawab Kairo singkat, padat dan jelas.
Aika pun cemberut, karena masih tak berhasil mempengaruhi suaminya itu untuk mendua.
Aneh memang Kairo ini. Saat suami yang lain diluaran sana sampai ngumpet-ngumpet agar bisa menikah lagi, Kairo yang dengan senang hati Aika tawarkan poligami, malah menolak keras. Aneh banget, kan?
"Tapi Aika kan belum tentu bisa kasih mas Bos anak," cicit Aika, untuk kesekian kalinya.
"Ck, ayolah, Aika." Kairo mulai gemas dengan kelakuan Istrinya yang baru kembali mengingat dirinya.
"Kita udah bahas ini berkali-kali, lho. Kenapa sih, kamu masih gak ngerti juga sama keputusan saya? Emang, kamu sebegitu inginnya kah, di poligami?" tantang Kairo akhirnya.
"Nggak mau sebenernya."
Nah, kan? Emang selabil ini Aika tuh! Dari dulu beraninya di mulut doang. Payah, banget!
"Tapi daripada Mas Bos sedih dan gak punya penerus, saya--"
"Saya gak sedih, Aika! Harus bagaimana lagi saya meyakinkan kamu?" geram Kairo tertahan, benar-benar gemas dengan Aika yang gak ngerti-ngerti penjelasannya dari tadi.
"Bohong!" Aika tidak mudah percaya. "Mana ada seorang pria yang tidak sedih, saat tidak punya keturunan. Bukannya, semua pria itu menginginkan penerus nama besarnya, ya?" terang Aika lagi, masih butuh keyakinan.
"Nama besar Setiawan bisa diteruskan anak-anaknya Ken, atau anaknya kak Shanum. Tidak usah dibuat drama."
"Tapi--"
"Lagi pula, kenapa jadi kamu yang ribet sama nama besar keluarga Setiawan? Sementara Bunda sama Daddy aja woles tuh, saat tahu kamu kemungkinan besar tidak bisa memberikan keturunan. Mereka gak ada bikin drama lebay kaya kamu gini, dan malah rela melakukan apa saja demi bisa menyatukan kita. Lalu, kenapa sekarang malah kamu yang ribet seperti ini? Kenapa? Kamu bosen jadi istri saya?" terang Kairo panjang lebar, membuat Aika makin terdiam di tempatnya.
Itu memang benar, tapi apa Kairo tidak tahu. Justru karena itulah Aika ingin Kairo menikah lagi. Aika malu pada mertuanya yang baik hati itu.
Orang baik itu harus dilestarikan. Harus punya banyak keturunan agar dunia ini penuh dengan orang-orang baik seperti kedua mertuanya.
Aika tidak mau keturunan Setiawan putus pada dirinya, yang meski masih belum tahu pasti kondisi rahimnya. Tapi kan tetap saja, ini tuh ... aduh, gimana ya jelasinnya? Kalian ngerti kan, apa yang Aika rasakan saat ini?
"Sekarang mungkin masih woles, tapi nanti?" Aika terlihat benar-benar hopeless.
Kairo pun membuang napas kasar, sebelum kemudian menarik pinggang Aika agar merapat padanya.
"Orang tua saya tidak akan berubah." Kairo meyakinkan.
"Tapi--"
"Lagi pula, dunia medis juga sudah banyak kemajuan sekarang," sela Kairo cepat, tak ingin mendengar ucapan Aika yang penuh dengan keputus asaan terus menerus.
Bukan tak mau mengerti apa yang Aika rasakan saat ini. Tapi, terlalu hopeless juga tidak baik, kan, untuk psikis Aika.
Bagaimanapun, manusia hidup itu butuh harapan dan asa agar bisa semangat menjalani harinya. Karena itulah, Kairo tidak ingin Aika sampai kehilangan harapan itu.
"Saya sering berkonsultasi dengan Ken tentang kondisi kamu, dan ... dia bilang sepertinya kamu masih bisa disembuhkan. Asal, kamu bersedia menuruti instruksi yang dokter berikan." Kairo masih berusaha menumbuhkan kepercayaan Aika lagi. Agar istrinya tidak makin terpuruk.
Aika terdiam di tempatnya, berusaha mencerna ucapan suaminya dengan sebaik mungkin.
"Jadi, Aika harus apa?" tanya Aika kemudian.
"Yang jelas besok kamu harus cek kesehatan dulu. Agar dokter tahu masalah kamu yang sebenarnya, dan bisa memberikan pengobatan yang tepat," jelas Kairo dengan sabar.
"Begitu, ya? Kalau begitu ... nanti Aika akan sering ketemu Ken, kembaran Mas Bos, dong?" tanya Aika lagi, entah apa maksudnya.
"Tentu saja! Nanti kan dia yang akan jadi Dokter obgyn kita," jawab Kairo, tanpa rasa curiga sama sekali.
"Gitu ya?" gumam Aika pelan. "Tapi ... emang Mas Bos gak takut kalau Aika terus ketemu Ken?" Aika kembali bertanya, yang kali ini membuat kening Kairo berkerut dalam.
Pertanyaan macam apa itu? Kenapa Kairo harus takut Aika ketemu Ken? Bukannya itu bagus. Biar mereka bisa saling mengenal antara Kakak ipar dan adik ipar. Lalu, masalahnya di mana?
"Kenapa harus takut?" Akhirnya Kairo pun menyuarakan uneg-unegnya.
"Ya, kan. Ken itu sodara kembar Mas Bos. Identik, lagi. Kalau Aika sering ketemu Ken, nanti Aika nyaman, gimana? Mas Bos gak takut Aika berpaling sama Ken, karena sudah terlanjur nyaman."
Okeh! Sepertinya ini memang harus didiskusikan lagi!