webnovel

Memantik masalah

Sonya tersenyum, lalu tergelak kecil saat melihat wajah perempuan yang tujuh tahun lebih muda itu terdiam seperti orang bodoh. Ia semakin yakin, tak seharusnya menaruh curiga pada pemilik wajah polos itu.

"Nggak pernah?" tanya wanita cantik itu, sambil terus menatapnya.

"Ap-apa maksud Kakak? Selingkuh apa ...?" jawabnya gugup, seraya menyesap minumannya.

Sonya mengikuti arah pandangan Dini yang melirik ke kamar, dimana terlihat sang anak yang tengah tertidur lelap di tempat tidur karena pintu yang sengaja dibiarkan terbuka.

"Pasti berat, ya?" gumam Sonya.

"Hmm?" sahut Dini, seraya menoleh ke arah Sonya yang juga tengah memperhatikan anaknya. "Oh ... eng- nggak, sih. Sudah biasa," jawabnya.

"Kamu pernah merasa putus asa?"

Dini tidak langsung menjawab pertanyaan Sonya. Ia lebih dulu meletakkan cangkir minuman di meja, lalu membenarkan ikatan pada rambutnya yang sudah kusut masai.

"Pasti pernah, Kak. Tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya sakit. Aku bahkan pernah meminta pada Tuhan untuk bertukar tempat, biar aku saja yang sakit," ujarnya lirih, sembari tersenyum getir.

Sonya meletakkan cangkir di meja, lalu beringsut mendekat dan memeluk perempuan berwajah muram itu. Dini hanya bisa memejamkan mata, berusaha agar tidak lagi menangis saat air matanya telah mengering sejak lama.

"Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, Dini. Kamu yakin tidak butuh pertolongan? Kamu seharusnya pergi ke dokter," bisiknya lembut, seraya mengusap-usap punggungnya.

"Aku baik-baik saja, Kak." Dini menjawab pelan, berharap bisa meyakinkan wanita yang terlihat sangat penuh cinta kasih itu.

"Ya, sudah." Sonya melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah perempuan di depannya lekat-lekat dan berbisik, "Alika anak yang kuat. Dia pasti akan sembuh karena punya ibu yang sangat hebat sepertimu."

Dini tersenyum, lebih tepatnya tertawa kecil mendengar sanjungan itu. Ia tahu kalau saat ini Sonya hanya sedang menguatkannya saja.

"Iya, Kak. Makasih," ujarnya sembari mengangguk.

"Aku pulang dulu, ya. Kamu bisa bebenah dulu mumpung Alika masih tidur. Nanti aku suruh Mbak Pur antar makanan, kebetulan tadi dia masak banyak."

"Tidak usah, Kak. Kami bisa membeli makanan di luar nanti. Nggak usah," tolaknya.

"Aku punya banyak makanan, Dini. Sayang kalau kebuang sia-sia," ujarnya beralasan.

Akhirnya Dini terpaksa mengiyakan. Lagi pula, ia pun sebenarnya bingung karena tidak memegang uang sedikit pun untuk sekadar membeli sebotol air mineral. Beruntung di sudut ruang makan telah tersedia galon penuh terbalik di atas dispenser yang masih terlihat baru.

Sonya kembali ke rumah sebelah melalui pintu di halaman belakang. Keadaan rumah benar-benar bersih dan sangat nyaman, bahkan jauh lebih nyaman dari rumahnya di Surabaya yang telah lama dia jual untuk biaya pengobatan Alika.

"Kenapa hanya aku yang paling menderita? Kenapa tidak KAU bagi ujian itu dengan orang lain?" gumamnya, sambil menatap ke kamar dimana Alika berada dengan tatapan nanar.

Terdengar suara pintu pagar dibuka, lalu mesin mobil yang menderu setelahnya. Reno turun, membuka bagasi dan mengambil dua buah tas pakaian berukuran besar.

"Din! Dini ...!" panggilnya, seraya bergegas masuk ke dalam rumah. Sepi. Tidak ada sahutan atau tanda-tanda istrinya datang menyambut.

Tiba-tiba Reno melepaskan dua tas di tangannya dan berlari dengan gegas, saat melihat istrinya yang berdiri menatapnya dengan tatapan kosong.

"Apa yang kamu lakukan, Din? Kamu gila!?" serunya, seraya merebut pisau di tangan Dini, lalu melemparnya.

Dini tidak bersuara, bahkan seperti tidak merasakan sakit sedikit pun meski kini pergelangan tangan kirinya telah berlumuran darah. Reno dengan cepat mencengkeram bekas sayatan di tangan istrinya untuk menghentikan pendarahan. Satu tangannya yang lain ia gunakan untuk mencari ponsel untuk meminta pertolongan.

Tidak sampai sepuluh menit, Sonya tampak datang dari halaman belakang, disusul Mbak Pur yang juga tergopoh-gopoh membawa kotak obat.

"Kenapa? Apa yang terjadi? Astaga, Dini!" jerit Sonya terbelalak.

"Mana perban? Tolong ambilkan perban!" pinta Reno yang sudah telihat panik. Sebagian pakaiannya pun sudah banyak noda darah.

Mbak Pur hanya diam terpaku menyaksikan bagaimana keduanya bahu-membahu menangani Dini. Perempuan bertubuh gempal itu merasa dejavu. Jika sebelumnya anak mereka yang berdarah-darah karena mimisan yang parah, kali ini ibu dari bocah malang itu mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Brukkk!

Mbak Pur tidak melihat atau pun merasakan apa-apa lagi, selain sayup suara sang nyonya rumah yang terus memanggil namanya. Suara itu semakin samar, tapi terus memintanya untuk segera bangun.

Saya membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah sang majikan. Wanita berwajah cantik itu terlihat tersenyum dan segera mengambil gelas berisi air putih yang kemudian disodokan padanya.

"Minum dulu." Sonya meminta ia minum, sembari membantunya duduk. Separuh isi gelas tandas, berpindah ke dalam perutnya.

"Apa yang terjadi, Bu?" tanya perempuan itu kebingungan.

"Kamu pingsan, Mbak. Bukannya bantuin, malah bikin orang makin panik," sahut Sonya, seraya tergelak kecil.

Mbak Pur melongo, lalu terdiam dan mencoba mengingat kembali tentang apa yang sudah terjadi.

"Maaf, Bu. Maafkan saya," ucapnya, merasa bersalah. "Bagaimana keadaan teman Ibu? Nggak kenapa-napa kan, Bu?"

"Nggak apa-apa. Tadi sudah diperiksa sama Dokter, dan sekarang sudah tidur di kamarnya. Lagian kamu kok, bisa-bisanya pingsan, kenapa? Belum makan?" tanya Sonya, sembari berdiri dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut karena terlalu lama duduk di sisi tempat tidur Mbak Pur.

"Anu, Bu. Saya lemes kalo lihat darah," jawab Mbak Pur.

"Ohh ... untung kamar kamu deket dari rumah sebelah. Lain kali nggak usah diet-diet segala, ya. Makan yang cukup biar nggak lemes dan nggak gampang pingsan. Kesehatan lebih utama, Mbak!" tegurnya dengan tatapan sok galak.

"Iya, Bu. Saya nggak akan ulangi lagi," jawab Mbak Pur tersipu. Sepertinya ia sudah tertangkap basah karena di atas meja terjejer rapi beberapa kotak dus kemasan kecil obat pelangsing.

"Ya, udah. Mendingan Mbak Pur istirahat saja dulu. Urusan makan malam, nanti biar aku yang urus," ucapnya dengan penuh pengertian.

"Nggak kok, Bu. Saya nggak apa-apa. Sudah sehat," jawab Mbak Pur, seraya bangun dan berdiri di pinggiran ranjang.

"Bener?" tanya Sonya, sedikit meragukan kata-kata asisten rumah tangganya itu.

"Iya, Bu." Mbak Pur mengangguk cepat, meyakinkan sang majikan agar diperkenankan kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Akhirnya Sonya mengizinkan Mbak Pur untuk menyajikan makan malam untuk mereka, termasuk Reno dan Dini yang sempat diberikan obat penenang oleh Dokter langganan keluarga kaya itu.

"Apa yang terjadi, Ma?" tanya Bara, yang baru saja datang dan masih mengenakan pakaian kantor.

"Eh! Papa kok, nggak kasih kabar mau pulang? Katanya mau ke luar kota?" sahut Sonya terkejut.

"Katakan dulu ada apa? Dokter Sam menelpon tadi, katanya ada keadaan darurat di rumah. Siapa yang sakit?" tanya pria yang masih berdiri di hadapannya, menanti jawaban.

"Dini, istri sahabat Papa itu mencoba untuk mengakhiri hidup dengan menyayat pergelangan tangannya," jelas Sonya.

Pria yang baru saja mengendurkan ikatan tali dasi itu terhenyak mendengar jawaban istrinya.

--