webnovel

Kerinduan

Reno terdiam dan termenung untuk beberapa lama. Kepergian Alika yang begitu mendadak tetap saja membuatnya syok, meski sudah belakangan ini ia nantikan.

"Kau baik-baik saja, Ren?" tanya Bara, sembari menyentuh bahu sahabatnya itu dengan lembut.

"Apa yang harus aku katakan padanya, Bar? Bagaimana kalau depresinya kambuh lagi dan melakukan hal-hal konyol seperti sebelumnya?" keluh pria berwajah sedih itu.

"Istriku akan menghiburnya untuk sementara waktu ini. Mungkin lebih baik kamu sendiri yang memberitahukan tentang kepergian Alika," bisiknya.

"Aku ... tidak bisa membiarkannya menunggu lama, Bar. Jasad anak kami harus secepatnya dimakamkan meski tanpa kehadiran istriku."

"Apa kau yakin?"

"Belum tahu kabar Alika saja dia sudah berkali-kali tidak sadarkan diri karena keaehatannya lemah, Bar. Bagaimana nanti kalau dia ikut ke pemakaman? Bakalan kacau."

"Tetapi setidaknya, beritahukan dulu tentang kepergiannya agar dia tidak terus berharap pada anak yang kini sudah terbujur kaku di ruang pemulasaran, Ren. Kasihan dia ...."

"Aku pasti akan memberitahunya, Bar. Pasti aku akan memberitahunya sebelum ambulans pergi," janjinya dengan perasaan yang sedikit gamang.

Pada saat itu, Sonya muncul dari dalam kamar tempat Dini mendapatkan perawatan. Wanita cantik itu berjalan pelan mendekati mereka , lalu duduk di sebelah sang suami yang kini menyender ke punggung kursi dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Bagaimana kondisinya, Ma?" tanya Bara.

"Suster memberinya penenang. Sepertinya ... dia sudah merasakan kepergian anaknya karena terus-terusan mengamuk ingin bertemu. Sebaiknya kamu ke dalam dan bicara baik-baik dengan istrimu, Ren. Soal anak kalian ... biar kami yang urus administrasinya."

Reno menoleh, menatap kedua orang itu tanpa berucap sepatah kata pun. Entah berapa banyak hutang yang ia miliki pada mereka, orang asing yang tak segan mengulurkan tangan tanpa banyak syarat dan perhitungan untuk kehidupannya di kota rantau ini.

"Aku ...."

"Sudahlah. Kau masuk saja, temui istrimu. Aku dan Songa yang akan mengurus semuanya," ucap Bara, meyakinkan sahabatnya yang seperti orang kebingungan.

"Kita ke kasir sekarang, Pa?" ucap Sonya, seraya menyentuh pangkuan sang suami untuk meminta persetujuan.

"Oke." Bara mengiyakan dengan turut berdiri, mengikuti sikap Sonya yang berniat untuk pergi mengurus semua biaya administrasi yang dikenakan pihak rumah sakit pada keluarga sang sahabat. Seperti biasanya.

"Terima kasih banyak, Bar," ucap Reno.

Lelaki yang membiarkan wajahnua sedikit berjambang itu hanya melambaikan tangan, sembari berlalu meninggalkan sang sahabat. Sejurus kemudian, Reno pun berbalik dan masuk ke dalam kamar rawat untuk menemui istrinya.

Kondisi Dini tidak baik-baik saja. Lantaran memiliki riwayat depresi dan sering memberontak, maka perawat memutuskan untuk mengikat kedua tangannya ke sisi tempat tidur--tentu saja atas persetujuan Dokter yang merawatnya--demi untuk mengamankan jarum infus agar tidak tercabut kembali.

"Sampai kapan kamu akan begini, Din?" bisik pria itu, seraya menyentuh jemari yang kurus dan tiada daya.

"Bagaimana nanti kita akan menjalani hari-hari bersama tanpa Alika? Selama ini, hanya anak itu yang membuatmu tetap bertahan di sisiku, Dini. Aku tahu," gumam pria itu lagi, lantas menghela napas dalam-dalam dan terasa begitu berat.

--

Sonya sedikit terburu-buru mengejar Bara yang telah lebih dulu berjalan meninggalkan lobi rumah sakit. Mereka tidak kembali ke ruangan dimana Dini dirawat, tapi memutuskan untuk pergi makan di luar sebelum berpisah dengan urusan masing-masing.

"Papa mau kembali ke kantor?"

"Hmm! Ada yang harus diselesaikan."

"Pulang malam?" tanya Sonya, sembari terus mengikuti suaminya yang kini bergegas menuju area parkir.

"Aku usahakan tidak. Maaf aku tidak bisa menemanimu ke panti asuhan, Ma. Nggak apa-apa kalau kamu pergi sendiri, kan?"

"Jangan bercanda. Bukankah selama ini aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri? Jangan merasa bersalah," sahutnya.

Bara tersenyum getir saat mendengar sindiran tajam sang istri. Keduanya memang telah belasan tahun hidup bersama, tapi untuk urusan pribadi, keduanya tetap mempertahankan prinsip masing-masing. Hal itu sudah berlangsung sejak lama.

"Mau makan apa?"

"Aku ingin makan yang berlemak hari ini," sahut Sonya.

"Oke." Bar menyanggupi, lantas membuka pintu mobil sementara hal yang sama juga dilakukan oleh sang pasangan di bagian yang berseberangan.

Mobil meluncur pergi,meninggalkan suasana rumah sakit yang entah sudah berapa kali mereka singgahi belakangan ini. Selain memang Bara yang rutin mendatangi Dokter Psikiater untuk mendapatkan perawatan, Sonya pun beberapa kali datang untuk masalah kesehatannya juga sang putra yang berkali-kali mendapatkan perawatan karena mengalami accident hingga mendapatkan cidera.

"Kemana saja Riki pergi belakangan ini? Aku tidak melihatnya tidur di rumah?" tanya Bara, saat mereka telah duduk bersama menikmati sajian makanan di sebuah restaurant.

Sonya tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. Riki memang sudah tiga hari ini berada di luar rumah, setelah sempat pamit untuk pergi ke daerah Bogor untuk melakukan pendakian gunung bersama teman-temannya.

"Papa tidak usah memikirkan yang macam-macam. Anak seusia dia memang seperti itu, Pa. Butuh banyak refreshing agar bisa menghadapi ujian yang sudah semakin dekat. Biarkanlah saja dia bersenang-senang. Nanti kalau sudah capek juga akan pulang ke rumah," ucap wanita cantik itu.

"Kau terus saja membelanya."

"Semua ibu di dunia ini pasti melakukan hal yang sama untuk anaknya. Kalian para lelaki, mana ada mengerti perasaan kami sebagai seorang ibu?"

"Kami melakukan hal yang lebih logis, ketimbang hanya melakukan sesuatu yang sia-sia."

'Kok, sia-sia? Sikap kami yang mana yang sia-sia dalam mencintai anak?"

"Kau terlalu memanjakannya, Ma. Akhirnya dia jadi anak yang ngelunjak sekarang."

"Ngelunjak bagaimana? Bagian mananya yang kata Papa ngelunjak? Riki buat mama adalah anak paling manis di dunia."

"Manis apanya? Kau terlalu berlebihan. Kalau kamu masih saja terus-terusan memberi apa pun yang dia mau, ujung-ujungnya dia yang akan injak kepala kita."

"Papa kok, ngomongnya gitu?" sanggahnya dengan tatapan merajuk.

"Aku ngomong fakta, Ma. Nggak lihat apa kamu, banyak sekali kejadian di luar sana?"

"Itu kan, mereka. Bukan Riki anak kita, Pa. Nggak usah bikin Mama emosi, deh."

Bara terkekeh saat melihat raut wajah istrinya yang cemberut. Wanita cantik itu hanya menaruh sedikit sekali nasi di piring, lantas menambahkannya dengan beberapa lauk yang sudah tersaji. Istrinya itu adalah sosok perempuan yang amat sangat menjaga penampilannya. Anti dibilang gendut.

"Tidak bisakah kau makan seperti orang normal lainnya?" gumam Bara, tanpa menatap sang pemilik hidung runcing itu.

"Aku hanya ingin tetap terlihat cantik di mata suamiku," jawabnya, dengan sikap yang sama seperti pria di depannya.

Mendengar jawaban itu, Bara sempat tertegun sebentar, lantas melanjutkan melahap makanannya tanpa berkata-kata lagi. Sudah terlalu lama mereka berbincang santai seperti ini. Hal yang sangat jarang terjadi, sama seperti saat mereka duduk bersama di bar mini di sudut rumah mereka beberapa malam yang lalu.

"Aku cantik begini saja kau masih melirik yang lain, bagaimana kalau aku gendut?" batinnya dengan rasa sesak di dalam dada.

--