webnovel

Awal kebohongan

Bara terhenyak, menatap mata perempuan di depannya yang membulat memandang tak berkedip. Hingga kemudian pria itu tiba-tiba terbatuk dan berpaling ke arah lain.

"Menu pesanan sudah siap. Terima kasih sudah menunggu ...."

Beruntung karyawan restaurant datang membawakan makanan yang telah mereka pesan. Keduanya pun hanya diam selama hidangan disajikan lengkap beserta minumannya.

"Silakan Bapak, Ibu." Salah seorang karyawan perempuan mempersilakan mereka, lalu pergi bersama temannya yang lain.

"Mari makan!" ucap Bara, tanpa melihat ke arah Dini.

Perempuan itu tidak menyahut, hanya diam dan mulai mengikuti sikap Bara. Mulai dari mencuci tangan, meminum air putih dalam gelas, lalu menyantap makanan dengan tangan. Karena menu yang mereka pesan adalah ikan bakar.

Selesai makan, mereka pun memutuskan untuk pulang. Bara masih melakukan hal yang sama, yaitu menggendong Alika tanpa merasa malu. Padahal mereka sempat menjadi pusat perhatian saat berjalan menuju area parkir mobil.

'Sama Mama ya, Sayang," ucap pria itu lembut, saat menyerahkan Alika di pangkuan sang ibu.

Bocah itu hanya membuka matanya sebentar, lalu kembali mengatupkan kedua matanya. Dini dengan cepat memeluk Alika, lalu berusaha membuat si anak tenang kembali. Bara sempat berdiri sebentar di dekat mereka, menatap wajah Dini dari dekat. Ia tahu kalau pria itu sedang memperhatikan dari bayangan sudut mata, tapi Dini berusah untuk tidak merespon.

"Kita pulang sekarang," ucap Bara, kemudian menutup pintu mobil dan pindah ke posisi depan.

Mobil melaju dengan kecepatan biasa di jalanan yang cukup tenang itu. Baik Dini atau pun Bara tidak lagi terlibat pembicaraan. Hanya detak jantung masing-masing yang seolah mewakili bagaimana perasaan mereka saat ini.

'Bolehkah saya menyukai Bapak?'

Kata-kata perempuan itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Bara. Ibarat punya sayap, mungkin saat ini ia akan terbang menembus awan. Diam-diam pria itu mengulum senyum, lalu merapatkan posisi duduknya, agar tidak ada ruang untuk hasratnya bereaksi.

"Terima kasih, Pak." Pelan ucapan Dini terdengar, saat mereka telah sampai di halaman rumah.

Bara tidak menyahut, melainkan segera melompat turun dan saat itulah ia melihat sosok istrinya sudah berdiri di teras. Seketika senyum wajah pria itu lenyap dengan sendirinya.

"Mama?" panggilnya.

"Kalian sudah pulang? Gimana keadaan Alika?" sahut Sonya, seraya bergegas mendekat ke belakang mobil.

"Masih tidur, Bu," jawab Dini yang tidak kalah terkejutnya seperti Bara.

"Sudah kubilang jangan panggil 'Bu', panggil 'Kakak' saja," ralatnya ramah.

"I-iya ... Kak. Maaf merepotkan," sahut Dini.

"Papa tolong, dong!" seru Sonya pada Bara yang sedang mengambil kursi roda di bagasi.

Buyar sudah angan pria berkaus kerah itu untuk memulai pergerakan. Ia sempat berencana untuk mencumbu istri sahabatnya itu setelah mereka tiba di rumah. Dini pasti tidak akan menolak setelah ucapan lancangnya beberapa saat yang lalu di restaurant.

Dini berjalan perlahan mengikuti Sonya yang telah lebih dulu mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah. Ia tidak berani menoleh ke belakang, meski yakin benar kalau Bara sedang menatapnya saat ini.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini jadwal Alika pergi ke rumah sakit? Aku 'kan bisa mengantar kalian," ujar wanita beraroma wangi itu.

"Maaf, Kak. Saya tidak ingin merepotkan. Tadi saja- sebenarnya saya mau naik taksi, tapi ...."

"Taksinya lama tak datang, ya? Makanya dia memberikan tumpangan? Aku tahu, kok," ucap Sonya, seraya menunjuk ke arah suaminya dengan gerakan mata.

Dini hanya terdiam menatap Bara yang sedang membantu memindahkan Alika ke atas tempat tidur. Ternyata Sonya sudah tahu kalau suaminya sudah mengantar mereka ke rumah sakit.

"Mama tadi telpon ke kantor. Selvi bilang kamu nggak mampir ke sana, jadi sekalian aku minta nomor kontaknya Reno tadi. Soalnya Mbak Pur bilang Dini dan anaknya nggak di rumah, " ulas Sonya.

"Hmm, iya. Aku memang menawarkan untuk mengantar karena taksi yang dia pesan tidak juga datang. Toh, aku juga mau pergi menemui Dokter Mahen," jawab Bara.

"Dokter Mahen?" Dahi wanita cantik itu sedikit mengerut saat mendengar penjelasan sang suami, "Dia sudah pulang dari liburan?" ucapnya.

Mampus! Ia lupa kalau Sonya juga mengenal dokter pribadinya tersebut, bahkan pernah beberapa kali ikut berkonsultasi seperti dirinya. Besar kemungkinan mereka saling berkomunikasi di luar jam praktek rumah sakit.

"Iya, dia belum pulang. Aku ke sana untuk mengambil obat," tukas Bara, tidak kehabisan kata untuk berkelit.

Dini hanya diam terpaku, mendengarkan percakapan kecil mereka tanpa berani menyela. Tetapi ia kini mengerti jika pria itu sudah bicara tidak jujur padanya sejak awal mereka pergi.

"Aku pulang dulu. Capek," keluh pria itu.

"Ehemm, nanti mama nyusul," sahut Sonya, mengikutinya keluar kamar.

"Terima kasih banyak, Pak." Dini sedikit membungkuk saat pria itu telah berada di depannya.

"Hmm." Bara hanya berdeham, kemudian berlalu meninggalkannya.

Ada sebuah plastik besar yang sengaja ditinggalkan di meja. Seperti biasa, Sonya selalu memberikan semua keperluan sehari-hari. Sudah berkali-kali ia menolak, tapi wanita cantik itu tak pernah mendengarkannya.

"Kau sudah makan?" tanya Sonya yang tiba-tiba muncul setelah terdengar suara mobil menjauh dari luar.

Dini hanya menggeleng pelan. Ia tidak mungkin memberitahu kalau ia baru saja makan di restaurant bersama suami wanita yang begitu baik itu.

"Aku tadi bikin salad. Kamu harus coba!" ucapnya antusias.

Dini mengikuti Sonya yang langsung menuju ke meja makan, lalu membuka kulkas dan mengeluarkan satu mangkuk bening berukuran kecil berisi salad buah yang terlihat lezat.

'Aku jarang sekali makan nasi, jadi selain dijus ya ... makan salad seperti ini. Cobain, deh! Ini bagus buat kulit kamu," ucapnya dengan senyum mengembang.

Benar apa yang dikatakan oleh Sonya tentang kondisi kulitnya yang mengerikan. Dini hampir tidak pernah lagi merawat diri, bahkan peduli dengan kusam di wajah pun tidak sempat dia lakukan.

"Saya ... kurang begitu suka keju, Kak," gumam perempuan bertubuh ramping itu.

"Enggak. Aku nggak taruh keju banyak-banyak, kok. Beneran enak loh ini, sayang kalau nggak dimakan," ujarnya, memasang wajah yang sedikit murung.

Dini menghela napas, lalu mengangguk dan duduk di kursi yang telah ditarik oleh Sonya lebih dulu. Sangat tidak etis jika ia menolak kebaikan sang pemilik rumah. Lagi pula tidak ada salahnya mencoba barang dua atau tiga suapan saja.

"Gimana, enak?" tanya Sonya kemudian. Sepasang mata cantiknya terus memperhatikan ekspresi di wajah perempuan yang sudah dianggap adik itu, penasaran.

"Mmmm ... lezat sekali, Kak. Ini seger," jawab Dini dengan senyum yang mengembang.

"Benar, kan? Mbak Pur aja ketagihan loh, sama salad buatanku," sahutnya dengan senyum sumringah.

Dini mengulum senyum, sekuat hati menahan agar suapan yang ditelannya tidak kembali naik ke tenggorokan. Ia sangat tidak suka dengan keju atau pun mayonaise yang berasa kuat dalam salad. Tetapi ia juga tidak mungkin untuk membuat sang nyonya kecewa.

--