webnovel

Chapter 9: Nyaris Berubah Pikiran

From: Ale

Nggak usah ribet pilih baju. Pakai yang nyaman buat lo tapi tetap rapi

Lynn menghempaskan napasnya sangat kasar. Merasa cukup lega. Tak menyangka bilamana Ale sedang memahami situasinya untuk memilih pakaian. Mengiriminya pesan singkat dengan tanggap.

Masih dengan konsep yang sama dari sebelumnya. Vintage dress menjadi andalan. Hanya saja, Lynn memang jarang mengenakan pakaian rapi, karena ia hanya berkutat dengan pemotongan daging. Jadi, Ibu membantu Lynn memberikan spray pewangi pakaian agar bau apek hempas.

Dress yang dipakainya berada di posisi paling bawah tumpukan lemari usang.

Kini Lynn dan Ale berada dalam perjalanan. Ia duduk di kursi penumpang bagian depan—tepat di samping Ake yang sedang mengemudikan mobil pabrikan Eropa tersebut dengan tenang. Sempat melirik Ale, lalu kembali termangu. Menatap jalanan Kota.

Ia sedang mencerna situasi selepas pertemuan secara langsung Ale dengan kedua orang tuanya. Tanpa aba-aba. Secara mengejutkan. Orang yang memiliki tujuan aneh. Lynn sejenak menatapnya lagi.

"Gue tau gue ganteng. Tapi, nggak perlu ngeliatin gitu, dong!"

Celotehan Ale yang penuh percaya diri sempat membuat Lynn nyaris mengeluarkan bunyi ceguk dari kerongkongannya. Seketika gadis itu langsung memutar bola matanya malas.

"Khmm..." Lynn berdeham demi menetralisir rasa canggung, "Gue cuma agak tersentuh aja sama cara lo ngomong ke orang tua gue tadi. Rasanya kaya beneran. Maksud gue.. lo semanis itu di depan orang tua gue minta mau kenal lebih jauh, tapi gimana rasanya kalau mereka tau kalau setelah setahun kita pisah?"

"Gue cuma nggak bisa bayangin aja." lanjutnya khawatir.

"Lo baper?" tanya Ale menggodanya.

Satu tatapan tajam Lynn menyayat, "Uhmm! Gue baper, puas?!"

Lynn bersedekap, "Lagian cewek mana yang nggak baper kalau gitu?! Normal. Itu artinya gue waras!"

Sambil mengendalikan kemudinya, Ale hanya mampu teridiam. Banyak pikiran yang sedang meminta perhatian di otaknya sampai satu kata benar-benar keluar.

"Lagian ini demi kebaikan kita bersama."

Gadis berambut sebahu itu menatap Ale lagi, "Lo kayanya bener-bener nggak mau nikah seumur hidup, ya?"

Ale mangangguk tipis sambil fokus berkendara, "Lynn.. gue udah bilang kan kalau kita nggak perlu ikut campur urusan masing-masing?" Lantas menatap lawan bicaranya dengan tatapan penuh peringatan.

Itu membuatnya langsung meneguk saliva kasar. Memilih untuk sekedar mengangguk pelan dan kembali membuang muka. Sepertinya Ale yang punya kepribadian fleksibel itu benar-benar sensitif dengan urusan pribadi.

"Bentar lagi kita sampai ke kantor Mama."

"Whatt?!" pekik Lynn. Matanya membulat penuh.

Ale melirik sekilas, "Gitu amat? Kenapa?"

"L-lo kok udah langsung ajak gue ketemu nyokap lo, sih?" tanyanya panik. Lebih tepatnya belum mempersiapkan diri.

"Udah.. jadi diri lo apa adanya aja."

"Waahh.. trus gimana kalau misal gue nggak lolos kualifikasi sebagai menantu?"

"Kenapa nggak masuk? Nyokap gue terima apa aja pilihan gue." balas Ale santai. Berbanding terbalik dengan Lynn yang sedang tak keruan.

"Sepercaya itu nyokap lo ama lo?"

Ale mengangguk sambil memutar rodak kemudi karena berbelok, "Udah gue bilang kan kalau keluarga gue nggak punya pemikiran kuno! Lagian lo anak baik yang bisa mendampingi gue, setidaknya dalam satu tahun kedepan."

Lynn terhenyak sejenak dengan ucapan Ale, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kenapa lo bisa percaya sama gue?"

Ale menghentikan laju mobilnya setelah memarkirkan mobil dengan benar, "Orang yang mendedikasikan kehidupannya untuk keluarga adalah orang baik. Bahkan kejadian 10 tahun lalu. Lo nggak akan ngehajar Adit kalau dia nggak nyenggol keluarga lo, kan?"

Lagi-lagi Lynn tercenung. Diam dalam hening untuk beberapa detik. Ia tak menyangka jika Ale punya kesimpulan tersendiri. Tak hanya asal menilai. Semua pikirannya mendadak pecah saat pria itu kembali menyambung. Menyadarkannya.

"Buruan turun, kita udah sampai di butik Mama!" Ale keluar lebih dahulu. Meninggalkan Lynn yang sedang terbelalak.

Gadis itu buru-buru membuka sunvisor yang terdapat cermin disana. Untuk memastikan penampilannya rapi. Ya, setidaknya rapi. Itu yang dikatakan Ale bersamaan dengan pintu yang terbuka.

"Ayo, turun!" kata Ale setelah membuka pintu Lynn.

"I-iya bentar."

Hanya menunggu beberapa detik sampai akhirnya Lynn benar-benar keluar dari pintu. Sedangkan satu tangan Ale berada di tepi atas mobil. Menjaga Lynn agar tidak membentur. Lalu berakhir menutup pintu pelan.

-Marion Moslem Fashion Studio-

"Woah!" Lynn takjub menatap eksterior bangunan butik, "Nyokap lo punya berapa bisnis, sih?"

"Banyak! Ayo!"

Lynn lantas tak punya pilihan lain, selain mengekori Ale. Dalam hatinya sedang bergemuruh. Mendapati betapa megah kehidupan Ale membuatnya semakin kehilangan rasa percaya diri dengan kontrak pernikahan itu.

Lynn ragu. Takut. Semua bercampur menjadi satu.

Meski hanya kontrak satu tahun, rasanya ia tak terbiasa dengan kehidupan mewah. Semua berbanding terbalik dengan kehidupannya yang sederhana. Bagaimana jika pernikahan besar benar-benar diselenggarakan? Ia tak habis pikir seorang pangeran kaya raya menikahi gadis penjaja daging sepertinya.

Haruskah ia membatalkan kontrak itu?

Lantas, bagaimana caranya?

***

"Ale!" seru Mama yang kebetulan sedang turun langsung melayani pembeli.

Sempat meminta staf lain untuk menggantikannya. Wanita berhijab yang masih tampak bersinar di usia enam puluhan itu menghampiri putra tunggalnya yang datang bersama seorang gadis.

"I-ini...?"

"Ah~ ini calon yang mau aku kenalin Mama." jawab Ale santai.

"Ah~"

Lynn menunduk sedikit dengan tubuh yang gemetar. Menyapa dengan sopan, "Assalamualaikum, Tante."

"Wa'alaikumussalaam, cantik." balasnya ramah. Dan terlihat sangat menyenangkan.

Ya, menyenangkan karena belum menemukan kehidupan Lynn yang sesungguhnya. Entah apa sikapnya nanti. Lynn sangat khawatir.

"Kenapa kamu nggak bilang?" protes Mama pada Ale.

"Ale kan udah bilang waktu Mama main ke kantor."

"Maksudnya kenapa nggak ngabarin kalau hari ini mau bawa calon kamu! Tau gitu kita bawa ke restoran!"

Ale terkekeh, "Nggak masalah, Ma. Udah di ruang tunggu itu aja. Santai! Nanti tinggal pesan kopi di depan."

"Ah~ maaf, ya.. Sambutan pertama malah kaya gini." Mama justru merasa tidak enak. Namun Lynn langsung tanggap dan mengatakan bahwa itu bukan masalah. Dan sedikit meredakan rasa sungkan Mama yang kini membawanya ke sebuah ruang di sudut butik.

Mama duduk berhadapan dengan Ale dan Lynn yang berdampingan. Tiga cup kopi juga sudah tersaji di antara mereka. Membuka obrolan ringan seperti air yang mengalir.

"Nama yang bagus, Fathima Lynne." kata Mama.

Lynn berusaha untuk tetap membuat suasana hangat, walaupun ia sedang keringat dingin. Bahkan Ale sempat tersentak. Sempat khawatir, lalu mengambil keputusan yang tepat. Yakni, melepas ikat rambut Lynn yang justru membuat gadis itu dan juga Mama terkejut.

"Ah~ lebih gemes kalau rambut pendeknya digerai aja." ucap Ale membuat alibi tak berarah, "Liat, Ma! Lucu banget kan kalau digerai sebahu gini. Kaya anak SD."

Seketika Lynn memberikan tatapan mengintimidasi, lalu menginjak kaki Ale. Nyaris pria itu berteriak, namun tetap menahannya.

"Wah.. iya. Kamu lucu banget! Kamu beneran teman SMA Ale?"

"Iya, Tante."

"Tapi, kamu lebih awet muda. Masih imut." Mama memberi pujian.

"Mama.. ya jelas beda. Dia perempuan dan aku laki-laki. Pertumbuha---."

"Nggak usah alasan!" Sela Lynn langsung membuat Ale kehilangan kata-kata. Mereka sedang saling tatap. Mengintimidasi.

Seketika itu memecah gelak tawa Mama. Ia justru senang melihat interaksi keduanya yang bertentangan. Itu justru unik dan lucu.

"Kalian tau nggak? Kalian ini mengingatkan Mama sama Almarhum Papanya Ale.. kita dulu teman SMA juga dan kaya kalian gini." ungkap Mama masih tertawa.

Lynn lantas menggaruk alisnya yang tak gatal. Sedangkan Ale juga hanya menghening dalam diam. Tak mau banyak bertingkah.

"Ngomong-ngomong, Lynn sekarang kegiatannya apa?" tanya Mama.

"Ah~" Lynn mulai bergetar. Namun, berusaha untuk tetap tenang dan sempat melirik Ale yang ternyata tak memberikan interupsi apapun melalui isyaratnya, "S-saya pedagang ayam, Tante."

"Ayah Lynn punya peternakan ayam kecil-kecilan di rumah, trus Lynn bagian yang ngejualin di pasar. Sedangkan ibunya yang mengolah jadi ayam goreng yang di jual di rumah." sambung Ale dengan tanggap dan sangat antusias bahkan sebelum Mama memberikan responnya.

Sempat terdiam sejenak. Mama tampak merenung dalam beberapa waktu yang membuat Lynn hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Ia berharap, kejujurannya di hadapan kehidupan sultan membuatnya ditolak menjadi menantu. Sehingga kontrak pernikahan itu gagal secara alami.

"Mama tau? Ayam gorengnya enaaak banget."

Lynn terperanjat saat Ale justru mengimbuhi lagi.

Mata Mama berbinar, "Serius?! Kenapa kamu nggak ajak-ajak Mama?!"

"Lynn" panggil Mama.

"I-iya?"

"Mama barusan sempat berpikir. Kalau orang tua kamu benar-benar hebat. Bagaimana bisa memanfaatkan SDM secara alami?" tawa Mama sambil menjentikkan jemarinya.

Lynn mengerutkan kening, "M-maksudnya?"

Mama meletakkan gelasnya ke atas tatakan di atas meja setelah meneguknya. Menjawab dengan semangat dan penuh takjub, "Itu bagus, Lynn! Orang tua kamu memanfaatkan peluang dalam keluarga."

Pun Lynn hanya mengangguk-angguk tak banyak menimpali.

"Gimana.. kalau kamu nanti sudah resmi nikah sama Ale, kita perluas lagi bisnis orang tua kamu?" lanjut Mama tiba-tiba memberi penawaran. "Ide Mama bagus, kan?"

"Bagus banget, Ma! Nanti Mama mertua aku juga dibuatkan restoran!" Ale justru mengompor-ngompori ibunya.

"Nah! Betul itu! Kita manfaatkan kesempatan yang ada!" Semangat Mama masih mengembara.

Entah untuk yang kesekian kalinya Lynn dibuat kikuk dengan tingkah dan respon tak teduga ibu dari Ale ini. Sampai-sampai, ia kehilangan energi dan menghempaskan tubuhnya ke punggung sofa. Lalu sedikit turun. Terperosot.

Hhh.. diam-diam napasnya melena menghembus seiring dengan hebohnya pembicaraan ibu dan anak yang sedang memanfaatkan keadaan. Sepertinya peluang untuk membatalkan kontrak justru tidak ada.

Ternyata keluarga Ale tak kalah nyelenehnya dari keluarga Lynn.