"Tadi Mbak bilang akan membongkar kejahatan dan kebusukan mereka, mereka itu siapa Mbak?" tanya Garnis penasaran.
"Mmmm, mereka...,"
"Mereka siapa Mbak?" tanya Garnis memotong kalimat Ainun karena penasaran.
"Sssttt, sabar Nduk, dengar penjelasan mbak Ainun," protes bu Hanum sambil menepuk pundak putrinya.
Ainun gelagapan dan bingung untuk menjawab pertanyaan Garnis, dalam hatinya merutuk dirinya sendiri karena tak bisa mengontrol bicaranya.
"Mmmm, ma-maaf Mbak, saya tadi sedang melamunkan kelanjutan novel kesukaan saya, saya tadi nggak sadar keceplosan, habis saya ikut emosi dan gregetan karena ceritanya seru, he he," jawaban bohong dari Ainun terlontar begitu saja.
"Oh!" hanya itu yang terlontar dari bibir Garnis.
"Wah, mbak Ainun suka baca novel juga?" tanya bu Hanum antusias.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu dari luar menyelamatkan kebingungan Ainun untuk menjawab pertanyaan bu Hanum.
"Bu Ainun! Mana uangnya? Hari ini harus ada, kalau nggak ada silakan keluar dari rumah saya!" sergah seorang lelaki yang tiba-tiba masuk ke rumah Ainun tanpa permisi, suaranya lantang dan keras.
Ainun tak berani menatap ke arah lelaki itu, dia merasa bingung dan takut, karena saat ini belum mempunyai cukup uang untuk membayar sewa rumah yang ditempatinya. Lelaki itu adalah pak Rahmat, pemilik kontrakan yang terkenal galak dan disiplin.
Sementara Garnis dan bu Hanum saling bertukar pandangan,dalam hatinya masing-masing bertanya dan menebak masalah apa yang sedang dihadapi Ainun.
"Mmaaf pak Rahmat, sa-saya be-belum...,"
"Belum ada uangnya? Begitu kan? Baik! Silakan keluar sekarang juga dari rumah saya!" pak Rahmat memotong kalimat Ainun dengan suara menggelegar, wajahnya menghitam karena marah, tatapannya nyalang.
"Enak saja tinggal di rumah orang nggak mau bayar, kalau mau gratis, di bawah kolong jembatan sana!" pak Rahmat menyambung ucapannya dengan kalimat yang lebih sinis dan pedas.
Ainun hanya bisa diam, cacian dan makian dari pak Rahmat adalah hal yang biasa baginya.
"Maaf kalau saya lancang dan ikut campur, berapa bulan uang tunggakkan sewa mbak Ainun?" tanya Garnis kepada pak Rahmat yang masih berdiri berkacak pinggang.
"Satu bulan jatuh tempo besok, tapi harus dibayar hari ini! Memangnya kamu mau bayar? Nggak usah banyak tanya kalau nggak ada uang!" jawab pak Rahmat dengan angkuhnya.
"Berapa?" tanya Garnis lagi singkat.
"Delapan ratus!" jawab pak Rahmat juga singkat, tapi dengan nada tinggi.
Mendengar jawaban pak Rahmat, bu Hanum segera membuka tas dan mengeluarkan sebuah plastik kresek berwarna hitam.
"Jangan Bu, itu kan uang hasil jualan hari ini, biar pakai uang Garnis saja!" cegah Garnis dengan suara lirih saat melihat ibunya mulai menghitung uang tersebut.
Bu Hanum mengabaikan ucapan Garnis, wanita itu dengan cepat menghitung lembaran-lembaran merah itu.
"Ini Pak, atas nama mbak Ainun, uang ini cukup untuk membayar sewa rumah selama enam bulan!" kata bu Hanum datar sambil menyerahkan tumpukan uang merah kepada pak Rahmat.
"Ja-jangan Bu, bi-biar nanti saya yang membayarnya!" Ainun berusaha mencegah bu Hanum dengan suara terbata-bata.
"Bu Ainun! Jadi orang nggak usah sombong! Bayar delapan ratus aja nggak bisa, sok-sokan melarang orang !" bentak pak Rahmat keras, dia menatap Ainun dengan garang dan kemudian pandangannya beralih ke arah bu Hanum dengan tersenyum tipis.
"Terima kasih!" ucap lelaki bertubuh pendek itu dengan suara datar, sambil membalikkan badannya dan kemudian beranjak pergi, dan sebelum pergi sempat menoleh dan memgacungkan jempol tangan kanannya ke arah bu Hanum.
Ainun menarik nafas lega, begitu juga Garnis dan bu Hanum. Ainun merasa sungkan dan malu atas kejadian yang baru saja dialami, dan berjanji akan membayar uang bu Hanum, tapi bu Hanum menolaknya dan mengatakan bahwa dia membantunya dengan ikhlas.
Setelah beberapa saat mereka bercerita, akhirnya Garnis dan bu Hanum minta diri, dan sebelum mereka pergi Ainun berjanji akan membantu Garnis dengan segala cara tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Keesokan harinya di rumah besar kediaman Muchlis Hananto.
"Tuan, ini kopinya," kata Ainun sambil meletakkan secangkir kopi hitam di hadapan majikannya yang sedang membaca surat kabar.
"Ainun, sudah berapa kali saya bilang, di rumah ini tidak ada tuan, nyonya atau tuan muda, panggil saya bapak, pak Muchlis!" ujar lelaki yang baru saja dipanggil tuan oleh Ainun, tanpa menoleh ke arah ARTnya yang sudah hampir dua tahun bekerja di rumahnya.
"Tapi tuan?"
"Ainun! Harus pakai bahasa apa saya ngasih tahu kamu biar paham? Sudah, sana lanjutkan kerja!" ucapan tegas yang sedikit menghardik membuat Ainun terkesiap, lalu cepat-cepat pamit dari hadapan majikannya.
"Baik Tuan...,emm, baik Bapak, saya mohon diri melanjutkan kerja."
Muchlis cuma melirik Ainun sekilas, lalu mengambil cangkir kopi dan meminumnya."Hmmm, kopi buatan Ainun memang nikmat," Muchlis bergumam lirih. Tanpa disadari putra satu-satunya sudah berada di hadapannya.
"Papa bicara dengan siapa?" Muchlis tersentak mendengar pertanyaan Danif, putra semata wayangnya yang kelihatan sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Kamu mau ke mana, pagi-pagi sudah rapi?" tanya Muchlis tanpa menjawab pertanyaan Danif.
"Ada klien minta ketemu pagi ini Pa, katanya siang nanti beliau ada urusan penting di Bangkok," jelas Danif, Muchlis mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sangat senang dan puas melihat Danif sangat tekun dan gigih mengelola perusahaan milik keluarganya.
"Pa, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan," kata Danis pelan dan kepalanya menoleh ke sekeliling ruangan, seperti takut ada yang melihat dan mendengar.
"Ada apa, sepertinya serius dan penting," Muchlis ikut-ikutan bicara pelan, mata cokelatnya menatap Danif serius, seolah menuntut putranya untuk segera menyampaikan sesuatu tadi.
"Garnis ada di kota ini Pa," Danif mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Muchlis. Ucapan Danif membuat Muchlis tersentak, tapi dengan cepat dia mengontrol perasaannya, membuat raut mukanya senetral mungkin.
Kemudian Danif menceritakan peristiwa kemarin ketika bertemu dengan Garnis. Muchlis menyimak kalimat demi kalimat diucapkan Danif dengan serius.
"Lalu apa yang kamu khawatirkan dengan adanya dia di sini?" tanya Muchlis setelah Danif menceritakan semuanya.
"Jelas khawatir Pa, bagaimana kalau dia menyelidiki aku?" raut muka Danif menunjukkan kekhawatiran.
"Sudah, serahkan urusan ini sama papa, katanya mau ketemu klien, jangan biarkan dia menunggu!" Muchlis berusaha untuk meyakinkan putranya, dan benar saja, baru saja Muchlis selesai bicara, ponsel Danif bergetar, sebuah panggilan dari Rasyid, asisten pribadinya.
"Aku pergi dulu Pa, masalah tadi jangan sampai orang lain tahu, termasuk mama," Danif pamit tergesa-gesa, dia tak menyadari ada sepasang mata bening mengintai di balik tirai yang membatasi antara dapur dan ruang makan.
"Ainun...Ainun!" suara Andini , istri Muchlis terdengar nyaring memanggil Ainun.
Ainun terperanjat, bergegas Ainun lari mendekati majikan perempuannya yang tak pernah ramah tersebut.
"Ma-maaf Bu, saya sedang beres-beres di ruang tengah," ucap Ainun gugup dan terbata-bata.
Andini membelalakkan matanya mendengar perkataan Ainun.
"Sejak kapan aku jadi ibumu?" Aku ini majikanmu, nyonyamu!"
"Ba...baik Nyonya, ada apa tadi memanggil saya?"
"Baru saja dimarahi pak Muchlis gara-gara memanggilnya tuan, sekarang bu Andini marah karena dipanggil ibu," Ainun menggerutu dalam hati.
"Kenapa malah bengong?" Andini kembali bersuara dengan keras.
"Iya nyonya, apa yang harus saya lakukan?" Ainun menunduk,tak bergemng dari hadapan Andini , menunggu perintah sang nyonya.
"Aku dan tuan Muchlis mau pergi ke luar kota selama beberapa hari, jadi kamu harus menginap di sini sampai kami pulang," titah Andini.
"Baik nyonya, tapi saya mohon ijinkan saya mengajak putri saya," Ainun memberanikan diri minta ijin mengajak putrinya, dia takut terjadi sesuatu kalau membiarkan putrinya seorang diri .
"Terserah kamu, yang penting jalankan tugasmu seperti biasa!" tanpa menunggu jawaban Ainun, Andini melenggang melewati Ainun yang masih berdiri mematung di hadapannya tadi.
"Alhamdulilah!" ucap Ainun lirih.
Bergegas ia menuju ke ruang makan dan mengambil benda hitam yang ia sembunyikan dalam tumpukan biscuit, tadi ketika menyajikan kopi untuk majikannya Ainun sengaja menyertakan satu kaleng biscuit untuk teman minum kopi.
Ainun tahu, majikan lelakinya tak akan menyentuh biscuit itu, karena memang Muchlis tidak suka cemilan manis. Jadi Ainun tak merasa waswas ketika dia menyelipkan alat perekam suara mininya ke dalam kaleng itu.
"Alhamdulilah, walaupun suaranya kurang begitu jelas, perbincangan antara Danif dan pak Muchlis bisa terrekam, aku harus segera menghubungi mbak Garnis," Ainun bergumam lirih.
Sementara itu di sebuah supermarket besar, Garnis sedang menunggu Astria, mereka berjanji akan mengunjungi salah seorang temannya yang sedang sakit. Karena merasa bosan menunggu, Garnis masuk ke dalam supermarket tersebut untuk sekedar melihat-lihat.
"Pa, lihat deh perempuan yang dekat kasir itu, bukankah itu Garnis?" Andini mendekati suaminya yang sedang memilih makanan ringan di sebuah supermarket. Muchlis mengikuti arah yang ditunjuk oleh istrinya. "Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Danif," kata Muchlis dalam hati.
"Aduh, gawat ini Pa, kalau Garnis tahu kita," Andini menarik lengan suaminya,niatnya mengajak pergi untuk menghindari bertemu Garnis.
"Nggak perlu takut, dia nggak akan mengenali kita. Bukankah anak kita waktu mendekati Garnis statusnya yatim piatu, dan Garnis juga nggak pernah tahu wajah kita!" Muchlis menenangkan istrinya yang kelihatan khawatir.
"Oh iya, ya," Andini bergumam, matanya terus mengikuti dan mengawasi gerak gerik Garnis.
"Perhatian-perhatian, telah ditemukan sebuah dompet atas nama bapak R Muchlis Hananto, bagi pengunjung yang merasa kehilangan harap segera menghubungi kami dan mengambil di ruang informasi,terima kasih," suara merdu petugas supermarket membuat Garnis terkejut.
Garnis mengurungkan niatnya untuk menuju ke mobilnya, dia bersembunyi di balik sebuah mobil yang posisinya terdekat dengan ruang informasi.
Dengan sabar Garnis menunggu tuan pemilik dompet, dia merasa penasaran dengan nama yang disebut oleh petugas tadi.
"Maaf mbak, saya pemilik dompet yang mbak sebutkan tadi,' Muchlis menemui petugas yang sedang bertugas di bagian informasi.
"Maaf, bapak bisa sebutkan warna dan ciri-cirinya?" kata petugas itu ramah, dia tak perduli dengan Andini yang menatapnya dengan sinis.
Dengan lancar Muchlis menyebut apa yang diminta petugas itu, dan dengan detail juga lelaki paruh baya itu menyebutkan isi dompet miliknya.
Petugas itu mengangguk dan tersenyum ramah, kemudian menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat itu kepada Muchlis, dan sebelumnya petugas itu mencocokkan wajah Muchlis dengan foto yang terpampang di kartu pengenalnya.
"Huh, ambil barangnya sendiri kok dipersulit," Andini menggerutu sambil menarik lengan suaminya setelah berhasil mengambil dompetnya .
"Mereka cuma menjalankan tugas Ma," pak Muchlis menanggapi ucapan istrinya dengan sabar.
Pasangan suami istri itu berjalan menuju ke sebuah mobil, yang ternyata mobil itu tempat Garnis bersembunyi. Sebelum terlambat,Garnis dengan cepat mengambil gambar mereka.
"Alhamdulilah, selamat," gumam Garnis ketika masuk ke mobilnya. Diambilnya ponsel yang ada dalam tas belanjaannya.
Dibukanya aplikasi galeri dan diamatinya beberapa gambar yang baru saja diambilnya. Kedua matanya terbeliak ketika melihat jaket lusuh yang dipakai Muchlis. Bukankah itu jaket ayahnya yang hilang setelah kematian ayahnya? Bagaimana bisa jaket itu ada di tangan Muchlis? Berbagai pertanyaan muncul di benak Garnis.
Ddrrrttt, ddrrrtttt.
Sebuah panggilan dari Ainun, dengan cepat Garnis menggeser tombol hijau.
"Assallamualaikum mbak," Garnis mengawali salam.
"Waalaikumsalam, mbak Garnis bisa datang ke rumah saya nanti sore, ada sesuatu yang akan saya tunjukkan, saya baru saja...,"
"Ehem."
Ainun memutuskan sambungan telefonnya ketika mendengar suara orang berdehem. Dengan sigap Ainun menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celana kulotnya.
"Habis bicara dengan siapa Mbak?" tanya Danif penasaran, samar-samar tadi dia mendengar Ainun menyebut nama Garnis.
"Eemm, eh mas Danif, ini tadi anak saya telefon minta dijemput," sahut Ainun gugup.
Dahi Danif mengernyit mendengar jawaban Ainun. Dia dapat membaca kepanikan dan kebohongan di wajah Ainun.
"Nama anaknya Anggun kan Mbak? Tapi tadi saya dengar mbak menyebut nama Garnis," cecar Danif, entah kenapa dia menjadi panik mendengar nama Garnis.
"Siapa Garnis Mbak?"