webnovel

Siapa Pembunuh Amanda?

"Sania," panggil Sashi, lirih.

Merasa namanya terpanggil, perempuan bernama Sania itu pun menoleh. Tampangnya datar, seperti biasa yang Sashi lihat. Perlahan, Sania mendekati Sashi dan Komandan Polisi yang mengajak mereka berdua untuk berbicara.

"Kita duduk dulu." Pak Polisi lebih dulu menarik salah satu kursi.

Melihat bagaimana dua anak muda di depannya itu terdiam, Pak Polisi segera berterus terang tentang tujuannya mengumpulkan mereka berdua. Dia berdeham sejenak, cukup menarik perhatian Sania dan Sashi bersamaan.

"Setelah saya mewawancarai orang-orang yang ada di TKP tadi, juga dosen di kampus ini, saya akhirnya memanggil kalian berdua." Polisi itu terlihat menatap Sashi lebih dulu. "Sashi Ilanna, saksi pertama yang menemukan jasad Amanda sekaligus sahabatnya. Lalu, Sania." Barulah tatapannya beralih pada Sania. "Sania Karenina. Rival Amanda, sering terlibat perselisihan. Orang-orang menyimpulkan jika kalian berdua bermusuhan. Bukan begitu, Sashi?"

Sashi mengangguk. Dia memang kerap menjadi saksi pertengkaran antara Amanda dan Sania. Selalu dan selalu Sania tiba-tiba datang, memarahi Amanda. Entah apa alasan yang jelas, Sashi tak pernah tahu dan tidak pernah diberi tahu alasan kenapa Sania bisa sebenci itu pada sahabatnya.

"Saya ingin bertanya dulu kepada Sashi." Kaki Polisi itu sengaja disilangkan, kaki kanan menumpuk kaki kiri. "Apa yang terjadi sebelum tewasnya Amanda?"

Rasanya mendapatkan pertanyaan seperti itu, seakan ada bongkahan batu besar yang kembali menghantam dadanya. Sashi berusaha tegar, dia berusaha keras untuk tetap bercerita walau rasanya semua seperti mimpi buruk.

"Anda tahu siapa saja orang-orang yang terlibat dengan Amanda? Misal memiliki hubungan buruk seperti dengan Sania?"

Seingat Sashi, Amanda tidak memiliki musuh selain Sania. Karena itulah, dia menggeleng kuat. Namun, Sashi baru ingat sekarang. Tingkah Amanda yang mulai aneh satu bulan terakhir, lebih sensitif, sering marah padanya setiap kali melakukan kesalahan kecil.

Haruskah Sashi mengatakannya sekarang?

Jawaban Sashi adalah tidak untuk saat ini. Lebih baik dia pendam dulu, toh, itu masih praduga.

"Manda memang jarang cerita tentang masalahnya ke saya kalau dia pikir bukan hal untuk ketahui oleh orang lain," tambah Sashi. Dia menatap Sania yang juga tengah menatapnya penuh selidik.

"Lalu, Sania. Anda sadar bukan, sekarang ini Anda yang jadi pusat perhatian atas kasus ini? Dalam artian, orang-orang pasti mengira bahwa Anda tersangkanya karena pertikaian selama ini," ungkap Polisi itu, langsung ke intinya.

Sania tersenyum sinis. "Kami memang sering bertengkar, tetapi tidak pernah ada sedikit pun niat untuk membunuh Amanda. Saya juga masih waras, Pak. Saya punya masa depan, gak mau mengotori masa depan saya hanya untuk membunuh Amanda," kilah Sania, kembali menatap Sashi.

Yang Sashi tangkap, Sania kerap memperlihatkan gelagap aneh. Seperti memejamkan mata beberapa detik, lalu menatap dirinya ataupun Pak Polisi itu dalam diam, penuh selidik.

Mungkinkah?

Sashi buru-buru menggeleng, menepis prasangka aneh yang sempat terlintas di benaknya. Hanya karena kebiasaan yang sama, tak mungkin juga ada hal istimewa yang sama pula.

"Kalau kalian nggak percaya, silakan tanya teman-teman saya di kelas. Mereka jadi saksi keberadaan saya di kelas dan tidak membunuh Amanda," imbuh Sania, yakin. Dia bersidekap, tampangnya angkuh.

Paras Sania menurut Sashi memanglah cantik. Akan tetapi, satu hal yang dia tak sukai dari sosok perempuan tinggi, langsing, berkulit putih pucat itu. Perangainya yang buruk.

"Lalu, kenapa selama ini kalian tidak pernah akur?"

"Bukannya Amanda tidak mau akur, Pak. Tetapi, dia yang selalu cari gara-gara. Amanda gak pernah gubris atau menanggapi amarah dia." Sashi menyela niat Sania untuk menjawab.

"Lo diam aja kalau gak tahu apa-apa." Sania tersenyum mengejek. "Tidak perlu tahu alasan kenapa kami selalu bertengkar. Ah, saya selalu mengajaknya bertengkar. Yang perlu diingat, bahwa Amanda yang memulai semua peperangan ini dengan saya empat tahun lalu."

Tiba-tiba, deru napas Sania tak beraturan. Kilas balik empat tahun lalu yang selalu menyesakkan dadanya kembali datang. Dia selalu bersusah payah untuk melupakan masa lalu, hanya saja Tuhan selalu memberikan cara agar dia ingat lagi. Ingat bagaimana luka yang menganga besar itu tak pernah sembuh sama sekali. Hanya waktu yang membuatnya lupa untuk sesaat.

"Saya bukan pelakunya, Pak. Permisi," pamit Sania. Meninggalkan mereka berdua di kelas. Rasanya, dia tak sanggup lagi untuk tetap tinggal. Pasukan oksigen di dalam sana seolah menipis. Setiap dinding seakan menghimpit dadanya, menyesakkan.

"Anda juga masih terlihat syok. Silakan istirahat kembali. Kalau ada hal yang Anda ketahui mengenai kasus ini, segara laporkan kepada saya. Permisi, selamat siang."

"Siang, Pak," sahut Sashi.

***

Sashi melangkah gontai ke kamarnya. Sekujur tubuhnya basah kuyup, hujan deras mengguyur Tangeran sejak pagi tadi. Hanya sesekali reda. Mungkin, langit pun turut sedih ditinggalkan Amanda. Begitu pikir Sashi.

Dia menoleh ke belakang saat sang mama tiba-tiba datang dan mengomel karena lantai basah. Ah, Sashi sempat lupa. Seharusnya dia tidak dulu masuk agar air tidak mengucur dari bajunya ke lantai rumah.

"Ngomelnya besok aja, ya. Sekarang Sashi capek banget. Capek batin lebih tepatnya." Sashi mengacak-acak puncak kepalanya sendiri. "Nanti aku bersihin bekas airnya. Sekarang mau mandi dulu. Jangan suruh makan, masih kenyang."

Setengah jam berlalu. Sashi sudah benar-benar lebih baik daripada tadi. Pakaian serba hitamnya telah tanggal dari tubuhnya, berpindah ke keranjang baju kotor di samping mesin cuci. Dia mendesah pelan, melihat lantai yang kini sudah bersih. Tak ada jejak tetesan air dari ruang tamu ke kamarnya.

"Mama tahu kalau mau lagi sedih, Sas."

Sepertinya, sang mama hobi sekali muncul mendadak tanpa aba-aba.

"Amanda akan sedih kalau lihat kamu kacau begini. Hidup kamu harus terus berlanjut walaupun sudah kehilangan satu sahabat."

Sashi tercenung. Kepalanya mendadak terasa berat. Ini pasti akibat dirinya hujan-hujanan seperti tadi.

Sashi mengerang sambil menjambak rambutnya.

"Sas, are you oke?" tanya sang mama, panik melihat reaksi anaknya.

Sashi mengangguk.

"Ma, kematian Amanda itu banyak janggalnya. Tapi, om sama tantenya Amanda malah menutup kasusnya gitu aja dan berakhir bahwa itu bunuh diri."

Langkah Sashi terseok-seok menuju karpet di depan televisi. Lalu, duduk sila diikuti sang mama.

"Tadi sehabis pemakaman, polisi datang lagi. Mereka bilang, ada racun di tubuh Amanda. Dan kesimpulannya, keluarga menganggap itu bunuh diri." Sashi sampai geleng-geleng, dia cukup kecewa akan keputusan keluarga Amanda yang menurutnya tidak adil. Tidak adil untuk Amanda yang menjadi korban.

Sang mama membelai surai pirang Sashi dengan lembut.

"Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain. Menurut kamu, begitu. Bisa aja menurut keluarga Amanda itu lain lagi. Mungkin bisa aja ada hal yang membuat mereka mengambil keputusan itu, tapi kamu gak tahu karena bersifat privasi."

"Tapi, Ma."

"Sas, kamu harus melangkah ke depan. Amanda sudah tenang, jangan diusik lagi. Kamu ngerti maksud Mama, 'kan?"

Sashi tak ingin mengangguk. Mata sembapnya terpejam, merasakan setiap emosi yang bergejolak dalam diri. Kedua tangannya mengepal kuat di balik saku jaket hitamnya.

"Kamu pucat, Sas," seru sang mama begitu menyadari paras sang anak. Tangannya menjulur, menyentuh kening Sashi. "Kamu ke kamar aja, ya. Mama mau masakin bubur buat kamu sebelum makan obat."

"Sashi baik-baik aja kok, Ma," kelit Sashi.

"Nggak usah bantah," tegas sang mama.

Sashi tak bisa menolak. Mungkin mamanya itu ada benarnya juga. Sekujur tubuh Sashi sekarang terasa ngilu di persendian, kepala berdenyut. Dia tertatih-tatih melangkah ke kamarnya.

Begitu melihat kasur di kamarnya, Sashi langsung mengempaskan tubuh lelahnya itu.

Dalam diam, dalam keheningan kamar, Sashi bergumam, "Gue bakal cari pelakunya, Manda. Firasat gue gak salah."