webnovel

Bab 5 - Hujan Segenang Kisah

Sepasang sepatu menari di atas hujan, tawa renyah itu membuat si empunya mata tak sanggup untuk mengerjap. Wajah cantik berpotongan serba tirus dibingkai rambut jagung yang lebat sepanjang pinggang berayun-ayun tertiup angin. San senang melihat Rea menikmati senja di hari yang diselubungi rinai hujan ini. Sejak satu jam lalu, Rea masih betah bermain dengan air mata langit. Sementara San, sibuk menikmati waktu mencintai Rea dalam diamnya. Rea menarik tangan San, mengajaknya ikut menari di bawah hujan. Tampak gaun putih gading bermotif bunga-bunga kosmos berwana ungu muda dan pink dengan potongan tanpa lengan itu mulai kuyup. San menanggalkan parka biru dongker yang dikenakannya guna menutupi tubuh Rea. San menatap saksama.

"Pulang, yuk! Nanti kamu sakit, Rea," ucap San tersenyum hangat.

Rea menggelengkan kepalanya, melepaskan parka yang membalut tubuhnya ke tanah. Rea menari bagai orang gila, tertawa lepas, berteriak meluapkan segala beban di atas bahunya. San memunguti parka yang terkena noda tanah basah tersebut. Gadis tomboi itu mengibaskan kain parka tersebut, melangkah ke arah Rea. Mendaratkan kain itu di kepala Rea dengan tatapan mata kesal.

"Aku nggak mau kamu sakit!" ucap San ketus. Ditarik tangan Rea mendekati sebuah pohon yang di atasnya terpasang rumah kayu.

"Jangan ngeyel!" ucap San lagi tak melepaskan pegangan tangannya dari Rea. Sedangkan tangan satunya mendarat di pusat kepala Rea, menahan agar Rea tak melepaskannya lagi.

Berdiri di bawah rumah pohon tak bisa dibilang nyaman. Hujan tetap membasahi tubuh keduanya, dingin tetap menyapa, dan parahnya kepala dijatuhi luruhan daun kering. San tidak pernah berpikir jika Rea akan pergi dengan pakaian feminin seperti ini padahal keduanya akan pergi ke tempat tinggi, untuk melihat bukit tempat matahari terbenam. Sebuah tempat yang dinamai Selaras Senja, bukit di pesisian kota. Sayangnya, semua tak berjalan lancar. Motor San kempis ban, hujan turun, dan Rea malah asyik bermain air seperti anak balita. Dan kini terjebak di sebuah taman kecil serba kayu, dari jungkat-jungkit usang, perosotan berlubang, sampai kuda-kudaan yang bentuknya tak lagi seperti kuda.

Wajah Rea memerah, dingin yang menusuk-nusuk permukaan kulitnya membuat Rea hipotermia. Menggigil Rea, giginya silih gemelentuk. San menggosok-gosok permukaan telapak tangannya, kemudian disentuh wajah Rea menciptakan sensasi hangat. Sayangnya, itu tidak efektif. San memutar bola matanya.

"Jangan ke mana-mana, ya?!" perintah San pada Rea, tampak San berlari mendekati motornya. Gadis tomboi itu lekas membuka jok motor, mengeluarkan beberapa peralatan bengkel. Tubuh San diterjang air hujan yang semakin deras. Tangannya yang bergerak menekan ban, tangan satunya memutar jemari ban. San mengembuskan napasnya dengan putus asa. Ban motor bagian dalamnya malah pecah. San menatap Rea yang semakin memucat. Berlari gadis itu menghampiri, membungkuk San memerintah agar Rea naik di punggungnya. "Kita pulang, yuk!" ajak San. Tanpa sadar, Rea memeluk San. Mendaratkan tubuhnya di punggung San. Bola matanya terpejam, merasakan hujan terus menghujam dirinya.

Sementara itu, San tetap melangkah menggendong Rea yang terlihat memejamkan mata, meski sama-sama kedinginan. Jalan sedikit menanjak membuat San beberapa kali harus berhenti, memperbaiki tubuh Rea sedikit ke atas agar tidak terlalu menumpu berat di tangannya. San melepaskan napasnya yang berat. Sebuah warung kecil di ujung jalan membuat San semangat. Berjalan dengan cepat gadis tomboi yang hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam itu.

San meminta dua anak remaja yang duduk di bangku kayu panjang depan warung menurunkan tubuh Rea dari punggungnya. Sang pemilik warung langsung membuatkan air teh hangat yang San pesan. Rea mendaratkan kepalanya di bahu San, masih dalam posisi memejamkan mata.

"Bu, ada bengkel nggak di dekat sini?" tanya San saat wanita paruh baya berpakaian kebaya jadul di depannya membawa nampan.

"Ada di depan situ," tunjuk si wanita pada sebuah jalan yang lebih menanjak.

San menatap Rea, dibelai rambutnya yang basah kuyup. Bibir San berbisik, "Rea minum teh dulu, yuk." Rea menggelengkan kepalanya, perlahan kelopak mata gadis itu terbuka. Ada sayu yang membuat San merasakan dasar di jiwanya bergemuruh. San tersenyum.

"Sedikit aja," ucap San lemah-lembut. Rea pun menyesap bibir gelasnya. San yang sudah lebih dulu menghabiskan air teh super panas itu bangkit dari duduknya. Membelai rambut Rea lagi, senyum di bibir San melengkung sempurna bagaikan pelangi meski hujan belum reda. "Rea tinggal di sini, ya. Aku mau ke bawah lagi, naikkan motor buat dibawa ke bengkel. Ibunya bilang ada bengkel di atas sana."

"Jangan, di sini aja." Rea menatap nanar. Namun, waktu semakin petang. Jika Rea tak pulang, dia akan dapat masalah.

"Sebentar aja, aku janji," tandas San yang langsung berlari ke jalan sebelumnya.

Rea merasakan dadanya berdebar hebat saat melihat San berlari. San seperti kesatria, dia pahlawan dalam segala situasi. Rea benar-benar sayang San, tetapi memikirkannya hanya menbuat Rea ingin marah.

"Dari kota, ya?" tanya si wanita pemilik warung desa tersebut.

Rea menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Cantik roman wajah Rea membuat si wanita ikut tersenyum. Sepiring bakwan jagung yang masih panas disuguhkan walaupun Rea tidak memesannya. Wanita itu duduk di depan Rea, mengamati wajah Rea yang berangsur membaik.

"Yang tadi kakaknya?" tanya wanita itu lagi menoleh pada jalanan.

Rea setia mengangguk sambil tersenyum.

"Kakaknya sudah manis, perhatian banget. Kalau ada juga anak ibu sudah jadi bujang sepertinya," cetus si wanita pemilik warung sembari menatap sendu.

"Anak ibu harus pergi, dia sudah bahagia bersama hidup barunya di surga," lanjutnya dengan berkaca-kaca.

"Takdir nggak akan salah, Bu. Ia turun nggak serta merta untuk membawa dan mengukir duka."

"Betul, selagi masih berkesempatan untuk bernapas, bernapaslah. Jika masih berkesempatan untuk menyayangi dan disayangi. Maka jangan pernah menundanya. Mungkin, dulu pun ibu egois membiarkan ia kesakitan seorang diri. Menjadi ibu yang egois untuk anaknya yang ...." Wanita itu tak berkutik beberapa saat. "Ibu masuk dulu, ya? Kalau butuh sesuatu panggil saja."

"Terima kasih, Bu!" ucap Rea dengan senyum canggung.

Rea menjadi gelisah. Entah, mengapa Rea merasa jika San tidak baik-baik saja. Belum sempat bangkit, terlihat San sudah naik menuntun motornya yang mogok. Air mata Rea berlinang saat San harus naik jalan menanjak lainnya.

"Rea, tunggu, ya? Aku naik sebentar aja!" teriak San dari tengah jalan di bawah hujan. Rea semakin merasa gelisah.

Tiga puluh menit berlalu, hujan mulai mereda. Genangan air tercipta di sepanjang jalan. Tampak San menumpangi motornya yang sudah menyala dengan ban baru. San menepikan motornya. Pamit kedua gadis itu meninggalkan warung. Terasa di tubuh San jika tangan Rea melingkarinya dengan erat. Rea menyesap aroma tubuh San, bahkan bibirnya beberapa kali beradu dengan kulit leher San.

"Kamu pakai parfum baru, San?"

San menoleh pada Rea, menaikkan kaca helmnya kemudian berseru, "Hah?"

"Parfum!"

"Nggak. Aku nggak pakai parfum hari ini. Kenapa?" tanya San sesekali menoleh ke jalan lalu menoleh lagi kepada Rea.

"Pantas bau asem." Rea tertawa renyah. Tangannya tak sadar melingkar semakin erat lagi dan lagi. Bibirnya pun terus beradu dengan kulit leher San.

"Yah, aku keringetan padahal baru aja kehujanan," balas San dengan suara santainya.

Motor San menepi di sebuah toilet umum. Beberapa jam sebelumnya San membelikan Rea kaos di lapak pinggir jalan agar gadis itu ganti baju. Sebab malam akan datang dan San yakin udara akan semakin dingin adanya. Namun, melihat keadaan tempat yang kotor, urung niat Rea ganti baju. San kesal dibuatnya. Dituntun Rea memasuki bilik kamar mandi.

"Kalau kamu nggak ganti baju bisa masuk angin!"

"Bajunya jelek, tempatnya kotor!"

"Tinggal pakai aja, kaosnya sebagai jaket, nanti pakai parka nggak akan kelihatan jeleknya."

"Nggak!" Rea melengos keluar dari tempat tersebut.

San memutar bola matanya jenuh. Langkahnya mengikuti Rea yang sudah kembali naik motor. "Rea, aku nggak mau kamu sakit."

Rea menoleh, mendapati San memegangi kaos itu sembari tersenyum. Wajahnya bak pengemis cinta yang bodoh.