webnovel

Bab 16 - Bahagia yang Sederhana

Pagi menyingsing, San mendengkur cukup keras di balik selimut tebalnya. Semua memang sudah gaduh di minggu pagi ini. Akan tetapi, telinga San lumayan baja tidak peduli terhadap kebisingan yang ada. Sayup-sayup aroma shampo menerpa wajah San, sensasi geli yang menusuk-nusuk kulit wajahnya membuat San perlahan melek. Sepasang mata cantik bening nan berbinar menatapnya. San tersenyum lebar, setengah sadar dari tidurnya. Alam bawah sadarnya belum sepenuhnya terbuka, walau ia sadar betul siapa yang ada di hadapannya kini.

“Mau bangun? Udah siang, lho!?”

Pertanyaan itu membuat tangan San bangun, meraih pinggang si empunya senyum di hadapannya. San mengendus-endus rambut jagung aromatik shampo itu dengan lembut. San menggeleng kecil, ia menyibak rambut Rea hingga kedua daun telinga gadis itu terbuka. Dikecup pipi Rea dengan lembut. “Senang bisa bertemu Rea tepat waktu,” bisik San dengan syahdunya. Kini Rea pasrah tidur di pelukan San yang bau iler dan kembali ke alam mimpinya.

“Aku juga, senang bisa kabur dari rumah untuk melihat senyummu pagi ini.”

Rea yang semula tidak mengantuk, perlahan-lahan menutup kelopak matanya. Tangan gadis itu bersemayam di dada San yang tak seperti perempuan pada umumnya. Seperti yang Rea tahu, San tidak datang bulan, payudaranya pun tidak tumbuh dan membesar. Akan tetapi, kodratnya San tetaplah seorang perempuan, meski agak berbeda. Rea tertidur pulas dalam pelukan San.

***

Lalu lalang para penghuni kostan membuat San tersenyum. Pasalnya, sudah pukul sebelas siang Rea belum bangun juga. San pikir itu hanyalah mimpi saat Rea muncul di sela-sela mimpinya sebab rasa khawatir yang lumayan pekat hawanya. Ternyata Rea memang tidur dalam dekapannya.

Mbak Novi, gadis semester tujuh yang kini menenteng handuk di tangannya itu duduk di meja makan sambil menyeruput segelas susu dingin. “San, hari ini ada waktu kosong? Antar Mbak ke toko buku, yuk? Ada yang harus dibeli, soalnya udah hunting ke perpus kampus tetangga pun nggak ada. Kayaknya harus beli, deh,” terang Novi, gadis itu berjalan menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang tengah.

“Pergi jam berapa, Mbak?”

“Jam satu aja, biar mataharinya turun dulu ke pembaringan. Jangan pergi terik gini, nanti demam.” Novi menangguk santai sambil menutup pintu kamarnya.

“Siap, Mbak!”

San kembali ke kamarnya sambil membawa semangkuk semangka yang sudah dirinya campur dengan air soda. Tampak Rea masih tertidur, meringkuk cantik terhalangi selimut. Geraian rambutnya sedikit hiasi wajahnya, bibirnya yang terkatup rapat begitu tipis, seakan terus berkata untuk disentuh dan terus dikecup. San memegangi dahinya sambil sedikit dipijat. Dunia selalu meninggila setiap kali dirinya di dekat Rea. Suara erangan terdengar lembut dari bibir Rea yang terbuka. Kedua kelopak matanya pun perlahan tampakkan rupa binarnya yang ayu. San mendekati ranjang, gadis tomboi itu berucap, “Selamat siang, Rea? Tidurmu nyenyak?”

Rea tertawa kecil sambil mengucek-ngucek kedua bola matanya. Anggukkan kecil dari kepala gadis itu buat San tertawa renyah.

“Bagaimana perjalanan kemarin? Apakah Fael semenyabalkan itu?” lontar San menghampiri Rea, membelai wajah gadis itu dengan lembut. Sendok dari mangkuk yang sudah dingin itu disentuhkan ke bibir Rea. “Kamu mengigau sambil marah-marah. Lucu. Seperti anak balita yang sedang tantrum.” San mengecup bibir Rea dengan lembut. Aroma soda yang segar bercampur manisnya rasa semangka berpadu di atas bibir kering Rea yang kini mulai lembab. Wajah Rea memerah, benar-benar seperti udang rebus. Kedua kelopak matanya terpejam erat dengan tangan mencengkram serat kain sprei kuat-kuat. Rea tak melakukan perlawanan, tidak mencoba mengimbangi, ia pasrah? Tidak. Ia hanya belum sepenuhnya sadar atas apa yang San lakukan. Rea tertawa kemudian.

“San … San, kamu membuatku malu. Aku belum gosok gigi!” ujar Rea menarik wajah San, menghentikan ciuman manis San. “Meski aku mandi pagi, tapi aku tidur lagi!” Rea mencebik.

San tertawa.

“Ah, iya, aku akan antar Mbak Novi cari buku. Kayaknya akan sampai sore atau malam. Jam satu aku akan pergi, makanan untukmu udah aku siapkan di kulkas, tinggal dihangatkan aja. Jangan nakal dan tunggu aku pulang, ya?”

Rea menganggukkan kepalanya antusias. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya lagi ke kasur, rebahan sambil memeluk guling. “San memang selalu membuat orang-orang bahagia. San, jangan terluka, ya? Jangan sampai terluka. Titik!” kata Rea mendengkus ketus.

“Iya, bawel. Aku janji nggak akan bikin kamu khawatir.”

“Pacarku yang satu ini memang paling bisa membuatku bahagia!”

San menoleh pada Rea yang sudah duduk bersandar para kepala ranjang sambil memeluk guling. Rambutnya kusut, senyumnya agak naik sedikit. San memicing, mengerutkan seluruh permukaan wajahnya. Gadis tomboi itu perlahan merangkak dekati ranjang, naik ia ke ranjang. “Pacar yang satu ini? Wah, memang pacarku yang ini punya berapa pacar?” goda San, menjepit kedua kaki Rea dengan kakinya. Sementara itu, kedua tangan San memegangi wajah Rea yang tampak tidak gentar.

“SATU!” ucap Rea dengan bibir agak manyun. “Ia yang bernama Senandika Purnama.”

San mendaratkan dahinya di dahi Rea. “Terima kasih, Rea.”

“I love you, San. I don't care about them. I really love you!”

“I love you too, Rea.”

Air mata Rea berjatuhan, gadis itu menatap San dengan lekat-lekat. “Aku milik San, milik Senandika Purnama. Dan San, San hanya milikku, milik Renjani Amartisya.”

San mengangguk. “Iya, aku milikmu, Rea. Hanya kamu. Emm, dan Paman Atma, oke?”

Rea memeluk tubuh San dengan erat. Mungkin, ingatan itu pun belum pudar dari ingatan Rea. Meski San mencoba melupakan, tetapi kenyataannya itu hal yang sulit dilupakan. Alasan terbesar San menyayangi Rea dan akan terus mencintainya karena San tak pernah ingin dan tak ingin rasa sakit dan kegelapan kembali datang pada Rea. Apa pun caranya, San akan selalu menjadi pelita untuk Rea. Walaupun dunia kelak akan jadi musuhnya. San tak akan membiarkan siapa pun menyentuh Rea dengan kedua tangannya.

“Mari lupakan rasa sakit. Anggap aja nggak pernah ada hari buruk dalam hidup kita.” San berbisik pada Rea hingga gadis itu terkulai lemah.

Direbahkan tubuh Rea di ranjang dengan disangga bantal. Kedua gadis itu saling memandang. Senyum perlahan naik di bibir Rea, tangannya menggapai tengkuk San. Rea masih menitikan air matanya, ia memang belun bisa bahkan kadang belum terbiasa. Namun, bersama San dunia rasanya sedikit lebih hangat. Dunia terasa baik-baik saja. Rea dengan lirih nan sayu berucap, “Makasih, San.”

Pintu kamar San diketuk, gadis tomboi itu menoleh. “Benar, ya.” San beranjak menarik pintu kamarnya. Tampak Novi sudah berpakaian lengkap nan rapi siap pergi. Padahal waktu sekarang masih menunjukkan pukul dua belas lewat lima.“Berangkat sekarang, Mbak?” tanya San bingung.

“Iya, takutnya hujan. Soalnya tadi di ramalan cuaca, daerah Jabodetabek bakal ada badai, lagi,” jawab Novi tampak risau. “Eh, itu, Rea?”

“Iya, biasalah lagi kalau abis nugas suka tiba-tiba demam.”

“Terus gimana? Kamu mau pergi aja atau mau nemenin Rea?” Novi serba salah. Wajahnya tampak semakin murung. Bola matanya pun bergulir gelisah.

“Rea udah minum obat, kok.”

“Ya udah, Mbak tunggu di bawah.”

“Oke!” San menoleh pada Rea. “Nggak usah pura-pura tidur. Mbak Novi udah pergi, kok.” San terkikik. Gadis tomboi itu menarik jaketnya yang tergantung di dinding, tak lupa menyelempangkan tas ke tubuhnya. “Aku berangkat, ya, Rea. Mau aku bawakan oleh-oleh apa?” lontar San santun.

“Yamin babat!” seru Rea antusias. “Dan ….”

“Apa? Rujak yang waktu itu?”

Rea menggeleng sederhana. Gadis itu tampak tersenyum samar seraya mengembuskan napas panjangnya. “Kepulanganmu tepat waktu, San.”

Jantung San pecah, gadis tomboi itu merasakan dadanya jadi sesak karena bahagia. “Siap!” seru San sambil mengudarakan ibu jarinya. “Bye!”