webnovel

Bab 15 - Apa yang Buatmu Bahagia?

Senja mengunci dirinya dalam-dalam. Pancaran senyumnya pun tak secantik biasanya. Senja begitu kusut, bertemu mendung yang temaram. Rea berdiri di depan motor San bersama si empunya yang sudah duduk di depan kemudi lengkap dengan helm di kepala.

“Bagas udah jemput Rea di depan. San buntutin dari belakang. Oke?” tanya San seraya memutar pedal gas motornya. Gadis tomboi itu menatap Rea dengan lekat-lekat.

“San, aku nggak mau pergi. Kamu tau sendiri Fael itu gimana?” ucap Rea lirih.

“Percaya sama aku, Rea. Aku selalu di belakangmu.”

Rea mendesah, gadis itu kecewa. Bukan pada San, tetapi pada dirinya sendiri. Setidakberdaya itu Rea di depan Bagas. Terakhir kali San membela Rea, malah mendapatkan perlakuan kurang sedap dari kakaknya tersebut. Rea tak mau hal itu terjadi lagi. Senyum perlahan naik, Rea mendaratkan dahinya di bahu San. “Oke, aku akan pergi,” ucap Rea pasrah.

San membelai lembut pusat kepala Rea. Keduanya saling memandang beberapa jenak sebelum Rea pamit saat Bagas menerornya lewat panggilan telepon. Rea berlalu, tampak langkah kaki gadis itu ogah-ogahan, hal itu memancing tawa renyah San. Motor San perlahan-lahan keluar dari area parkir. Membuntuti mobil hitam Bagas yang sudah tancap gas dari gerbang luar kampus. Dengan setia, setiap pergerakan kendali Bagas, San mengikuti. Sambil mengamati suasana di dalam mobil yang San taksir hawanya dingin. Pasalnya, Rea sama sekali tidak menoleh pada Bagas meski pemuda itu terlihat menawarkan obrolan. Rea sibuk mengotak-atik ponselnya, entah apa yang diperbuat gadis itu. Namun, itu membuat San tersenyum. Jam menunjukkan pukul lima sore, Rea dan Bagas sudah memasuki kafe milik keluarga Fael. Di kejauhan tepatnya di depan gerobak gorengan pinggiran jalan, San duduk santai berbaur dengan orang-orang lainnya.

***

Waktu terus berjalan dan hujan sejak pukul tujuh tidak berhenti turun. San masih duduk setia di depan gerobak gorengan, bahkan sudah habis belasan bakwan jagung serta berbagai minuman botol. Akan tetapi, tak ada tanda Rea akan segera pulang. San memerhatikan layar ponselnya, Rea mungkin tidak sedang main ponsel. Tidak ada notifikasi kalau gadis itu daring.

“Pak, kafe yang di depan situ ramainya sampai jam berapa?” tanya San pada si penjual gorengan. Bola mata San yang hitam pekat menilik pada bangunan kafe milik keluarga Fael.

“Setiap hari ramai, dari siang sampai malam ramai. Tapi, puncak ramainya sekitar jam sebelasan, banyak bujang yang datang bersama para gadis nanggung, Den.” Si penjual gorengan tersenyum samar.

San mengembuskan napasnya sambil melentingkan lehernya ke belakang. San memijat kepalanya yang sakit. “Haruskah?” gumam San. Kaki San bergerak menyeberangi jalanan besar, mendekat pada bangunan kafe yang ramai sekali muda-mudi yang bersenang-senang. Kegilaan di tengah hujan, begitu batin San berkata saat Bagas dan Fael sibuk tertawa sementara Rea hanya diam membatu tidak tahu harus beradaptasi dengan cara apa. San mengepalkan tangannya saat Bagas terlihat mendorong kepala bagian belakang Rea dengan kuat hingga gadis itu tersentak adanya.

San melangkahkan kakinya kembali menyebrangi jalanan. Hatinya bergemuruh, San marah, San benci ketidaksanggupannya. San menundukkan kepalanya sambil memegangi ponsel. Punggung gadis itu disentuh seseorang. Berbalik San mendapati seorang gadis manis berdiri di hadapannya dengan rambut lepek akibat air hujan. Pakaiannya pun tampak basah, dengan sepatu penuh lumpur.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya gadis itu.

San memberikan kursinya, berdiri gadis itu di samping motornya. Tampak gadis itu menikmati segelas teh hangat dan sepotong tahu isi serta lontong sayur. Kedua bola mata San tak mau pergi dari wajah gadis itu, nyaris serupa dengan Rea rasanya. Hanya saja gadis itu tampak jauh lebih dewasa dengan potongan rambut pendeknya.

San tersenyum. “Pulang kerja?” lontar San pada gadis itu. Si empunya diri tersenyum sambil mengangguk. “Kerja di toko musik Senadalodia Store, ya?”

Gadis itu membelalak dengan bibir agaknya terbuka. “Kok tau?” tanya gadis itu buru-buru menghabiskan potongan tahu isinya.

“Aku pernah mampir ke toko itu untuk beli album idol K-pop kesayangan sahabatku. Waktu itu masih baru dibuka,” terang San sesekali memainkan jemarinya canggung.

“Wah, senang bertemu denganmu. Semoga bisa bertemu denganmu di sana, ya, banyak album dan CD baru, lho.”

“Aku San, senang berkenalan denganmu.” San menjulurkan tangannya pada si gadis.

“Aku Haura. Senang bertemu denganmu juga, San.” Gadis itu menjabat tangan San yang lembut, hangat. Haura menelisik wajah San, agaknya membingungkan baginya. “Kamu perempuan, ‘kan?” tanya Haura getir.

“Kamu orang pertama yang langsung menyadarinya,” balas San sembari tertawa renyah.

“Aku akui kamu tampan, tapi matamu secantik perempuan pada umumnya, San. Kupikir siapa pun yang akan menjadi kekasihmu atau belahan jiwamu, ia adalah orang beruntung.”

San tersenyum. Bukan demikian, aku yang beruntung bisa dicintai dan dimiliki, tetapi aku yakin ia pasti akan menanggung kebencian karena aku, Haura. “Menurutmu, apa aku pantas dicintai? Penampilanku nggak normal bukan? Kamu juga awalnya kesusahan, bukan?”

“Tentu. Kenapa soal penampilan? Itu hanya hanya apa yang melekat di luar jiwamu. Kamu pernah mendengarkan musik rock bukan, San? Meski keras, liriknya justru melow. Apa yang salah denganmu, kurasa kamu bukan nggak normal. Bukan berbeda nggak sama, tapi karena kamu suka dan nyaman akan hal itu. Itu bukan tindak kriminal atau dosa, kamu bebas menentukan arahnya.”

“Kenapa kamu bisa mengatakan hal lucu seperti itu?”

“Karena kamu memberikan kursimu padaku, kamu juga mengatakan bahwa kamu pernah datang ke tempatku bekerja, kamu bercerita tentang hidupmu, kamu juga menjawab pertanyaanku yang amat sangat nggak sopan. Aku pikir itu menarik.”

San tertawa terbahak-bahak, wajahnya jadi terbakar. Kedua bola mata gadis tomboi itu berkaca-kaca. San tak bisa mengendalikan dirinya juga rasa sakit yang melilit perutnya. “Kamu juga menarik, Haura,” ucap San.

“Percayalah, satu dari sekian banyak sel telur yang tumbuh dan hidup pasti akan menemukan orang yang pas untuk diajak bicara,” kicau Haura sembari mengembuskan napasnya dengan sederhana.

“Apa kamu memang biasa sesantai ini, Haura?” San mengamati wajah Haura dengan saksama.

“Nggak. Ini kali pertama aku bisa bicara dengan orang asing selain para pelanggan toko atau kekasihku. Aku beruntung bisa bertemu denganmu,” balas Haura dengan senyum lembut.

“Why?”

“Karena kamu seperti kekasihku. Dia sepertimu, dia ....”

“Mau aku peluk?” San membuka kedua tangannya. Memeluk erat tubuh Haura.

Tak terasa obrolan keduanya sudah semakin jauh. Pesan masuk dari Rea membuat San terperanjat. Rea berkata kalau ia akan pulang ke rumah ibunya, jadi San bisa pulang lebih dulu. Namun, bukan San jika begitu. Ia tetap tak beranjak, ia masih ingin melihat Rea masuk mobil kemudian masuk gerbang rumahnya dengan selamat.

Jam menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit malam hari. Terlihat Fael, Bagas juga Rea memasuki mobil. San bergegas memacu motornya. Pukul sepuluh tadi Haura pamit dijemput kekasihnya yang lumayan tampan dengan penampilan androgini-nya. Laki-laki yang tetap terlihat menawan meski memakai cat kuku hitam juga marun, rambut merah gelap, juga anting-anting berkilau. San tidak khawatirlah, sekarang hanya perlu khawatir pada Rea.Motor San mengekor hingga ke gapura komplek rumah Rea. Melihat gadis itu sudah masuk gerbang yang langsung ditinggalkan Bagas dan Fael. Rasa khawatirnya pun hilang. San memutuskan segera kembali sebelum gerbang kostan benar-benar dikunci. Pasalnya Mas Arul juga belum pulang lembur, jikalau lebih dulu ia datang. Maka tamatlah nasib San, akan tidur di luar rumah, mana esok dirinya ada janji dengan dosen membahas pameran.