webnovel

Bab 14 - Jika Reinkarnasi itu Ada

[Aku pergi duluan. Bertemu di kampus, Rea]

Begitu pesan yang San kirimkan, terpaksa Rea harus berangkat jalan kaki bersama anak-anak. Memang hanya lima menit saja, tetapi tanpa San rasanya selalu ada yang kurang. Apalagi Rea tahu, San selalu di luar nalarnya sendiri.

Satu hal yang Rea benci dari San, ia terlalu baik. Lebih mementingkan kebutuhan orang lain, meskipun selalu mendapatkan perlakukan kurang menyenangkan. Bagi Rea, terkadang San mengkhawatirkan. Rea ingin menggapai hidup San lebih jauh, lebih dalam lagi, dan lebih erat lagi. Sayangnya, Rea tahu. Semakin dalam cinta dan egonya, hanya akan berakhir jadi petaka. Rea tak ingin kehilangan San. Apalagi untuk waktu yang tak sekejap adanya. Rea selalu berdoa, menua bersama San.

Ketika semua orang bercanda mengenai kehidupan ini, justru Rea ingin lebih serius menanggapinya. Ketika semua berpikir untuk bersenang-senang, justru Rea ingin berpikir lebih tentang mendapatkan dan mempertahankan kesenangannya, terutama bersama San. Bertahan untuk menahan segala egonya dari mencintai San.

Kaki Rea memasuki gerbang kampus, terlihat anak-anak seni satu kelasnya berhamburan dari lantai dua dengan wajah cemberut. Rea segera mempercepat langkahnya. “Lah, kok pada turun lagi?” tanya Rea mengerucut wajah pun bibirnya.

Barrel, pemuda tambun dengan gaya rambut jabrig bergelombang di hadapan Rea tersenyum kecut. “Biasa, dosen kerjaannya rubah jadwal,” ucapnya.

“Kita nggak jadi masuk jam segini, diundur jadi jam sebelas, Rea.” Ikas menimpali. Pemuda dengan rambut cokelat keriting kecil-kecil itu menarik kedua sudut bibirnya terpaksa.

“Terus kalian mau ke mana?” Rea mengernyit. “Anak-anak yang lain ke mana? Anak ceweknya?”

“Yang cewek ada di studio, sebagian ada yang lagi ngadem di perpus. Kalau anak cowok, sih, lagi otewe ke kostan si Hanz. Mau ikut?” goda Ikas pada Rea sambil mengerling.

“Nggak ah, mau ke perpustakaan aja. Takut-takut tiba-tiba ada materi dadakan yang kudu dicatat,” balas Rea dengan senyum santai.

“Eh, si San mana? Tumben jam segini belum kelihatan batang hidungnya?” celetuk Barrel yang kini merangkul pundak Ikas.

“San lagi ada perlu dulu. Kalau gitu aku ke atas, ya?” pamit Rea kemudian berlalu.

Belum sempat kaki Rea melangkah lebih jauh menuju pintu gedung utama. Tangan Barrel mendarat di bahunya, berbalik gadis itu dengan pandangan mata terkejut.

“Nanti japri dulu kalau tiba-tiba dosennya nggak masuk. Soalnya, tadi ketemu di kelas aja, tuh, dosen kek nggak nganggap gua sama Ikas muridnya. Malah dengan santai, ngampus, sih, ngampus aja. Kalau ada perubahan jadwal kayak gini, kan enak ngobrol langsung. Gua curiga kalau nanti ada perubahan jadwal anak-anak nggak bakal dikasih informasi via sosmed. Gua percaya lo, Rea!”

“Iya, Rel. Nanti aku kabari kalian di grup.” Rea melambaikan tangannya sambil berlalu, gadis itu agaknya mempercepat langkah saat beberapa mahasiswi tingkat atas mengamati dirinya. Menurut beberapa sumber terakurat, setajam bibir Meisya dan Amnya. Di mata para senior, Rea adalah saingan terkuat mereka. Tak sedikit yang mengincar gadis cantik yang identik dengan rambut jagungnya yang berkilau. Potongan wajahnya ayu tetapi tegas, manis senyumnya. Yang terpenting lagi adalah Rea anak seorang pengusaha. Maka dari itu banyak yang berlomba mendekatinya. Walaupun hasilnya nihil. Di mata para senior laki-laki, Rea hanyalah gadis cuek, dingin, dan sulit diajak basa-basi.

Jam menunjukkan pukul tujuh seperempat. San baru saja tiba di parkiran kampus. Gadis tomboi itu mendapat kabar bahwa kelas diundur. Meski demikian ia tetap datang, menemui Rea yang katanya menunggu. Walaupun San berniat mengunjungi Paman Atma sebelumnya. Namun, melihat pesan dari Rea, San tak bisa pergi begitu saja tanpa pamit langsung. San menjajaki kakinya menuju lantai dua, tampak segerombolan senior laki-laki memenuhi koridor. Anak-anak DKV yang satu di antaranya adalah Wira, ia yang memiliki nama lengkap Wira Arrad Rusadi.

Kedua bola mata San bergulir pada layar ponsel saat pesan dari Rea masuk. Katanya Rea akan pergi ke belakang kampus lewat gerbang belakang. San hendak memutar balik tubuhnya, sebab gerbang depan lebih singkat rutenya. Namun, saat sebuah percakapan terdengar di kedua telinga. Tiba-tiba San ingin diam lebih lama sambil memainkan ponselnya.

“Ayolah, Wir … kayaknya dia udah punya pacar,” celetuk pemuda bertopi yang bersandari di dinding.

“Cewek secantik siapa namanya, mana mungkin nggak ada pacar?” ucap lainnya tertawa renyah.

“Jadi, sebenarnya gimana? Siapa yang lo cari sejak masa orientasi itu, Wir? Diem-diem bae lo?!”

“Secantik anak Fakultas Seni yang suka barengan sama temen tomboinya? Atau lebih beautiful?” goda mereka-mereka tidak mau berhenti.

Tawa lantang kompak persahutan memojokkan dirinya. Akan tetapi, si empunya nama hanya diam mendengarkan anak-anak kelasnya berceloteh. Wira menilik San yang memainkan ponselnya di atas anak tangga sambil terlihat menyematkan earphone. Wira meneguk ludahnya, pemuda itu beranjak pada anak tangga berdiri di samping San.

“Bukan urusan kalian kalau gua suka sama seseorang,” ujar Wira sembari melirik San sebelum dirinya turun.

San menunduk dengan senyum kecut. Apakah yang baru saja dirinya lihat adalah desakan mata Wira? Jika benar, San tidak sanggup berkata, aku bisa lebih tampan darimu, Wira! San tertawa dalam hatinya. Untuk apa menanggapi orang asing.

Kaki San hendak melangkah. Namun, kepalanya terasa dihantam tiba-tiba. Tunggu apa yang mereka maksud adalah Rea? batin San.

***

San duduk di sebelah Rea, pohon bunga yang aromatik daunnya menemani mereka. San memang masih belum bisa melupakan pandangan mata Wira barusan. Akan tetapi, duduk bersama Rea saat ini hatinya jauh lebih tenang.

“Rea, jika reinkarnasi itu ada , yang kamu pikirkan?” tanya San sambil melirik sendu.

“Aku mau kamu lebih baik pada dirimu sendiri!” Rea memalingkan wajahnya sebal.

San menghela napas pelan. “Aku antar Ina ke sekolah karena takut dia terlambat, dan kamu tau banget aku, kalau aku nggak suka dengan pelajar yang terlambat sekolah, mereka bisa dihukum entah lari, denda, atau lainnya. Itu cuma bikin konsentrasi atau uang jajan mereka berkurang.”

“Kalau kamu takut, aku juga takut! Aku takut kamu yang melewatkan sarapan, aku nggak mau kamu kehilangan konsentrasi di kelas. Makanya aku nggak suka waktu pagi kita diganggu hal-hal seperti ini. Karena kamu, kalau udah melewatkan sarapan pasti akan lupa makan sampai siang.”

San mendaratkan telapak tangannya di pusat kepala Rea. “Iya, aku makan sarapannya. Makasih, Rea,” ucap San seraya mendaratkan kecupan manis di bibir Rea. Alhasil, gadis itu bersemu merah jambu.

“San, kalau ada yang lihat gimana??” Rea memukul lengan San.

“Sepi, kok.” San menjawabnya dengan santai, nyaris tak ada takut-takutnya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku, Rea.”

“Yang mana? Reinkarnasi?” tanya Rea memainkan bibirnya sesekali digigit lembut. “Aku nggak percaya.”

“Oh. Kenapa?”

“Aku nggak pernah berpikir akan terlahir kembali jadi orang baru di kehidupan baru, atau sesuatu yang lain. Cukup lahir sekali bersama kamu, itu lebih dari kehidupan baru untukku, San.”

San merasakan hatinya dicabik-cabik. Betapa egois pikiran San. Jauh di dasar harinya, setiap hari sejak jatuh cinta pada Rea. San selalu berharap hari lahirnya reinkarnasi tiba. San selalu berharap bisa terlahir sebagai San dalam rupa laki-laki seutuhnya. Memiliki Rea selamanya, dan dengan terang-terangan mangakui cintanya. Membawa Rea dalam pangkuannya, memberikan ciuman mesra dalam setiap waktunya tanpa harus menunggu sepi dan sunyi hadir. Tanpa perlu bersembunyi dari dunia yang tidak mengerti perihal lahirnya cinta. San merasa sangat egois untuk beberapa saat sebelum akhirnya Rea menyentuh pipinya.

“Ada yang kamu inginkan kalau reinkarnasi itu ada, San?” tanya Rea lirih. Senyum lembutnya buat hati San kalang kabut. Bahkan, air mata San hampir tumpah dibuatnya.

San mengangguk sederhana. “Aku ingin Paman Atma terlahir untuk berjodoh dengan seseorang. Aku ingin di kehidupan berikutnya ia bisa menikah dengan seseorang yang ia cinta. Seseorang yang terlahir untuknya, Rea.”