webnovel

Bab 10 - Hari Baru di Atap Kampus

Lautan mahasiswa dan mahasiswi baru dari berbagai jurusan, prodi, dan fakultas berbaris dengan rapi di bawah sinaran mentari pagi nan hangat. Seragam putih dengan rok atau celana kain hitam tampak selaras dari ujung depan hingga belakang lapangan, dipandu para senior yang dengan gagah mengenakan almamater kampus berwarna merah marun dilengkapi logo kampus bordir emas. Di lengan bahu masing-masing terdapat jabatan mereka, dari presma hingga pembimbing kelompok.

Waktu satu jam pertama digunakan untuk upacara penyambutan yang diteruskan dengan upacara penerimaan, lalu pengenalan jajaran tetua kampus, BEM, hingga pengenalan lingkungan dan kode etik mahasiswa; dan menghabiskan waktu sekitar lima jam. Waktu istrirahat pukul setengah dua belas dibuka, seluruh mahasiswa dan mahasiswi baru dikembalikan ke aula untuk menikmati jam isoma yang panitia berikan.

Serangkaian kegiatan itu sudah dua minggu. Sejak acara penerimaan para warga baru kampus, kegiatan belajar mengajar pun dilaksanakan dengan baik. Hari ini, kampus bergitu ramai, hari-hari lalu pun ramai. Namun, karena hari ini ada bazar dan baksos yang dilakukan anak-anak Fakultas Psikologi, kampus menjadi semakin meriah adanya.Rea dan beberapa mahasiswi tengah bersenda gurau, membicarakan konser idola mereka masing-masing. Seorang mahasiswa tingkat empat dilihat dari strip di ban lengan kemeja jurusannya, mendekati kerumunan Rea. Sementara itu, San di seberang kerumunan yang duduk di kursi kayu memanjang di bawah pohon memandang cermat.

“Ada yang namanya Senandika Purnama?” tanya mahasiswa itu, mendengarnya Rea langsung menoleh pada si empunya nama.

“Senandika? Dia yang lagi duduk di seberang, Kak!” ucap Rea sembari tersenyum.

Bola mata Rea bergetar, ada rasa cemas saat mahasiswa itu mulai melangkah menuju bangku San. Harus Rea akui, ia sosok yang tampan dan gagah dengan kemeja jurusannya yang pas di tubuh. Terlihat sangat atletis, tinggi bak model, wajahnya berpotongan tegas dengan mata cokelat terang, hidung mancung, berbibir merah alami, rambutnya pun tak kalah menarik, cokelat bata warnanya.

Rea masih mengamati, mata gadis itu tak mau enyah dari sana, dari sosok laki-laki itu juga San yang tampak tertarik dengan sapaan dan obrolan darinya. Rea hilang selera makan, gadis itu meremas roti tawar di tangannya. Sementara tangan lainnya sibuk menusuk-nusuk tomat ceri dalam wadah makan. Bahu Rea disentuh seseorang yang amat sangat tak asing baginya. Ia yang pernah jadi objek cemburu Rea di hari kelulusan. Ia yang dengan sengaja memberikan tatapan puas pada ketidaksenangan Rea hari itu. Aurel, gadis keturunan Eropa-Indonesia itu menatap lincah pada Rea.

“Rea, pulangnya kita barengan yuk! Kebetulan aku lagi menginap di rumah sepupuku. Jaraknya nggak jauh dari kostan kamu sama San!” ujar Aurel dengan girang. Senyum lebar di wajah blasterannya membuat Rea muak.

Rea mendengkus pelan, bola matanya bergulir dari hadapan Aurel. “Kenapa kamu tau soal kostan aku dan San??” tanya Rea dengan sewot. Senyum sinisnya dibalas senyum cerdik oleh Aurel.

“Dari San. Kemarin sore aku sama dia nggak sengaja papasan di jalan dekat warung Mpok Nila. Malah San ajak aku mampir cuma udah terlalu sore,” terang Aurel.

Tunggu, tunggu, kenapa aku gelisah?! pekik Rea dalam hatinya. Gadis itu memalingkan wajahnya sembari membereskan peralatan makan. Palung hati Rea bergetar, bergemuruh, membuat seluruh syaraf di tubuh bergejolak. Ada sensasi yang menjengkelkan. Cemburu, marah, kesal, dan sebal. Rea beranjak dari kerumunan anak-anak tersebut termasuk Aurel. “Aku mau ke kamar mandi dulu, ya?” tandas Rea. Gejolak terus mengusik damainya, kantung mata Rea terasa berkedut. Merah menyerang permukaan wajahnya, kerongkongan terasa gatal juga berat. Rea menghentikan langkahnya sambil membungkuk memijat lutut. Rea menarik napasnya penuh, kemudian diembuskan perlahan-lahan.

San bisa pergi ke mana pun dia mau, Rea. Begitu yang Aurel katakan di hari kelulusan. Terlalu egois juga tidak baik, menyakiti San bukanlah hal yang Rea pikirkan sejauh itu. San bisa mengambil dunianya sendiri.

Rea menegakkan punggungnya.

“Ah, ketemu! Aku mencarimu sampai ke ujung kampus. Ternyata ada di sini,” lontar San ngos-ngosan menyeka peluhnya.

Rea menolen, San berdiri sedikit membungkuk sambil mengatur napas. Wajah itu menenangkan hati Rea. Damainya kembali ke pembaringan. Rea sadar, cemburu pun Rea hukan siapa-siapa San, Rea tak punya hak mengatur harus dengan siapa San bergaul atau bicara. Rea sekadar sahabat San sejak SD hingga kuliah kini.

San mendaratkan kelima jarinya di puncak kepala Rea, lalu diacak-acaknya rambut jagung nan tebal itu. San cekikikan masih sedikit berjuang mengatur napas. San berujar, “Ayo, kita nggak boleh terlambat masuk kelas, Rea!”

Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Rea daripada mendengar San memanggil namanya dengan secuil perhatian yang menghangatkan jiwa. Rea meraih kelima jemari San di kepalanya yang dibuat kusut. “Ayo!” cetusnya semangat. Keduanya melangkah, menyusuri halaman kampus menuju gedung utama. San menolehkan kepalanya pada Rea sambil tersenyum samar. Gadis tomboi itu menutupi kepalanya dengan tudung hoodie abu-abunya. Memandangi Rea secara diam-diam seperti ini buat San tenang. Tak bisa sedetik pun tak ingatnya, apalagi jauh darinya. Menahan untuk tidak berjumpa adalah hal tersulit bagi San. Akan tetapi, selalu bertemu pun tidak ada istimewanya. San tak mau egonya kelak membuat Rea bosan atau risi. San ingin selalu bersamanya.

“San, kamu ajak Aurel mampir ke kos, kah?” tanya Rea tiba-tiba memecah lamunan San. Gadis tomboi itu terkesiap.

“Kapan?” San mengernyitkan kedua alis.

“Aurel bilang beberapa hari ke belakang,” jawab Rea santai.

“Iya, kita nggak sengaja ketemu. Tapi, dia nolak. Baguslah aku pikir, toh, aku cuma basa-basi aja.” San merangkul bahu Rea. “Ah, kamu diam-diam cemburu, ya?”

“EH?” Rea membelalak sambil terdorong ke samping saking terkejutnya. “nggak!” kata Rea ketar-ketir.

“Aurel, kan, jadian Ekky. Senior yang kamu incar dari pertama MPLS, Rea?” goda San mencubit pipi Rea yang memerah.

Betul, tetapi lebih tepatnya Rea cemburu karena Aurel selalu terlihat aneh di depan San. Rea mendorong bahu San, gadis itu menyibakkan rambutnya yang panjang tebal juga wangi shampo ke wajah San sembari mendengkus. Rea dengan tatapan sensi serta sewot berucap, “Emm, aku udah move on, yes!”

San tertawa terbahak-bahak, tangannya kembali mendarat di puncak kepala Rea. Alhasil rambut Rea kembali dibuat kusut olehnya. Rea terdiam, jantungnya meledak-ledak tidak karuan. Suara tawa itu amat lepas, tulus, dan renyah. Wajahnya benar-benar bahagia, San bahagia. Rea bisa merasakan getaran itu. Tubuh Rea mendarat di tubuh San hingga gadis itu menghantam dinding.

“San, tiba-tiba aja aku merasa takut!” lirih Rea mulai menangis.

“Re-rea?!” bisik San gagu.

“Aku takut, akhir-akhir ini aku selalu merasa takut karena hal yang aku sendiri nggak tau apa itu, San,” adu Rea sesegukan memeluk erat San.

Tangan San melingkar di tubuh Rea yang lebih pendek darinya. Tubuh mungil Rea gemetaran, itu yang San rasakan saat ini. Belaian lembut terus San berikan bersama sedikit waktu untuk Rea melepaskan kesedihannya. San mendekatkan bibirnya pada daun telinga Rea. Ia mencoba bersuara.

“Di dekatku, kamu bebas marah, takut, terluka, bahagia, bahkan menangis seperti ini. Karena aku akan mendengarkannya. Tenang aja, Rea boleh meluapkannya sesuka hati. Aku akan mendengarkannya, seperti Rea mendengarkan semua yang aku katakan.”

Bodoh! Aku mencintaimu, San! Tapi aku takut jatuh cinta sendirian dan aku takut kamu menolaknya, aku takut diam-diam kamu beneran punya gebetan yang mungkin statusnya akan berubah jadi pacar. Bodoh! kelit Rea dalam hatinya. Kacau mulai meradang kali dalam benak gadis itu. Rea masih menangis tersedu-sedu dalam pelukan San.

“Emm!” pekik Rea melepaskan dekapannya. “Suasana hatiku sedang buruk,” bisiknya kemudian.

“Pulangnya kita makan yamin babat, yuk? Aku yang traktir, plus segelas es kelapa. Rea mau?” tanya San seraya mengerling genit. Tangannya kembali mendatat di kepala Rea. Senyum manja Rea pun mengembang sempurna. San memang tiada duanya.