webnovel

5. Selalu bertemu cowok misterius itu

Setelah perjuangan panjang itu, akhirnya di sini lah aku sekarang, dengan status mahasiswa baru. Duduk di ruang kuliah dengan orang-orang seangkatanku.

Mungkin akan cukup sulit mengenal teman-teman sekelasku. Bayangkan!!! Dalam satu kelas kami ada enam puluh orang, ditambah oleh senior yang ngulang menjadi tujuh puluh orang dalam satu kelas.

Mungkin ini wajar satu kelas diisi oleh banyak mahasiswa karena satu angkatan untuk kelas reguler sebanyak duaratus orang lebih. Belum lagi kelas mandiri, ya rame pokonya. Tapi tetap saja lebih baik daripada "nganggur." Engga sempit juga kok..

Ngomong-ngomong tentang sahabatku Chesi, dia masuk sekolah tinggi ilmu kependidikan, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Aku setuju Chesi ambil jurusan itu, karena dia memang sangat jago dalam Bahasa Inggris, semoga saja suatu saat nanti dia bisa jadi tenaga pendidik yang handal.

Tentang "Feli" dia lulus di Pendidikan Luar Biasa, dia udah daftar ulang. Tapi, karena gedung kuliahnya sangat jauh, dia mengundurkan diri dan mendaftar ke universitas swasta ambil jurusan Psikologi.

Hari ini kuliah pertama, mata kuliahnya Pengantar Ilmu Hukum dengan beban tiga SKS. Entah apa itu Pengantar Ilmu Hukum? Ternyata itu kuliah yang harus diambil oleh semua mahasiswa Hukum. Jadi, selama tiga kali lima puluh menit, kami mendengarkan pak Dosen berkoak di depan.

Belum satu jam pertama ku lalui, aku sudah mengantuk. Dari pada mendengarkan ucapan dosen yang tak ku mengerti, aku memilih untuk melihat seluruh isi ruangan kelas yang super luas itu.

Ku perhatikan teman-teman yang duduknya dekat denganku, di sebelahku ada cowok memakai kemeja warna coklat, tentu saja kepalanya gundul, secara… anak baru gitu dan sejak awal perkuliahan dia selalu saja gelisah.

Kami duduk di barisan agak belakang, kadang-kadang si kemeja coklat ini bertopang dagu, tidur-tiduran di meja, menyandarkan kepala di sandaran bangku dan lirik sana lirik sini, kadang dia nulis-nulis entah nulis apa? Yang jelas bukan mencatat kesimpulan perkuliahan hari ini.

Mungkin dia sadar aku memperhatikannya, dia sempat menatapku cukup lama dan aku langsung aku pura-pura mendengarkan ucapan dosen. Kemudian kembali ku perhatikan yang lainnya, tampak cewek berjilbab dan cantik.

Namun sejak tadi dia sibuk chat dengan seseorang yang mungkin dengan pacarnya. Aku juga yakin dia tidak pernah membuka bukunya sejak dosen masuk tadi. Paling buku yang ada di atas mejanya hanya sebagai pajangan saja.

Yang lainnya, tampak pria berkacamata, dan kepalanya juga gundul. Menggunakan kemeja biru laut kotak-kotak. Mungkin dia satu dari sekian mahasiswa yang benar-benar mendengarkan kuliah dari dosen ini.

Tiba-tiba si kemeja coklat manaruh secarik kertas di atas mejaku.

[Hai… aku tahu sejak tadi kamu memperhatikan orang-orang di kelas ini. Dan pasti kamu bosan kan?]

[Iya nih… bosen banget…. Ku lihat sejak tadi kamu gelisah terus. Kenapa?]

[Iya… aku nggak suka hukum. Tapi, Cuma ini yang lulus, dan kuliahnya bikin aku pusing.]

[Ooo…]

[Setelah membalas singkat, terpikirkan olehku sesuatu. Langsung ku buka buku halaman paling belakang.]

Gelisah…

Tidak hanya sendiri…

Tidak pula semua…

Aku terkurung

Di tempat yang bising namun sepi

Yah… daripada kayak orang bengong, mending langsung ku tulis. Kembali si kemeja coklat menaruh secarik kertas

[Kamu nulis apa? Yang jelas bukan mencatat keterangan dosen….]

[Aku menuangkan perasaan…]

[Maksudnya?]

Aku serahkan buku berisi puisi singkat tersebut. Dan dia mengernyitkan dahi.

[Kamu kesepian di antara banyak orang ini?]

[Iya… aku belum mengenal satupun temen di kelas ini]

[Oh iya… kita juga belom kenalan? Namaku Anggi… nama kamu siapa?]

[Anggi? Hehe… namaku Yukita. Panggil aja Yuki!]

[Kenapa ketawa?]

[Namanya kayak cewek… hehehe]

[Hehe… gitu? Aku juga heran nih? Kenapa nama itu lengket jadi namaku. Dulu mama pernah cerita, waktu hamil aku dulu mama mengharapkan anak perempuan dan sediain nama "Anggi" eh… yang lahir anak laki-laki. Tapi Mama ngotot memberiku nama itu padaku 😂]

Membaca itu membuatku tertawa 🤣🤣, dia tertawa sumringah. Sepanjang perkuliahan ini aku dan Anggi salin berbagi pesan singkat menggunakan sobekkan kertas hingga kuliah berakhir. Akhirnya kuliah selesai dan dosennya keluar dari kelas itu. Otakku terus berkata, "keluar… keluar… keluar" dengan segera aku keluar dari kelas yang sangat luas itu.

"Haaah… leganya…" aku berdiri di koridor, lalu menuruni tangga menuju koridor paling depan. Lalu aku duduk di salah satu bangku yang tersedia di sepanjang koridor. Aku perhatikan bangunan yang mirip markas Zordon ini, tidak hanya satu bangunan… namun hampir seluruh bangunan kampusku berbentuk markas Zordon di serial Power Ranger yang aku tonton waktu masih anak-anak dulu.

Di depan fakultas Hukum, tampak jalan yang biasa lalu lalang bus operasional kampus, yang memulai rute perjalanannya dari Pasar Baru, terminal terakhir di parkiran Politeknik lalu berputar kembali ke Pasar Baru walau rute yang dilalui saat masuk berbeda dengan rute keluar.

Kadang masuk dari gerbang, antara persimpangan depan gedung Rektorat lurus melaju menuju politeknik, kemudian keluar melewati gedung E setelah itu lewat depan Fakultas Sastra, Hukum, Sospol, masjid lalu sampai lagi depan rektorat dan kembali keluar gerbang. Atau sebaliknya.

Bis operasional juga digunakan oleh masyarakat sekitar, sebagai layanan "Bis Gratis." GRATIS??? Bagi kami para mahasiswa Universitas Andalas dan Mahasiswa Politeknik Negeri yang lebih dikenal dengan Politeknik Unand layanan bis operasional ini sama sekali nggak gratis.

Karena biaya operasional bis ini langsung masuk ke dalam biaya semester kami. Jadi, rugilah orang-orang yang suka menghamburkan uang orangtua, dan memilih menggunakan kendaraan sendiri.

Di seberang jalan itu, tampak lapangan bola. Lapangan bola luasnya "mungkin" hampir sama dengan luas lapangan bola luar negri saat nonton bola di tivi.

Tim sepak bola "kami" juga terkenal di seantero kota tempat tinggalku dan semua perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat juga mengenal permainan bola kampus kami. Katanya sih; jika semua perguruan tinggi yang ada di sini mengadakan pertandingan bola tim kampus kami "pasti menang" kalo nggak juara satu, juara dua…

"Hey…!!!"

Aku tersentak dari lamunan, aku lihat siapa yang telah membuyarkan lamunanku tadi. Dan tersenyum padanya. Pria kemeja coklat itu, langsung duduk di sebelahku.

"Ngelamun aja? Ntar kesambet lho? Kamu lupa ya? Di bukit ini, banyak sekali yang jadi korban kerasukan?"

Bukit? Ya… kampusku memang berada di atas bukit. Dan mungkin satu-satunya kampus yang ada di atas bukit di pulau Sumatera ini.

"Nggak… Yuki Cuma lagi perhatiin pemandangan di sekeliling aja"

"Oh… emangnya belom puas lihat-lihatnya waktu OSPEK kemarin?"

"Gimana caranya puas? Toh waktu ospek kita dipaksa melihat wajah "Uda dan Uni" yang menyebalkan itu"

Hahahaha

"Emangnya kamu orang mana? Nggak pernah ke sini sebelumnya?"

"Hehe… Yuki asli sini kok. Malahan Yuki sering main ke sini, waktu sebelum kuliah dulu. Kamu sendiri?"

"Sama… aku juga asli orang sini kok"

"Emang Enji dulu sekolah di mana?"

"Jangan panggil Enji!!!" katanya protes tak setuju.

"Eh… maap… soalnya, kalau di tivi nama Anggi itu kan dipanggil Enji"

"Ya elah… aku ini cowok. Masak panggil Enji? Panggil A-ang aja!!!"

"Oke Aang. Kemaren Aang sekolah di mana?"

"Di smanse."

"Di Lubuk Buaya? Jauh banget? Terus rumahnya di mana?"

"Ya… deket-deket sana juga. Yuki sendiri?"

"Aku dari smanli, tinggalnya di Lubuk Lintah"

"Hahaha… sama-sama dari Lubuk toh?"

"Hehe… bener juga ya?" lalu kami sama-sama hening beberapa saat. Ngomongin apa ya bagusnya? Oh iya, itu "Ang… katanya nggak suka Hukum ya? Emang kemarin coba apa aja?"

"Iya… aku nggak minat di Hukum. Aku pengen banget masuk Elektro, tapi… lulusnya Cuma di sini?"

"Nyantai aja kali…??? Kan nggak perlu segelisah itu. Mungkin ini yang terbaik buat kamu"

"Iya… mungkin ini yang terbaik untuk aku. Dan dengan lapang mencoba menjalaninya"

Lalu dia tertawa. Nanti habis Zuhur, ada kuliah Sosiologi. Karena perut sudah minta diisi, kami berdua menuju koperasi masahasiwa. Di kantin ini, banyak tampak temen-temen yang mungkin sekelas dengan kami dan mungkin bukan teman kelas kami.

Di sana-sini banyak yang berjabat tangan dan saling berkenalan. Tampak pula pria berka-camata menggunakan kemeja biru laut kota-kotak tadi makan sendirian di pojok kantin. Setelah memesan makanan dan minta diantar ke pojok, kami menuju meja pria berkacamata itu.

"Hai… kami boleh duduk di sini kan?" tanya ku. Tapi dia tak mempedulikan kami. Aku duduk di sebelahnya, dan Aang duduk di hadapanku.

Lalu ku curi-curi pandang lihat ke arahnya, kudapati dia tengah memperhatikan jemari di kedua tanganku, ada apa gitu di tanganku? Mungkin dia sadar aku memergoki kelakuannya, dia malah menatapku dengan sinis dan langsung ku buang muka ke arah mahasiswa yang lain atau pura-pura lihatin cicak

Tampak dua orang hendak masuk ke meja kami. Salah satunya, teman sekelas yang kerjaannya chat sejak mulai kuliah dan satu lagi mungkin temen sekelasku juga, tapi aku nggak inget.

"Hai…" sapa yang berjilbab.

"Ya…" ku balas dengan senyuman ramah.

"Boleh kami duduk di sini?"

"Tentu aja boleh…" Aang langsung keluar dan berdiri.

"Kalau nggak salah, kita sekelas ya?" ujarku beranikan diri.

"Oh ya? Kebetulan nih" lalu dia menglurkan tangan "Namaku Chika"

Langsung aku sambut "Yukita" kemudian menyambit uluran tangan temannya

"Winda"

Juga berkenalan dengan Anggi, namun pria berkacamata itu seperti terganggu oleh keributan kecil yang kami buat. Sebenarnya aku juga ingin berkenalan dengannya. Tapi aku takut, dia selalu memasang tampang Bete sejak kedatangan kami tadi.

Dia mempercepat makan, dan pesanan kami datang. Setelah dia selesai makan, dia menepuk-nepuk lenganku dan dengan bahasa isyarat memintaku minggir dengan tidak sopan. Aku berdiri dan memberi tempat untuk dia lewat.

"Nggak sopan banget tu orang" celetuk Winda.

"Iya…" tambah Chika.

"Biar lah… mungkin emang kita yang salah" ujarku menenangkan.

Dalam waktu singkat itu, kami berempat bisa langsung deket. Menuju Masjid bersama untuk ibadah sholat Zuhur. Ku lihat Chika tidak sholat.

"Lagi nggak sholat" katanya.

Kuliah berikutnya kami berempat duduk berjejer. Si pria kacamata duduk di barisan depan kami. Waktu masuk tadi, dia sempat memperhatikan kami tapi aku merasa dia melihatku dengan sinis, lalu duduk dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Karena sudah ada temen, kuliah sosiologi ini tidak terlalu membosankan.

Kami selalu bersama, dalam perkuliahan yang dipaketkan oleh pihak kampus. Semua mata kuliah kami yang dipaketkan Cuma berjumlah sembilan belas SKS. Namun karena aku ingin lebih cepat tamat, aku mengambil kuliah dengan senior.

Mata kuliahnya Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan beban dua SKS. Jadi semester ini aku ngambil sembilan belas SKS. Dan teman-teman yang lain tidak mengambil kuliah ini. Mungkin ambil matkul yang lain.

Ternyata, di kuliah Hukum dan HAM ini aku punya temen. Si pria kacamata yang baru aku tahu namanya "Akel" juga sekelas saat kuliah ini. Hanya dia yang antara kenal dan tidak ku kenal di kelas itu. Nama yang cocok untuknya karena tingkahnya adalah Misterius Boy. Selainnya, aku benar-benar tidak tahu siap saja mereka.

*bersambung*