Kenan masih menatap lurus ke depan. Tak ada percakapan yang berarti di antara mereka setelah lima belas menit berlalu.
Lelaki itu mencoba mencuri lirik dari sudut ekor mata. Namun lagi-lagi pemandangan Willona yang hanya terdiam dengan merapatkan jas hitamnya masih menjadi tampilan tak asing.
"Kau tak ingin makan? Kita bisa berhenti di salah satu restauran."
"Kau tinggal memilih tempat yang mana."
Kenan mencoba membuka topik dalam keheningan yang mencekik. Biasanya Willona tak pernah seperti ini, ia memahami situasi sulit yang baru saja dialami sang sekretaris.
"Nona Willona ...." Lelaki tampan itu menekan kalimat terakhirnya. Sehingga mau tidak mau Willona menoleh. "Kau dengar atau tidak aku berbicara?"
"Turun di sini."
Kedua mata Kenan membulat mendengar jawaban Willona yang justru terbanting terbalik dengan jawaban yang ia inginkan. "Kau sedang bercanda denganku?"
Willona menggeleng dengan setengah senyum.
"Turun di sini, Pak." Ulang Willona kembali.
"Kenapa harus di sini. Perjalanan masih jauh. Kau tidak berpikir akan mengakhiri hidup di sini bukan?" Kenan menghentikan laju mobilnya dengan mendadak. "Hidup masih panjang, kau tak perlu menjadi selemah ini."
"Katanya lapar, ya kita di sini ...."
Kening Kenan berkerut dengan mata menatap penuh tanda tanya besar. Lelaki tampan itu tak tahu apa maksud dari Willona dengan makan di sini.
"Hei, jangan bercanda. Kau tau bukan sekarang kau sedang bersama siapa. Ini hanya jalanan kota biasa, tidak ada restauran."
"Ada, lihat di sana." Willona berucap sembari menunjuk ke arah kaca mobil sisi tangan kanan Kenan. "Di sana memang tidak ada restauran, tapi setidaknya kita bisa makan, Pak."
"Ayo, Pak Kenan."
"Tapi—" Kalimat Kenan terbukam angin karena suara pintu mobil yang tertutup kencang, sudah tidak lagi sosok Wilona di bangku sebelahnya. "Perempuan itu, benar-benar!"
Willona berjalan di tengah gelapnya jalanan kota yang begitu lengang. Senyum simpul terbit di bibir perempuan cantik itu saat seorang lelaki paruh baya menayapa penuh ramah.
"Sudah lama sekali, Neng!"
"Malam Mang, iya nih pekerjaan belum bisa ditinggal," balas Willona berkilah, meski pekerjaannya begitu padat. Ia pasti selalu bisa memutar mobilnya ke arah jalanan kota . Namun karena pernikahan dan drama yang diciptakan Kenan, seluruh waktunya benar-benar tersita.
"Harus ingat istirahat atuh Neng, mana si Jo nanyain Eneng Wil terus. Dia sampai nangis-nangis."
"Jo siapa? Siapa yang menyarimu?"
Suara dingin bernada bariton itu mampu membuat kepala Willona dan lelaki separuh baya itu menoleh.
"Loh ini siapa Neng, biasanya sama a'a Jerry," katanya sekali dengan kening tua bergelombangnya. "Boss Neng pasti nih," tebaknya lagi.
Willona mengusap bahu tuanya lembut sembari senyum simpul tanpa menjawab. Dengan hanya begitu, dia paham siapa sosok lelaki tampan bertubuh atletis di balik kemeja hitam itu.
"Bapak makan di sini ya," kata Willona dengan antusias.
"Hah? Jangan macam-macam kau!"
"Bagaimana bisa aku makan di pinggir jalan. Ini tidak bersih, gimana kalau aku sakit atau justru mati di tempat? Kau ingin tanggung jawab!?" bentak Kenan tanpa peduli dengan ekspresi keterkejutan dari lelaki separuh baya di samping Willona.
"Makan bakso saja tidak akan sampai mati, Pak. Kecuali Pak Kenan makan bakso tanpa mengunyah. Itu baru kemungkinan kecil," ungkap Willona sembari menahan tawa dalam hati. "Saya sudah lama makan di sini. Dan tidak pernah keracunan. Kalau Pak Kenan tidak mau makan, ya sudah tidak masalah."
Willona berjalan ke arah beberapa bangku plastik berwarna-warni dengan satu meja putih panjang dengan bahu terangkat. "Pak Kenan bisa pulang sendiri, saya akan minta tolong Zeyn menjemput saya."
"Amang pesan satu mangkuk, ya!"
"Yaa, Neng. Siap."
Kenan menatap tak percaya pada Willona yang sedang bermain ponsel, setelah mengatakan hal tersebut Willona bahkan tak kembali membujuk Kenan untuk kembali duduk bersama perempuan itu. Bahkan dengan percaya dirinya Willona akan meminta lelaki lain menjemput dia.
Apa Willona pikir dia masih perempuan lajang? Huh, sangat mengesalkan.
Kenan mengeraskan rahang tegasnya. Kaki panjang lelaki itu sudah bersiap untuk melangkah pergi.
"Kau harus bertanggung jawab jika aku sampai sakit perut."
Willon menoleh, mengulum bibir. Lantas mengangguk dan berkata, "Baiklah, biarkan saya yang akan memesan seluruh lantai rumah sakit jika Anda keracunan."
Kenan akhirnya mendudukan bokongnya di bangku plastik berwarna merah di samping Willona dengan terpaksa. Seumur hidupnya ia tak pernah menyentuhkan kain celananya pada lapisan kursi yang terlihat berkilau itu.
"Tenang saja, Pak. Kursi yang Anda duduki bersih. Mang pesan satu mangkuk lagi ya!" ucap Willona berseru senang.
Amang mengangguk dengan antusias.
Willona menoleh kembali pada Kenan yang sedang menarik beberapa tisu toilet yang memang sengaja dijadikan sebagai penghias meja panjang itu.
"Meja ini pasti banyak kuman. Hish, kenapa aku sampai lupa membawa pembersih kuman. Sial!" grutu Kenan yang tak membuat Willona tertawa terbahak di dalam hati.
"Pak Kenan saya kira Anda akan pulang tadi. Padahal saya sudah akan menelpon Zeyn," kata perempuan cantik itu.
"Kenapa? Kau sedih tidak bisa pergi dengan Zeyn. Setelah dengan lelaki itu, cepat sekali kau menyukai lelaki yang lainnya juga."
Willona menghembuskan napas panjang ketika Kenan mengingatkan kembali kejadian di toilet tadi.
"Zeyn rekan kerja saya. Lagi pula dia belum menikah, jadi saya pikir itu tidak masalah."
"Itu masalah. Bahkan sangat bermasalah!"
Kening Willona kembali berkerut memahami jawaban dari Kenan yang sepertinya tidak suka dengan apa yang telah dikatakan Willona.
"Di mana masalahnya, Pak?"
"Bukankah itu sudah sewajarnya begitu?"
Kenan terdiam sejenak. Ia bahkan tak sadar telah mengeluarkan jawaban seperti itu. Ia tidak tahu kenapa dirinya begitu kesal mendengar Willona ingin meminta lelaki lain untuk menjemputnya.
"Pak, kenapa Anda diam? Anda sakit?" tanya Willona cemas. Perempuan itu mengulurkan tangan, melatakkan di atas kening tegas Kenan.
"Haduh romantis sekali, Neng. Lebih baik sama Pak Boss yang ini dari pada sama a'a Jerry. Amang sebenarnya nggak terlalu sreg sama a'a Jerry."
Willona menoleh, begitupun Kenan. Lelaki tampan itu justru terpesona dengan bola mata indah sang sekretaris yang kini telah menjadi istrinya sah. Sedangkan Willona hanya menatap santai lelaki.separuh baya tersebut setelah meletakkan dua bangku bakso dengan uap kecil di atasnya.
"Terima kasih, Mang," ucap Willona.
"Sama-sama, Neng. Monggo dimakan Pak Boss Neng, semoga nambah ya hihihi."
Willona menggeleng kepala melihat Amang yang sedang memeluk nampan dengan senyum sumringah terlihat jelas di bibir tuanya. Perempuan cantik itu kembali menoleh pada Kenan.
"Pak Kenan kenapa wajah Anda jadi merah? Apa Anda benar-benar sakit? Jika Anda merasakan sakit, Anda bisa katakan kepada saya. Kita tidak perlu makan di sini ... ayo pergi."
"Tunggu, aku sudah lapar." Kenan mencekal tangan Willona seraya berucap sangat lirih hingga membuat Willona mengernyitkan kening untuk kembali mendengar kalimat itu.
"Iya, Pak? Anda bicara apa?"