"Sampai jumpa pulang sekolah ya, Do," Hira melambaikan tangannya yang hanya di balas dengan anggukkan kepala oleh Aldo. Gadis itu begitu ceria, meski nilai sekolahnya begitu amburadul, tapi dia terlihat menjalani hidupnya tanpa beban.
"Gadis yang menarik." Pikir Aldo, selama dia bersekolah dan bersosialisasi dengan teman sekelasnya, dia belum pernah menemui orang seperti Hira. Sebagian besar anak-anak di kelasnya begitu kaku dan serius. Oleh karena itu, Hira terlihat berbeda jika dibandingkan dengan mereka.
Hira adalah seorang gadis yang optimis dan tidak memandang rendah dirinya yang terlihat aneh di mata sebagian besar orang-orang. Aldo tidak memiliki banyak teman di sekolah. Hidupnya dia habiskan dengan belajar, berinteraksi dengan segelintir teman-temannya sesama kutu buku, dan bermain game sepulang sekolah.
Pada awalnya Aldo sangat tidak bersemangat saat pak Bambang mendatanginya dan membuat permintaan tak masuk akal baginya. Mengajari seseorang, dan seseorang itu adalah gadis dengan nilai paling mengerikan satu sekolah. Tapi, melihat bagaimana gadis itu langsung di depannya, bagaimana gadis itu tidak canggung dan tidak meremehkannya, Aldo rasa tidak buruk juga untuk membantu Hira.
***
Hira berlari dengan terengah-engah dan berhenti di hadapan Aldo yang saat itu sedang membaca buku catatan kecil di tangannya. Sudah menjadi kebiasaan Aldo untuk mencatat poin-poin penting dalam pelajaran yang dia terima hari ini ke notes kecil itu. Alasannya sederhana, agar dia bisa belajar dimanapun dan kapanpun dia mau.
"Maaf ya, kamu udah nunggu lama. Harusnya aku udah keluar sejak tadi, tapi teman-temanku ngajak ngobrol terus."
Aldo cuma mengangguk. "Ga papa, ayo."
Hira naik ke motor Aldo dan mereka berboncengan ke kafe terdekat. Kenapa ke kafe, karena Hira lapar dan ga bisa belajar dengan perut kosong. Meski terdengar seperti dalih saja, tapi Aldo hanya mengiyakan.
"Wah, keliatannya enak," Hira menatap satu persatu makanan yang datang dan mulai mengisi tempat di meja mereka yang tidak terlalu besar, sehingga tidak ada ruang bagi buku-buku pelajaran mereka.
"Apa ga terlalu banyak pesananmu untuk di makan sendiri?" Tanya Aldo sambil melirik kearah makanan yang masih berdatangan.
Hira yang saat itu sedang sibuk memfoto makanan yang ada diatas meja langsung menoleh lalu tersenyum.
"Kata siapa aku akan menghabiskan ini semua sendirian. Kamu juga harus makan." Hira berujar.
"Hah?"
"Bukan hah. Ayo kita makan dulu, Do."
Aldo sedikit terperangah karena tidak menyangka kalau gadis itu memesan makanan untuk dirinya juga.
"Aku tahu, kamu ga perlu berterima kasih. Makan aja, oke." Kata Hira lalu mulai memakan makanan yang ada di hadapannya dengan bersemangat.
"Ummm, enak banget." Hira makan dengan lahap dan terlihat sangat menikmati makanannya.
"Kenapa diam aja, Do? Ayo dimakan. Kita ga akan bisa mulai belajar kalau kamu belum makan juga karena meja kita penuh makanan."
Aldo menghela napas dan mulai makan. Mau di pikir bagaimanapun, semua ini terlalu banyak untuk mereka habiskan berdua. Namun, diluar dugaan, Hira dengan cepat menghabiskan makanan di hadapan mereka setelah Aldo menyerah karena kekenyangan. Nafsu makan gadis itu luar biasa untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
"Terima kasih untuk makanan enaknya." Hira tersenyum lalu memanggil waiter untuk membereskan meja yang sekarang penuh dengan piring kotor.
"Sudah siap untuk belajar?" Tanya Aldo.
Hira tersenyum lebar. "Aku sih ga pernah siap buat belajar, tapi karena kamu udah meluangkan waktu untukku, kita harus melakukannya'kan."
Aldo tidak menjawab dan dia mulai mengajari Hira dari pelajaran yang tidak terlalu sulit, baginya.
***
Beberapa hari kemudian...
"Hir, kalo gue liat-liat akhir-akhir ini lo sering pulang sama cowok, deh. Itu pacar lo?"
"Oh, Aldo? Dia bukan pacar gue, tapi dewa penyelamat gue."
"Dewa penyelamat?" Kesha dan Santi saling berpandangan.
"Ada deh. Kalian ga perlu tahu."
"Gue kira lo pacaran sama cowok itu. Untunglah kalian ga pacaran. Masa iya sih level cowok Hira turun dari Kak Jeff ke cowok aneh itu," Kesha terkikik diikuti Santi.
Mendengar ucapan teman-temannya, tiba-tiba raut wajah Hira berubah kesal.
"Siapa yang kalian panggil cowok aneh?"
"Ya cowok yang lo panggil dewa penyelamat itu, lah."
Hira mendelik kearah Kesha karena marah mendengar temannya itu mengolok-olok Aldo. Dulu Hira juga memang punya pemikiran yang sama dengan Kesha, namun beberapa hari menghabiskan waktu dengan Aldo, ternyata dia tidak seaneh itu.
"Aldo bukan cowok aneh. Kalian kalau ngomong jangan sembarangan, ya," kata Hira ketus, lalu menghentakkan kakinya dan meninggalkan teman-temannya yang melongo keheranan.
Hira berhenti di parkiran motor dan menunggu Aldo yang tidak muncul-muncul.
'Kamu dimana?'
Hira mengetikkan pesan dan menunggu di sebelah motor Aldo yang masih terparkir manis bersama beberapa motor siswa lainnya.
'Di belakangmu.'
Balas Aldo, Hira mendongak dan menoleh ke belakang dimana Aldo muncul. Wajah cowok itu terlihat berbeda, lebih segar dan tidak suram seperti biasanya.
"Ayo kita berangkat."
Aldo melirik Hira yang sedang mengenakan helm. Dia sedang memikirkan kejadian menarik yang baru saja terjadi di depannya.
Aldo keluar kelas lebih lambat dari biasanya karena hari ini adalah jadwal piketnya, begitu selesai piket dengan sedikit tergesa dia berjalan kearah parkiran motor. Dia pikir dia sangat terlambat, namun ternyata Hira juga baru saja keluar kelas dan berjalan bersama teman-temannya.
Karena jarak diantara mereka tidak terlalu jauh, maka Aldo bisa mendengar percakapan yang terjadi diantara mereka secara samar-samar. Aldo bisa mendengar mereka sedang membicarakannya, dan teman-teman Hira bertanya apakah gadis itu pacaran dengannya. Aldo mengerutkan keningnya saat mendengar gosip murahan itu dan seperti yang sudah dia duga, Hira menampiknya dan bilang kalau mereka hanya berteman.
Hal yang selanjutnya terjadi adalah Hira marah pada teman-temannya saat mereka mulai mengatainya aneh, dibilang aneh oleh orang lain bukanlah hal baru baginya dan Aldo sudah sangat biasa mendengar orang-orang mengatainya demikian. Karena Aldo-pun menyadari kalau penampilannya memang tidak biasa dan terlihat aneh dimata orang-orang. Tapi sungguh diluar dugaannya, Hira marah. Aldo benar-benar tidak habis pikir. Mereka baru mengenal sekitar seminggu, tapi Hira marah demi dirinya. Hal itu membuatnya hatinya sedikit tergelitik.
"Ehem. Sebelum itu aku ingin bicara sesuatu," Kata Aldo. Hira menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Sebaiknya kita ganti tempat belajar."
"Kenapa?" Hira mengerutkan keningnya.
Aldo tampak berpikir. "Selama kita belajar di kafe aku mengamatimu. Kamu tidak bisa fokus belajar dan seringkali fokusmu teralihkan ke hal lain yang terjadi di kafe itu. Itu benar-benar menggangguku, dan jika kamu memang berniat belajar, aku harap kamu bisa menerima usulku untuk pindah tempat."
Hira meringis. Yah, memang dia akui kalau selama belajar bersama di kafe, Hira seringkali tidak mendengarkan Aldo dengan benar karena terlalu sering memperhatikan hal lain.
"Baiklah. Kalau begitu, kita mau belajar dimana? Mau dirumahku saja?" Tanya Hira.
Aldo terdiam tampak berpikir. Sebenarnya Aldo tak masalah belajar dimanapun, asal orang dia ajari fokus pada apa yang sedang mereka pelajari. Cowok itu lalu menatap Hira yang masih menunggu jawabannya dengan wajah bertanya. Mungkin bagus juga jika mereka belajar di rumah Hira.
"Baiklah." Hira tersenyum mendengar jawaban Aldo.
"Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Rumahku agak jauh loh dari sini," Kata Hira bersemangat.
***
Aldo melongo melihat rumah yang berdiri megah di hadapannya. Dia lalu menoleh kearah gerbang yang jauhnya belasan meter ke belakang sana. Awalnya Aldo berpikir kalau dia salah masuk ke rumah orang lain, tapi mendengar satpam yang membukakan gerbang dan asisten rumah tangga yang tiba-tiba mendatangi mereka memanggil Hira dengan sebutan 'Nona', mau tidak mau Aldo menerima fakta bahwa rumah megah dan mewah ini adalah rumah Hira.
"Hei, kenapa berdiri aja? Ayo masuk."
Aldo menelan ludah. Apa tidak masalah jika rakyat jelata sepertinya masuk ke rumah sebagus ini? Mungkin Hira tidak menyadari pemikiran Aldo barusan, karena gadis itu begitu sumringah menerima kedatangan Aldo.
Begitu masuk kedalam, mau tidak mau Aldo berdecak kagum. Seisi rumah ini begitu penuh dengan kemewahan mirip seperti rumah artis-artis yang selama ini hanya bisa Aldo lihat di televisi. Bahkan mungkin rumah ini lebih mewah lagi. Aldo memperhatikan setiap sudut ruang tamu yang begitu luas dengan langit-langit yang begitu tinggi, dan Aldo merasa takjub dengan desain serta perabotan didalamnya. Mungkin karena dia baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah semewah ini. Rumahnya sendiri tidak bisa di bilang kecil. Tapi tetap kalah jauh bila dibandingkan dengan rumah Hira.
"Jangan berdiri aja disitu. Kamu duduk dulu disini, aku mau ganti baju dulu." Hira berlalu ke ruang lain meninggalkan Aldo sendirian yang merasa canggung. Akhirnya dia memilih untuk duduk, dan sofanya empuk sekali.
Tiba-tiba seorang asisten rumah tangga yang lain muncul membawakan Aldo minuman dan beberapa cemilan serta kudapan.
"Ah, terima kasih."
Sepeninggal asisten rumah tangga itu, Aldo kembali termangu dan matanya menangkap sebuah potret keluarga di dinding diatas sebuah grand piano. Dalam pigura itu ada foto Hira, yang sepertinya saat itu masih berusia 7 tahun, lalu seorang pria dengan setelan jas, dan seorang wanita yang mengenakan gaun mewah. Terlihat begitu elegan.
"Cantik dan tampan. Mungkin mereka papa dan mama Hira." Gumam Aldo.
Dia kembali mengalihkan pandangan ke foto-foto di atas meja yang berderet rapi. Dan Aldo menemukan satu hal yang menurutnya aneh. Selain potret keluarga di dinding, diantara semua foto-foto berisi potret Hira dan papanya, tidak tampak potret mama Hira dimanapun. Aldo mengerutkan keningnya.