webnovel

Merasa Gagal

"Jadi ini tempat tinggal Kita yang baru, ya walaupun kecil tapi setidaknya cukup buat kita tempati bertiga." Erick beserta keluarganya berjalan menuju rumah baru mereka.

Namun lebih tepatnya adalah kontrakan barunya. Meskipun kontrakan itu tampak jauh lebih kecil dibandingkan dengan rumahnya yang sebelumnya namun mereka masih bisa terlihat sangat bahagia dengan Semuanya.

Tidak peduli bahwa rumah itu kecil atau besar jika mereka masih bersama-sama maka apa pun dan dimana pun akan dijalani.

"Ayo masuk..." Papah Erick menggandeng tangan Arsen dan Alisha membawanya masuk ke dalam.

Baru pertama kali mereka masuk ke dalam kontrakan barunya itu, melihat kondisi dalam rumahnya jauh lebih buruk dibandingkan rumah mereka dulu.

Lantai masih plesteran sehingga masuk ke dalam rumah harus mengenakan sandal dan dinding-dinding yang masih terlihat bata-bata merah tersusun di sana.

"Arsen... Kamu nggak papa kan kita tinggal di sini dulu? Besok kalo Papah sudah ada uang, kita pindah dari sini dan cari tempat jauh lebih baik lagi dari ini."

Erick tahu bagaimana perasaan anaknya yang menatapi sekelilingnya yang begitu berbeda dari dulu. Bahkan mungkin Arsen terheran-heran kenapa dirinya bisa ada di dalam sini, dan kondisi kontrakan saja seperti ini. Erick tahu apa yang ada di pikiran Arsen.

"Iya Pah, nggak papa asalkan Arsen tinggal sama Mamah dan Papah." Anak kecil itu menjawab pertanyaannya dengan begitu tegas dan bijaksana. Dari kecil saja sudah terlihat jelas jika Arsen sangat pandai berbicara.

"Anak Papah pintar...." Erick mencubit gemas pipi Arsen.

Alisha masih saja menatap ke sekeliling mereka. "Lalu kita tidur di mana Pah?" tanya Alisha yang hanya melihat kontrakan itu terdapat satu kotak ruangan saja, tidak ada batasan apa pun untuk kamar.

"Kita tidur di sini, nanti biar aku minta alas sama pemilik kontrakan." Erick menginjakkan kaki di tempat menandakan bahwa mereka harus tidur di tempat mereka berdiri itu.

Memang benar tidak ada ruangan lain lagi di dalam kontrakan itu. Kontrakan itu hanya ukuran persegi kecil. Jika dibuat kamar dan dapur mungkin membutuhkan lahan lebih luas lagi.

Maka dari itu untuk sementara ini mereka makan dan tidur di tempat yang sama. Karena hanya kontrakan ini saja yang mampu Erick sewa dari sisa-sisa uang yang ia punya.

"Kamu nggak papa kan?" tanya Erick takut istrinya itu akan kecewa kepada dirinya karena tidak bisa lagi membahagiakannya seperti dulu.

Alisha menggelengkan kepala. "Iya nggak papa kok, Pah, kita berjuang dari bawah lagi ya, biar kita bisa segera pindah di tempat yang jauh lebih layak.."

"Iya itu pasti..."

Beberapa hari kemudian. Erick sibuk memainkan ponselnya, bahkan kali ini ponselnya juga berubah. Ia mengganti ponsel lamanya dengan android untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama Erick masih belum menemukan pekerjaan.

Ponsel untuk Erick sangat penting karena dapat ia gunakan membantu mencarikan pekerjaan melalui media sosial. Hingga akhirnya ia tak sengaja mendengar ada notifikasi dari dalam layar ponselnya.

Erick memilih untuk membukanya dan melihat, rupanya itu teman lamanya. Sungguh mengejutkan tiba-tiba ada nomor yang tidak dikenal mengirimkan pesan kepada Erick. Namun melihat orang itu menyebutkan namanya maka membuat Erick merasa biasa saja. Bahkan senang jika kawan lamanya itu kini ada bersamanya.

Tiba-tiba saja handphone Erick bergetar. Rupanya teman lamanya itu sedang menelponnya, maka tak tunggu lama lagi akhirnya Erick mengangkat telepon itu dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh seseorang yang ada di seberang sana.

"Hallo, ini Erick kan?"

"Iya Han, ternyata kamu masih ingat sama saya..." Erick tersenyum pulas menyaksikan bahwa Burhan masih ingat dengannya.

"Oh iya dong... Aku denger-denger kalo kamu sudah pindah dari rumah lama kamu ya?" tanya Burhan dari seberang telpon.

Ada raut wajah sedih yang harus di tahan oleh Erick jika membahas masalah rumah pamannya itu.

"Iya Han, Kamu kok tahu?"

"Apa sih yang aku nggak tahu tentang semua orang yang ada di muka bumi ini." Seketika mereka berdua tertawa.

"Oh iya, sudah lama nih kita nggak pernah ketemu... Ngomong-ngomong kamu sekarang tinggal di mana? Boleh lah sekali-kali Aku main ke tempatmu."

Erick mengangguk cepat. "Iya-iya boleh dong... Aku sekarang tinggal nggak jauh dari tempat lama aku, nanti kalo kamu mau main ke sini, kasih tahu aku saja, biar nanti aku bantu sharelock."

Tanpa pikir panjang Burhan akhirnya mengiyakan saja. "Baiklah, besok aku akan mengatur waktu untuk main ke tempatmu. Kebetulan Aku sekarang lagi ada di Jakarta, jadi pengen silahturahmi sama Kamu."

Erick tertawa mendengarnya. "Iya juga, kita sudah lama tidak bertemu, kira-kira kalo nggak salah sudah lima tahunan kita nggak ketemu ya?" tanya Erick mengingat kembali masa lalu yang ada di antara mereka.

"Bener banget itu. Yaudah deh, sampai di sini dulu ya, besok kita lanjut lagi, Aku masih mau ada kerjaan soalnya..." Burhan tiba-tiba mengatakan hal itu membuat Erick sedikit berat hati.

Meskipun Erick merasa kurang mengobrol dengan teman lamanya itu, namun Ia tetap bisa memaklumi kesibukan yang dimiliki oleh temannya. Berbeda dengan dirinya saat ini yang hanya seorang pengangguran di rumah saja.

"Argh! Kapan ya aku bisa hidup kembali seperti dulu, di kehidupan yang jauh lebih layak dari ini..." Batin Erick benar-benar merasa malas jika mengingat betapa hancurnya dirinya saat diterjang badai beberapa kali beberapa hari lalu.

"Pah..."

Tiba-tiba suara dari Alisha mengejutkan Erick, sontak membuat Erick sangat terkejut dengan keberadaan alisha secara tiba-tiba di depannya sambil membawakan segelas teh di tangannya.

"Aku tahu Papah pusing nyari kerjaan di sosmed, jadi Aku buatin Papah teh hangat biar enakan..." Alisha meletakan segelas teh itu di depan suaminya.

Erick benar-benar sangat bersyukur memiliki istri yang begitu perhatian seperti Alisha. Rasa bersalah itu kembali datang menyelimuti Erick. Ia merasa sangat bersalah kepada Alisha.

Sudah jelas-jelas Alisha terlahir dari keluarga yang kaya raya. Namun saat menikah dengannya malah membuat dia sengsara dan membawanya dalam kesusahan seperti ini. Sungguh tidak pantas disebut laki-laki. Hanya itu yang ada di dalam pikiran Erick saat ini.

"Kenapa semuanya terjadi sama Kita Mah?" tanya Erick membuat pandangan mata Alisha teralihkan ke Erick.

"Maksudnya Pah?"

"Kenapa cobaan Tuhan diberikan kepada kita? Sedangkan di luar sana masih ada banyak orang yang belum mendapatkan cobaan seperti ini, kenapa harus kita?"

Seketika itu Alisha menghentikan ucapan suqminya itu. "Papah nggak boleh ngomong seperti itu... Untuk saat ini mungkin kita yang dianggap mampu melewatinya sama Allah. Kalo orang-orang diluar sana tidak diberikan ujian seperti kita sekarang, mungkin mereka dianggap kurang sama Allah..."

Erick menggelengkan kepalanya. "Tapi Aku tidak pantas disebut Lelaki, Mah, sudah jelas-jelas kamu terlahir dari keluarga kaya raya, sedangkan kamu menikah denganku, malah aku ajak susah seperti sekarang..."

"Aku tahu jika lelaki yang baik tidak mungkin mengajak wanitanya susah, dan ternyata aku termasuk dalam golongan itu...." Eri k menundukkan kepalanya.

Alisha menepuk pundak suaminya. "Jangan ngomong seperti itu... Aku nggak papa kok ikut susah kayak gini, asal kita masih bisa bersama-sama..."

Alisha tersenyum manis. "Sesungguhnya perempuan yang baik itu... Perempuan yang mau menemani suaminya dikala sedih juga, bukan di saat senang saja. Jadi untuk apa kamu merasa bersalah?" tanya Alisha.

Bersambung.....