Ify melangkahkan kakinya dengan ringan setelah selesai berbelanja di minimarket. Kantong penuh belanja ia tenteng di tangan kanannya sementara tangan kirinya sibuk memainkan ponsel. Mencari musik yang pas untuk menemaninya hingga ia sampai ke rumah. Memang tidak terlalu jauh, waktu sepuluh menit cukup untuk ia sampai ke rumah dengan berjalan kaki.
Susana sangat lenggang karena malam yang hampir tiba. Jika saja bukan karena kebutuhan pokok sebagai perempuan dan ini sangat genting, Ify pasti memilih untuk berbelanja besok saja. Melihat keadaan yang sepi dan lenggang cukup membuat buku kuduk Ify berdiri.
Tak ingin berlama-lama, Ify mempercepat langkahnya. Apalagi ia merasa seperti sedang diikuti. Mau menoleh pun tak berani, takutnya ada penampakan menyeramkan dan ia pingsan. Kan repot pingsan di pinggir jalan, apalagi udah mau malam seperti ini.
"Emmph ...." Kantung belanja Ify terjatuh saat tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya. Sekuat tenaga ia memberontak tapi kekuatannya jelas sangat jauh berbeda dengan preman berbadan kekar yang membekap mulutnya ini.
"Woy, lepas nggak?" Ify melihat Gabriel yang berdiri dan berkacak pinggang. Dari sorot mata, Ify meminta tolong kepada Gabriel karena ia sama sekali tidak bisa berteriak.
"Siapa kamu? Pergi atau mau kubuat babak belur?" bentak preman yang membekap Ify.
"Coba sini kalau bisa!" tantang Gabriel. Pemuda itu memasang sikap kuda-kuda.
Bekapan di mulut Ify terlepas dan preman itu berjalan menuju ke arah Gabriel. Ify yang merasa sudah bebas pun menghirup udara dengan rakus karena bekapan preman itu membuatnya tak bisa bernapas. Badannya lemas dan ia hanya mampu duduk, melihat Gabriel dan preman itu berkelahi. Gadis itu terus saja berdoa, semoga Gabriel bisa mengalahkan sang preman itu dan mereka bisa selamat. Ia belum siap mati, impiannya menonton konser BTS belum terlaksana, takutnya ia akan bergentayangan menjadi arwah penasaran.
****
"Aw, pelan-pelan!"
Ify menghembuskan napas kasar, ia sudah berusaha sepelan yang ia bisa.
"Berantem aja sok jago, masa diobatin kaya gini ngrengek terus," gerutu Ify.
"Memangnya kamu mau dibawa sama tuh preman?"
Ify menggeleng cepat.
"Nah, setidaknya kan aku dapat sesuatu setelah nyelamatin kamu, aduh---"
Ify menekan kuat luka di sudut bibir Gabriel.
"Jadi kamu nggak ikhlas bantu aku?"
"Ikhlas kok, tapi kalau dicium sebagai ucapan terimakasih aku juga nggak nolak," Gabriel mengerling ke arah Ify.
"Nih, cium sampai puas!" ucap Ify sambil melemparkan bantal sofa ke muka Gabriel membuat pemuda itu mengasuh karena lemparan itu cukup kuat membuat lukanya berdenyut nyeri.
"Fy, kemana?" teriak Gabriel saat melihat Ify beranjak pergi.
"Boker, mau ikut?" tanya Ify jutek.
Gabriel menggeleng dan Ify melenggang pergi. Suasana menjadi sunyi karena tak ada siapapun di rumah Ify. Gina sedang pergi ke rumah sepupunya di Bandung dan akan menginap, Hanafi belum pulang dari kerja sementara Ray bermain ke rumah Deva.
"Terimakasih!" Gabriel menoleh dan tersenyum tipis.
"No problem, kamu bisa mengandalkan aku untuk urusan itu."
"Memangnya kamu nggak masalah?"
Gabriel mengerutkan keningnya bingung sesaat tapi kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Sama sekali nggak, meskipun dia sepupuku, aku tak pernah akur. Aku tahu, ada yang tak beres dan aku memang curiga kalau Riko pelakunya. Tenang saja, aku pasti akan membantu Ify mengungkap semuanya!"
Sosok yang berbicara dengan Gabriel itu tersenyum tipis sebelum ia menghilang.
****
Ify baru saja menyelesaikan sarapannya saat klakson mobil terdengar. Keningnya berkerut, ia menatap Ray, tapi pemuda itu hanya menyediakan bahunya tanda ia sendiri juga tidak tahu.
Ify melongo saat membuka pintu Gabriel sudah berdiri dengan cengiran lebarnya. Tanpa dipersilahkan, ia masuk dan ikut duduk di samping Ray.
"Hai boy, berangkat sekolah?" Gabriel menyapa sok akrab.
Ray mengangkat alisnya tinggi, matanya menyapu Gabriel dari ujung rambut sampai ujung kaki seolah sedang mengamati alien. Sesaat kemudian ia menatap Ify.
"Orang gila!" sahut Ify seolah tahu maksut tatapan Ray.
"Oh, mumpung ada orang gila suruh bersihin kolam buaya di belakang, Kak! Siapa tahu si Cakka dapat temen baru!" perintah Ray seenaknya.
Gabriel melongo, baru kali ini mendapat sambutan yang sangat istimewa. Tunggu, Cakka? Jangan bilang itu nama buaya.
"Cakka?" ulang Gabriel untuk memastikan.
"Buaya milikku, kenapa? Mau kenalan?" tanya Ray.
Gabriel menggeleng cepat. Ia tahu sekarang kenapa Ify juga jutek kepadanya, ternyata jutek juga bisa menurun lewat gen.
"Beneran punya buaya?" tanya Gabriel tak habis pikir. Bagaimana mungkin mereka memelihara binatang yang bahkan berpotensi menghilangkan nyawa pemiliknya sendiri?
" Tentu saja enggak!" sahut Ray enteng tanpa dosa. Ingin rasanya Gabriel menelan hidup-hidup pemuda yang masih berseragam biru putih itu. Apalagi ia bersikap seolah-olah tak melakukan kesalahan apapun, asik dengan makanan, sementara Ify tengah sibuk memakai sepatu.
Tak ingin meninggalkan kesan buruk kepada anggota keluarga Ify, akhirnya Gabriel memilih untuk mengalah. Masih pagi juga dan ia belum sarapan. Bisa-bisa mati berdiri jika menanggapi keusilan bocah SMP.
"Sudah?" tanya Gabriel saat melihat Ify selesai mengenakan sepatunya.
"Sudah, ngapain kesini?" tanya Ify pada akhirnya.
"Jemput kamu?" sahut Gabriel sambil memberikan tas Ify yang kebetulan berada di sampingnya.
"Alih profesi jadi sopir?"
"Dikatain jadi sopir enggak apa-apa, asal sopir pribadi kamu, aku siap mengantarkan kemanapun," ucap Gabriel disertai kekehan ringan.
Ify memutar bola matanya dan melirik Ray memberi sebuah kode. Ray yang paham kode itu pun langsung bergegas.
Setelah mengunci pintu, Ify berjalan diiringi Gabriel menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dengan gentle, Gabriel membukakan pintu untuk Ify. Gadis itu berdecak, tapi tidak protes. Setelah Ify masuk, Gabriel berputar dan masuk ke bagian kemudi.
"Anterin ke sekolah, Bang!"
Gabriel mendelik, hampir saja ia menekan pedal gas dengan kencang saat sebuah suara terdengar dari kursi di belakangnya. Pemuda yang ia tahu berstatus sebagai adik dari Ify itu kini tengah duduk dengan nyamannya sambil memeluk bantal leher bergambar Doraemon miliknya.
Gabriel menoleh ke arah Ify tapi gadis itu malah melengos tak peduli, ia menghela napas. Tak punya pilihan lain selain mengantarkan Ray ke sekolah terlebih dahulu. Sebenarnya, membuang Ray di tengah jalan sangat menggoda iman.
****
"Bagaimana mungkin kalian gagal?" pekik seorang pemuda yang kini tengah berjalan kesana kemari dengan gundah. Ia terus menggigit jarinya mencari cara agar rencananya berjalan lancar.
"Maaf, Boss! Ada seorang pemuda yang menolongnya," sahut laki-laki yang yang tadi diteriaki oleh pemuda itu.
"Bukankah aku sudah bilang untuk melakukannya dengan cepat?" Mata pemuda itu memancarkan amarah yang tertahan, giginya bergemelatuk dan tangannya mengepal kuat.
"Pergi, sebelum kepalamu menjadi korban di sini!" bentak pemuda itu yang langsung membuat sang laki-laki berlari keluar.
Pemuda itu tampak menimang-nimang sesuatu, lalu kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seringaian.
"Haruskah aku juga membunuhmu, gadis manis?"
****
See u next chap 👋👋
Thanks
_dee
Sidoarjo, 12 Maret 2020