webnovel

Sebuah Jalan

Intan harus berusaha sekuat tenaga bangkit dari keterpurukannya. Bayangan masa lalu yang seakan menghantui, harus ia tepis kuat-kuat. "Kamu tahu Intan, segala kejadian di hidupmu itu bagai sebuah titik. Perlahan menjadi garis dan lama kelamaan akan membentuk suatu kalimat. Kalimat itulah yang menjadi tujuanmu" Kalimat Fajar seperti mengingatkan Intan, bagaimana susahnya ia bangkit dari keterpurukan. Matanya seolah membenarkan perkataan Fajar, namun tak sedikitpun bibir merahnya berkata-kata "Kau tahu Intan, bagaimana aku menghindarimu dahulu. Kurasa aku manusia bodoh yang harus menebusnya hari ini" "ya kau memang bodoh" balas Intan dengan tersenyum Sebuah jalan harus Intan pilih. Apakah ia dapat bangkit dari kisah lama yang selama ini menghantuinya?

Dwi_Cahyaningsih · Geschichte
Zu wenig Bewertungen
1 Chs

Masa Lalu yang Terulang Kembali

Braaaaakkkkkkk. "Sudah, aku sudah muak dengan semua ini."

Teriakannya mengagetkan seluruh keluarga di lantai satu. Sontak langkah kaki setiap anggota keluarga bergegas menuju salah satu pintu kamar di lantai dua.

"Intan buka pintunya. Intan, Intan jawab aku Intan. Kamu tidak bisa menghukum dirimu seperti ini. Kamu tidak sepenuhnya bersalah disini" Suara gedoran pintu itu terdengar jelas di telinga Intan, namun tak sedikitpun badannya berbalik untuk membukakan pintu.

"Nak, buka pintunya nak" Suara terisak ibunya menyambut tangisan Intan yang samar terdengar dari luar bilik kamar.

"Mela benar nak, semua bukan salahmu. Kamu tidak salah disini. Buka pintunya ya nak." Usaha menggedor pintu kamar masih terdengar dari dalam. Intan hanya bisa diam terpaku. Kegelapan menenggelamkan dirinya di atas tempat tidurnya.

Tiba-tiba ia teringat kalimat laki-laki yang ia kenal. Laki-laki berambut gondrong itu tersenyum dan mengatakan,

"Intan, apa kamu tahu apa yang paling menyakitkan?"

"Apa?"

"tidak diinginkan di dunia ini"

Apa iya aku tidak diinginkan di dunia ini?. Lalu mengapa masih ada yang menggedor pintu kamarku saat ini? Mengapa mereka peduli?

Pikiran Intan masih melayang-layang bersama tangisannya.. Mengapa? kenapa?

***

Setelah hati dan pikirannya bergejolak, kakinya berjalan menemui setiap orang yang menunggu di balik pintu.

Sreeeett. Pintu berwarna putih tersebut terbuka, perlahan nampak gadis itu dengan pipinya yang basah. Dengan cepat ia mengalungkan kedua tangannya menuju gadis cantik berambut sepinggang yang masih berdiri mematung menatapnya.

"Mel" Suara intan tak henti-henti terisak bersamaan dengan tangisannya. Masih sesak rasanya dalam hati Intan tentang bagaimana masa muda harus ia lalui dengan jalan yang pahit seperti ini

"Sudah-sudah. Ayo kita turun saja" Mela tahu, sahabatnya masih kalut untuk menerima apa yang harus ia alami di sekolah barunya. Mela juga sangat tahu, bagaimana perjuangan sahabatnya melalui hari-harinya yang dulu.

***

"Dia tidur Mel?"

"Iya tante. Kasian Intan. Dari tadi nggak berhenti nangisnya"

Tangannya tak berhenti membelai rambut sahabatnya yang nampak hitam legam.

"Terima kasih ya sudah jadi sahabat Intan" perempuan paruh baya itu memeluk Mela dengan hangat. Tak asing memang dimata keluarga Intan, dara berusia 16 tahun tersebut berteman dengan Intan sejak mereka masih duduk di sekolah menengah pertama.

Dret dret dret. Rupanya itu suara dari ponsel Mela. Tertulis Sandy di layar telepon pintarnya. Ibu Intan yang melihatnya langsung bergegas meninggalkan ruang keluarga tempat Intan tertidur pulas.

"Iya San?"

"Gimana Intan?"

"Oh dia udah tidur kok. Ini aku masih di rumahnya"

"Oke. Aku jemput"

"Beneran?"

"Iya"

Tampak Sandy menyudahi pembicaraannya dengan Mela. Sandy memang sosok yang perhatian, terlebih dengan sahabat dan keluarganya. Sandy juga merupakan salah satu sahabat di kelas Intan yang sangat tampan. Pembawaannya yang maskulin menjadi daya tarik tersendiri di depan wanita yang melihatnya.

Mela menyimpan telpon genggam di tas hitam miliknya. Rambut pirangnya masih tergerai dengan bando pink melekat dikepala.

Kakinya menghampiri lagi Intan yang masih tidur di kursi panjang berwarna abu-abu di sudut ruangan. Nampaknya ia sangat pulas tertidur. Sesekali ia menatap Intan dengan perasaan kacau melihat Sahabatnya begitu hancur.

***

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Tepat satu jam yang lalu ia dihubungi oleh Sandy. Detik jam terus berputar, Matanya hanya bisa menatap sudut ruangan. Pikirannya melayang memikirkan langkah apa agar sahabatnya dapat bahagia menjalani hari-hari di sekolah.

Tin tin tin

Telinga Mela terusik dengan suara motor dari luar rumah. Nampaknya mama Intan beserta suaminya telah menyambut Sandy di ruang tamu. Mereka bercakap-cakap tak berselang lama, lalu Sandy pergi bersama Mela.

***

Pagi menjelang, sinar mentari hangat menyapu tubuh Intan yang masih mengenakan seragam sekolah.

"Astaga aku terlambat. Aku harus bersiap-siap" Dengan secepat kilat ia bergegas menuju kamar mandi di luar kamarnya.

"Eh Intan, mau kemana nak." Seketika itu langkah seribunya harus terhenti

"Mandi ma, hehe. Maaf ya Intan bangun kesiangan hari ini" Bola matanya masih sembab, perempuan paruh baya itu tahu jika si anak masih merasakan rasa sakit di dalam hatinya.

"Hari ini kamu nggak usah sekolah dulu ya, pikiran kamu perlu istirahat. Badanmu hangat nak." Perempuan tersebut meletakkan tangannya pada kedua pipi merah Intan. Dara berusia 15 tahun itu hanya dapat tersungging menyaksikan perhatian dari sang mama. Perempuan yang rela bertaruh apapun untuknya, termasuk nyawa.

Mendengar hal tersebut, Intan bergegas kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Kaos oblong dengan celana panjang olah raga ia pilih sebagai temannya menjalani hari ini.

Intan tak mandi, badannya begitu panas. Suhunya mencapai 39 derajad celcius. Walau begitu, ia ingin menghapus kesedihan dari wajahnya. Walau jika teringat kejadian tersebut air matanya seakan tak dapat ditampung dari dalam kelopak matanya.

"Jangan menangis gadis cantik, lihatlah dirimu di depan kaca. Kamu begitu kuat. Bahkan kamu punya orang-orang yang akan mendukungmu dikala susah maupun senang" Mata indahnya tak henti-henti menatap bayangan dirinya duduk di atas kursi rias. Perlahan ia mengoles berbagai make up ke atas wajahnya yang mulus.

Dret dret dret

Ponsel berlambang apple itu masih berbaring di atas selimut putih. Suara getarnya begitu keras, namun ia tetap melanjutkan polesan makeup itu di wajahnya.

"Hari ini aku tak mau seorang pun datang menemuiku. Aku butuh waktu sendiri untuk menata ulang kehidupanku"

***

"Nak, makan siang yuk. Kamu dari tadi belum makan."

"Iya mah, sebentar aku buka pintunya"

Setelah pintu berwarna putih tersebut terbuka, perempuan paruh baya itu sejenak terpaku melihat banyak buku tertumpuk di atas tempat tidur anaknya. Matanya seakan menahan kesedihan yang tak dapat terpendam.

"Nak, terima kasih sudah kuat. Mama tahu ini semua berat untuk kamu, tapi mama percaya, kamu bisa melewati ini semua seperti dulu"

"iya mah"

Perempuan bertinggi 155 cm dengan rambut beruban itu meninggalkan kamar Intan sembari membawa nampan di tangan kanannya.

Intan kembali membaca buku berjudul improvement self (pengembangan diri). Buku dengan cover berwarna kuning itu berisi banyak siasat untuk menumbuhkan motivasi hidup yang hilang selama ini.

Tangan kirinya membaca buku dan tangan kanannya menyendok makanan, Intan merasa sangat bahagia. Baginya ini merupakan aktivitas terbaik.

"Aku tak akan kalah dengan segala pembullyan ini. Mereka tak dapat menghancurkan aku seperti ini lagi. Mereka akan bahagia kalau aku kehilangan percaya diri. Aku tak akan membiarkan mereka menang. Aku harus bertahan"

Bukan hanya temperatur suhu badannya yang naik kali ini. Tapi juga semangatnya meningkat berkali lipat diambang batas biasanya. Tiada kata lain dipikirannya selain berubah, berubah dan berubah.

Intan yakin dengan begitu, ia takkan menjadi perempuan lemah seperti dahulu.

Beri saya semangat untuk menyelesaikan novel ini yaa... ^_^

Dwi_Cahyaningsihcreators' thoughts