Keesokan harinya, aku terbangun pada jam 4 pagi. Udaranya dingin dan aku menguap selebar-lebarnya. Karena ini masih sangat pagi, aku memutuskan untuk bersantai sejenak di ruang tengah, duduk di sofa dan menyalakan televisi. Acara yang pertama kali muncul di TV adalah sebuah berita.
"Seorang siswa SMP telah tewas bunuh diri di kamarnya. Dikabarkan dia tertekan oleh perundungan yang dialaminya di sekolah, dia membuat sebuah surat untuk keluarganya, dan di surat tersebut dijelaskan bahwa dia telah mengalami kekerasan fisik dari teman-teman sekelasnya selama dua tahun penuh, dia juga sering mendapatkan ancaman-ancaman pembunuhan dari mereka. Setelah diselidiki oleh para pihak, ternyata awal dari perundungan itu disebabkan karena—"
Aku langsung mematikan televisi, menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ini masih pagi dan beritanya benar-benar parah. Entah kenapa, rasa bersalahku jadi semakin menggeroti pikiranku. Mendengar siswa SMP yang tewas bunuh diri akibat perundungan di sekolahnya, terasa seperti akulah pelaku dari peristiwa tersebut. Bayangan-bayangan wajah dari orang-orang yang pernah kurundung dari SD dan SMP langsung bermunculan di kepalaku seperti layar film.
Itu membuat dadaku sesak. Aku langsung berlari ke dapur untuk mengambil air.
"Sial!" Setelah kuteguk segelas air sampai habis, aku menggeram. "Kenapa dulu aku sangat bodoh sekali!"
"Paul? Kaukah itu?" Tiba-tiba aku mendengar suara mamaku dari jauh, dia segera muncul dengan rambut hitam panjangnya yang berantakan dan piyamanya yang kusut, mendekatiku dan melihat diriku yang sedang berkeringat resah sambil mencengkram gelas yang kosong. "Ada apa? Suaramu terdengar sampai kamar mama, loh."
"Tidak ada apa-apa, aku hanya... mengalami mimpi buruk saja."
"Ceritakan mimpi burukmu pada mama."
"Itu tidak perlu, Ma. Itu tidak penting." Aku meletakkan gelas kosong itu ke meja dapur dan berpaling dari mamaku, tidak ingin dia melihat wajahku yang sedang gelisah.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Sial, sekarang mami juga datang kemari.
Aku lupa. Sepertinya aku belum memberitahukan hal ini pada kalian. Aku punya dua ibu, aku adalah anak kandung mereka dari program bayi tabung. Mereka adalah orangtuaku, dan aku sangat menyayangi dan menghormati mereka. Tapi sifat dari dua ibuku sangat jauh berbeda, mama adalah sosok yang lembut dan sering memanjakanku, sementara mami itu sosok yang sangat tegas dan selalu menegurku.
Karena mami sudah hadir, aku tidak bisa terus-menerus memunggungi mereka. Pelan-pelan, aku memutar badanku dan menghadap pada dua ibuku. Aku melihat sosok mami yang berambut hitam pendek dengan sorotan matanya yang tajam menatapku.
"T-Tidak ada apa-apa, Mi. Aku hanya—"
"Jangan berbohong. Katakan yang sejujurnya pada mami, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa wajahmu risau begitu?"
Ini buruk. Aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya pada mereka. "Aku mengalami mimpi buruk yang parah. Di sana, aku dikejar-kejar oleh makhluk besar yang aneh dan itu membuatku ketakutan. Maaf jika suaraku membangunkan kalian."
"Lagi-lagi mimpi buruk," Mami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang basuh mukamu yang berkeringat itu, dan mandi juga sekalian. Matahari sudah mulai muncul. Jangan lupa buat sarapan untuk dirimu sendiri." Setelah itu, mami meninggalkan dapur menuju ruang televisi, dia sekarang sedang duduk di sofa, menonton kartun favoritnya di sana.
Sementara mama mendekatiku dan mengusap-usap punggungku. Ia tersenyum padaku dan berbisik dengan lembut. "Jangan khawatir, Paul, mama yakin besok malam tidak akan ada lagi mimpi buruk untukmu. Ya sudah, mama akan membuatkan sarapan enak untukmu. Kamu sekarang mandi saja, ya."
Aku merasa tenang saat mendengar ucapan mamaku. "Baik, Ma."
Sesampainya di sekolah, aku turun dari sepedaku dan memarkirkannya di tempat khusus sepeda. Aku jadi terbiasa berangkat lebih awal dari siswa-siswi lain, sehingga setiap aku sampai, sekolah masih sepi, belum banyak murid atau guru yang datang.
Berjalan di lorong menuju kelas, aku menikmati udara pagi yang sejuk sampai punggungku ditepuk dari belakang oleh seseorang. "Yo!" Aku mendengar suara yang tidak asing dan saat kubalikkan badan, aku melihat sosok Joe Johanes, salah satu anggotaku yang berambut hijau jabrik, ia sedang tersenyum lebar padaku. "Selamat pagi, bro!"
Aku menghela napasku, tidak menduga kalau Joe Johanes adalah orang pertama yang kutemui hari ini di sekolah. "Ada apa, Joe?" Aku bertanya dengan menaikan sebelah alisku, terkesan dingin dan bahkan tidak tertarik untuk membalas sapaan paginya.
"Haha! Kau ini ketus sekali!" Joe menertawakan sikapku, tanpa peduli kalau aku sedang menggeram kesal padanya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu, bro! Soal penjelasan yang kau bilang kemarin. Ada yang masih belum kumengerti."
"Bagian mana?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Kau bilang, tujuan organisasi kita adalah menghapuskan segala penindasan, perundungan, dan kekerasan di sekolah, tapi kau tidak menjelaskan cara-caranya pada kami, jadi aku masih belum paham."
"Itu akan kujelaskan minggu depan, seperti yang sudah kukatakan, segala pertanyaan hanya boleh dilontarkan di saat pertemuan saja, dan yang paling penting, jangan bersikap seolah-olah kita saling mengenal di luar waktu pertemuan. Jika kau ingin berkomunikasi denganku, pakailah cara yang lebih privasi dan rahasia seperti seorang mata-mata, kau paham?"
"Aku tidak paham, bro," jawab Joe dengan polos. "Kenapa kita harus seperti itu, mengapa kita tidak bersikap santai saja, lagipula tidak ada yang akan mengetahui soal itu, semua orang tidak ada yang peduli, bro. Percaya padaku."
Tidak ingin berurusan lagi dengannya, aku meninggalkan Joe Johanes begitu saja di lorong dan berjalan cepat ke dalam kelasku. Kulirik sejenak, ternyata Joe masih berdiri di lorong, ia memandangiku sambil mengupil ria di sana. Dasar jorok.
Ketika mataku kembali kualihkan ke dalam kelas, aku terkejut saat mendengar suara seorang gadis yang sedang menangis di sana. Kekagetanku meningkat saat mengetahui bahwa Olivia Memento-lah, ketua kelasku, yang sedang menangis tersenggukk-sengguk di mejanya. Sebelum aku mendekati mejanya dan bertanya apa yang terjadi, langkahku terhenti saat menemukan berbagai coretan-coretan kasar dari spidol di papan tulis.
Coretan-coretan itu berisi ejekan, hinaan, dan ancaman kepada ketua kelasku. Isinya adalah 'Olivia pelacur!' 'Olivia gadis jalang!' 'Sebaiknya kau mati saja, Olivia!' 'Kami akan memperkosa dan membunuhmu, Olivia!'. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa orang seperti Olivia bisa mengalami hal seperti ini, tapi yang lebih parahnya, coretan-coretan itu menggunakan spidol permanen, sehingga sulit untuk dihapus dari papan tulis.
"Olivia?" Aku langsung memanggilnya dan itu cukup mengagetannya. "Katakan padaku, apa yang terjadi?"
Gadis itu mengangkat kepalanya dari meja dan aku bisa melihat seluruh mukanya yang basah karena air mata. Bibirnya bergetar, matanya memerah, dia tampak sangat ketakutan saat melihatku. Tapi dia segera menghapus air matanya dengan jemari tangan dan berusaha bersikap tenang di depanku.
"Aku tidak menyangka kau datang sepagi ini, Paul." Dia mengalihkan pembicaraan, dan aku tidak suka itu.
"Hey! Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"
Bibirnya kembali bergetar. "I-Itu bukan urusanmu. Sekarang, lebih baik kau bantu aku menghapus tulisan-tulisan itu dari papan tulis, aku tidak ingin teman-teman kita mengetahuinya."
"Baiklah, tapi kau harus berjanji, ceritakan semua yang terjadi padaku, oke?"
Olivia tidak mempedulikan ucapanku, ia lebih fokus mencari cara untuk menghapus coretan-coretan itu dari papan tulis. Aku membantunya, dan sebelum teman-teman sekelas datang, kami berhasil menghapus semuanya dengan bersih.
Sepertinya, kasus Olivia akan menjadi kasus pertama yang akan kukerjakan bersama anggota-anggotaku yang lain. Mungkin, aku juga harus memerintahkan salah satu angotaku untuk membuat sebuah kotak surat khusus di internet, untuk orang-orang yang sedang dirundung di sekolah, agar mereka bisa mendapatkan bantuan kemanusiaan dari organisasiku.
Baiklah, aku siap menebus dosa-dosaku sekarang.