webnovel

Sastra Kenapa?

Naka tertawa kencang di tempatnya setelah melihat karyanya di wajah Sasya yang kini sedang tertidur dengan kepala yang diletakkan di meja dengan posisi menyamping. Jadilah Naka bisa mencoret coret wajah gadis itu. Sastra sendiri sejak tadi lebih banyak diam di tempatnya, tak melarang seperti biasanya. Tentu membuat Naka gencar membuat gambar gambar random di wajah Sasya. Ya, Sasya. Gadis itu benar-benar tampak kotor wajahnya sekarang ini.

"Lo gambar dia pake apaan?" Edo salah satu teman sekelasnya yang sejak tadi mengamati akhirnya bertanya dengan suara memekik.

Naka sendiri malah menyengir lebar di tempatnya, "Pake spidol papan tulis," jawabnya enteng.

Edo mendelik, ia kasihan juga pada Sasya. Lelaki itu segera membangun-kan Sasya dengan menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu. Naka sendiri mendelik sebal atas hal itu.

Sasya menghela napasnya dengan penuh berat, ia menguap sebentar dan menegakkan tubuhnya. Dengan pelan ia membuka mata sayunya. Objek yang pertama kali ia lihat adalah Naka yang menyengir lebar ke arahnya.

"Ngapain lo nyengir-nyengir kaya gitu?" Sasya menatap Naka penuh kecurigaan.

Edo sendiri berdehem, lelaki itu menatap Sasya iba. Naka memang tidak main-main kalau bercanda.

"Coba lo buka kamera, Sya," ujar Edo dengan pelan.

Sasya mengernyit dahi, namun tak urung gadis itu segera membuka kamera di ponselnya. Dan saat itu juga gadis itu terjengit kaget di tempatnya.

"Sialan, siapa yang bikin muka gue kaya gini hah? Lo, Do? Lo yang bikin muka gue kaya gini?!" Sasya tampaknya begitu naik pitam sampai-sampai berdiri dan menatap Edo tajam.

Edo menelan salivanya kasar, lelaki itu lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Bukan gue, Sya, sumpah!" lelaki itu tampak mengangkat kedua tangannya.

"Itu!" ujar Edo selanjutnya sembari menunjuk Naka yang tampak memasang wajah tanpa dosanya.

Sasya menggeram, gadis itu hampir saja menangis kalau tak ia tahan mati-matian. Hei, lihat betapa buruk wajahnya sekarang ini.

"Naka sialan, lo bukan temen gue!" Seru Sasya sebal.

Naka menyengir tanpa dosa, tanpa rasa bersalah sama sekali, "Lo, sih, kerjaannya tidur mulu kalau jamkos."

Memangnya salah? Hei, dari pada membuat kelas berisik atau gaduh sampai didatangi guru konseling, ya lebih baik Sasya tidur dengan aman tentram damai. Spesies seperti Naka memang jangan pernah dijadikan teman. Buktinya bukan malah minta maaf, Naka malah tertawa tanpa dosa. Menertawakan wajah Sasya yang memang cocok untuk ditertawakan.

Maka dengan emosi yang membuncah, Sasya segera meraih spidol kelas, "Edo, kalau lo nggak mau gue tendang, tolong pegangin Naka."

Edo mengangguk dengan terbata. Lantas lelaki itu segera memegangi tubuh Naka yang tampak memberontak tapi tak bisa lepas dari cengkraman Edo.

Maka Sasya segera memulai aksinya. Gadis itu membalaskan perbuatan Naka yang tadi mencoret-coret wajahnya. Intinya bagi Sasya ... pukul balas pukul, tendang balas tendang.

Setelah selesai, dan Naka sudah menjerit sejak tadi, Sasya melempar spidol itu ke meja. Lantas menepuk-nepuk pelan kedua tangannya dengan senyum lebar di bibirnya.

"Lebih bagusan karya gue kan?" Sasya bertanya pada sosok sang sahabat.

Naka mendengus sebal, lelaki itu segera bangkit dari duduknya, dan keluar guna mencari air untuk menyirami mukanya. Sasya sendiri menatap mukanya di layar ponselnya dengan bibir mencebik. Gadis itu melirik Sastra yang tampak diam saja. Tumben sekali lelaki itu tak melindunginya dari setan terkutuk seperti sosok Naka itu.

Aneh juga, Sastra sejak berangkat tadi juga hanya diam di tempat duduknya, dan memilih untuk duduk sendirian di tempatnya. Di bangku Naka sehingga Naka pindah ke bangku di sampingnya. Tidak sekalipun lelaki itu mengajaknya atau Naka berbicara. Maka dengan segera, Sasya bangkit dari duduknya dan berdiri di samping Sastra duduk.

"Tra, liat muka gue, gara-gara Naka sialan itu," ujar Sasya mengadu.

Sastra menolehkan kepala ke arahnya, lelaki itu diam menatap wajah Sasya sebelum akhirnya fokus mengobrak Abrik tasnya membuat Sasya mengernyit dahi di tempatnya.

"Lo ngapain Sa--"

Ucapan Sasya terhenti tatkala Sastra menyodorkan sebungkus tisu basah itu di depannya. Sasya segera menerimanya. Lantas tanpa kata lelaki itu kembali fokus mencorat coret kertas di depannya.

Sastra kenapa?

Tak mau mengganggu dulu, Sasya lebih memilih untuk mendudukkan diri kembali di bangkunya. Ia posisikan ponselnya menyandar di bangku depan yang Sastra duduki agar ponselnya bisa berdiri dan kamera mengarah ke arahnya.

Maka Sasya segera membersihkan diri dengan tissue basah yang Sastra berikan. Tak lupa sembari melirik ke arah punggung Sastra di depannya.

"Dia kenapa?" gumam Sasya pelan.

***

"Sas, woi!" Naka berteriak kencang.

"SASTRA!" Sasya ikut-ikutan juga. Namun sosok Sastra sama sekali tak menoleh kepala ke arah mereka. Hanya berjalan dengan cepat lurus keluar kelas.

Aneh, Sastra benar-benar aneh. Lihat, bel pulang berbunyi dan lelaki itu sudah pergi lebih dulu. Tanpa melakukan acara basa basi pada Naka dan Sasya yang sudah duduk di belakangnya. Sasya dan Naka sendiri saling tatap, keduanya sudah akur saat istirahat kedua tadi sebab Naka mentraktirnya makan.

"Ka, lo dicurhatin dia apa gitu? kok aneh banget tingkahnya," ujar Sasya membuka suara.

Kedua sosok itu masih duduk bersisian di bangku. Tampak tak beranjak sedikitpun padahal teman-temannya sudah beranjak pulang lebih dulu.

Naka menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Enggak, dia gue amatin dari kemarin emang udah aneh sih. Sastra tuh paling tertutup di antara kita bertiga, Sya," sahutnya dalam mode serius.

Sasya menghela napasnya dengan berat, "Beberapa hari yang lalu pas ke rumah gue, dia curhat sama Bunda katanya kedua orang tuanya mutusin buat cerai," balasnya.

Naka menoleh, ia menatap horor sosok Sasya di sampingnya, "Demi apa?! Lo enggak ngadi ngadi kan, Sya?" tanyanya beruntun.

Sasya mendengus pelan, "Enak aja!" serunya sebal.

Gadis itu lantas menghela napasnya berat, "Kenapa Sastra juga ngalamin hal yang sama kaya gue ya, Ka? Kenapa nggak lo aja?" tanyanya bermaksud bercanda.

Naka mendelik, lelaki itu menoyor pelan kepala Sasya, "Amit-amit deh, gue nggak mau jadi broken home," jawabnya.

Sasya geleng-geleng kepala, "Maksud gue tuh ... kenapa terjadi juga sama Sastra. Dia penurut selama ini, nggak pernah sekalipun gue denger ngebangkang orang tua. Kalau gue kan sering. Terus ... dia juga pinter, rajin, beda jauh sama gue. Tapi kenapa dia ngalamin hal yang sama kaya gue juga?" Sasya mengutarakan isi hatinya.

Naka menghela napasnya berat, "Gue nggak tau mau jawab apa. Gue pikir bokap nyokapnya hanya ribut biasa yang besoknya juga bakalan akur lagi. Tapi ... kenapa sampai cerai?"

Sasya mengedikkan bahu, "Sastra terlalu tertutup jadi orang. Sukanya mendem semuanya sendiri."