webnovel

Perihal Sastra

Sasya tergelak keras tatkala melihat Sastra yang sudah dipuncak emosi karena Naka terus-terusan mengganggunya. Melihat kedua sahabatnya ini jadi kesenangan sendiri bagi Sasya. Apalagi Naka ini kalau sudah jahil tidak akan berhenti. Sastra juga awalnya hanya akan diam saja, dan puncaknya tatkala Naka tak berhenti dan Sastra berada di puncak terkesalnya.

"Nggak ada yang lucu," jawab Sastra berujar dengan ketus.

Sasya sontak menahan bibirnya agar tak tertawa lagi. Gadis itu memilih untuk memalingkan muka. Tapi saat Naka kembali berulah dengan merangkul lengan Sastra dan menyandarkan kepalanya ke bahu si dingin Sastra, tawa Sasya tak bisa ditahan lagi. Gadis itu tertawa, lantas memotret keduanya dengan ponsel.

"Duh, pasangan serasi yang pernah gue temuin." Sasya mengakhirinya dengan kekehan pelan.

Sastra mendelik, lelaki itu menepis kasar tangan Naka dari lengannya. Sebelum akhirnya memilih bangkit dan pergi keluar kelas. Membuat kedua sahabatnya tersentak kaget dan kini saling menatap satu sama lain.

"Itu orang kenapa sih nggak berubah berubah juga?" tanyanya dengan penuh kebingungan.

Sebab sikap Sastra tak berubah juga. Makin menutup diri, bukannya bercerita pada sahabat sahabatnya mengenai kelanjutan masalahnya, lelaki itu malah semakin tertutup saja.

Kadang Sasya dan Naka dibuat kebingungan. Kini, keduanya sudah saling melempar tatapan kebingungan.

"Aneh ya itu orang?" Naka berujar tanya dengan kepala yang menggeleng beberapa kali.

Sasya menghela napasnya berat, lantas menendang pelan lutut Naka di bawah meja, "Maka dari itu, lo jangan usilin dulu dong. Udah tau Sastra akhir-akhir ini sensitif banget begitu," jawabnya pelan.

Naka menghela napasnya dengan berat, ia memutar matanya dengan jengah, "Tapi tadi lo juga ngetawain dia kan? Nggak usah sok nyalahin gue deh."

Sasya berdecak sebal, gadis itu lantas menyandarkan punggungnya ke kursi sembari bersidekap dada. Matanya menatap sosok Naka yang kini menopang dagu di atas meja.

"Minta maaf apa ya sama Sastra? Kita coba bicara bertiga deh. Itu orang kalau kitanya diem begini yang ada makin diem dah nggak mau cerita." Sasya mencoba untuk memberikan saran.

Naka menatap sang sahabat, lelaki itu lantas mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan, "Yaudah ayo kita susul aja apa gimana?" tanyanya pada sang sahabat.

Sasya menganggukkan kepalanya. Lantas segera bangkit dari duduknya, diikuti Naka yang menyejajarkan langkahnya. Tak lupa keduanya izin kepada ketua kelas dulu dengan alasan akan pergi ke kantin.

"Menurut lo Sastra kemana?" Naka bertanya di sela langkah keduanya.

Sasya berdehem pelan, "Iya juga ya, kita coba cek ke atap sekolah dulu aja nggak sih?" tanyanya.

Naka mengangguk setuju, kemudian keduanya segera berjalan menaiki anak tangga tanpa kata lagi. Saling diam dan berjalan bersisian. Sampai beberapa menit kemudian, akhirnya keduanya tiba di atap sekolah. Sasya lebih dulu membuka pintu. Gadis itu menatap menyeluruh ke berbagai sudut, sampai akhirnya ia menemukan sosok yang dicarinya. Sastra.

Lelaki itu ...

"Sejak kapan Sastra ngerokok?" Naka berujar berbisik di telinga Sasya.

Sasya menatap Naka sembari mengedikkan bahu. Sebelum akhirnya gadis itu menarik Naka untuk berjalan pelan ke arah Sastra. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menepuk pelan pundak Sastra. Membuat sang empunya menolehkan kepala ke arahnya.

"Are you okay?" Naka lebih dulu bertanya.

Sastra menghela napasnya berat. Sebelum akhirnya kembali menghisap rokoknya. Ia biarkan kedua sahabatnya duduk mengapitnya.

"Gue baik-baik aja." Sastra berujar datar.

Sasya menatap wajah tampan Sastra dari samping, gadis itu menghela napas sesaat.

"Terus kenapa lo ngerokok?" Sasya akhirnya bisa menanyakan itu.

Sastra menghentikan kegiatan merokoknya. Lelaki itu membuang rokoknya ke lantai rooftoop sebelum akhirnya menginjaknya.

"Lo nggak takut ketahuan guru, Sas?" Naka kali ini mengajukan pertanyaannya. Sebab, ia merasa masih terkejut dengan fakta bahwa Sastra merokok.

Padahal ia pikir, sosok Sastra adalah remaja yang benar-benar sangat menjaga kesehatannya. Dan, Naka yang bahkan merasa lebih urakan daripada Sastra saja tak berani untuk mencoba rokok meskipun teman teman lelakinya yang lain sudah biasa dengan hal itu.

Sastra sendiri diam beberapa saat, sebelum akhirnya bersuara. Dan menjawab rasa penasaran kedua sahabatnya.

"Gue stress, terus kata temen gue ngerokok bisa bikin gue lebih baik." Sastra berujar begitu.

Sasya mendengus sebal dengan jawaban lelaki itu, "Terus kalau semisal lo disodorin narkoba biar stress lo bisa berkurang, lo mau juga?" tanya Sasya sebal.

Dan dengan bodohnya, Sastra menganggukkan kepalanya dengan pelan. Membuat Sasya gemas sendiri dan menoyor pelan kepala lelaki itu.

"Lo bisa berbagi sama kita, Sas. Lebih baik dari pada lo ngerokok dan mendem semuanya sendiri. Bukannya lega lo malah sakit. Kita gunanya buat apa sih, Sas?" tanya Sasya bertubi tubi. Yang diceramahi malah menundukkan kepalanya dalam.

Naka sendiri menganggukkan kepalanya setuju, "Kita udah temenan dari kecil loh, apa yang bikin lo ngerasa takut buat berbagi?" tanya Naka menimpali ucapan Sasya.

Sastra mendongak, menatap kedua sahabatnya bergantian. Lelaki itu kemudian kembali menghela napasnya dengan penuh rasa berat.

"Gue nggak mau kalian ngerasa kasihan sama gue. Gue nggak mau kalian ikutin mikirin masalah gue." Sastra berujar demikian.

Sasya menggeram pelan di tempatnya, ia menatap Naka, "Lo kok punya temen goblok banget sih, Ka?!"

Naka mengedikkan bahunya acuh, "Gue gatau, bukan temen gue."

Sasya menghela napasnya berat. Gadis itu menepuk pelan bahu Sastra. Sebelum akhirnya merangkaul bahu lebar itu walau sebenarnya agak kesusahan.

"Gini Sas, kita tuh semacam timbal balik aja. Gue sama Naka kalau ada masalah pasti cerita biar lega, nanti kita pasti bakalan cari seneng bareng bareng biar lupain masalah itu. Begitupun lo, lo kalau ada masalah ya bagi. Kalau cuma dikit juga nggak papa. Yang penting lo terbuka sama kita, dan nanti kita sama sama bakalan cari hal seneng biar lo bahagia. Biar lo bisa lupain masalah lo sebentar."

Naka menganggukkan kepalanya pelan, "Cerita tuh nggak susah, Tra, asalkan lo nya tuh niat."

Sastra menghela napasnya berat, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya dengan pelan, "terima kasih, terima kasih banyak. Gue bakalan cerita ke depannya."

Sasya menganggukkan kepalanya pelan, "Lo bisa cerita sekarang, seenggaknya biar lo ngerasa lega. Gue ... bakalan selalu ada buat lo."

Naka menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Gue juga, Sas. Lo jangan ngerokok lagi ya, nggak sehat. Aneh aja gitu anak rajin belajar kok ngerokok."

Sastra mengulas senyumnya tipis. Setidaknya, ia masih cukup bersyukur memiliki kedua sahabat yang senantiasa di sisinya. Ia tahu, tak ada orang yang akan benar benar sendirian di dunia ini. Maka selanjutnya, Sastra segera merangkul kedua sahabatnya.

"Gue sayang kalian, lebih dari apa pun."