webnovel

Hari Pertama Kerja

"Itu ada pelanggan yang baru datang, tolong tanyain mau pesan apa."

Sasya yang sedang duduk di bangku kasir menolehkan kepala. Gadis itu mengusap peluh keringatnya yang menetes turun. Ya, katakan Sasya agak kaget dengan kerja seperti ini. Baru istirahat sebentar, pelanggan datang. Apalagi restaurant milik El ini memiliki banyak pelanggan yang terus berdatangan. Laris manis lah intinya. Jadi saat Sasya baru mengistirahatkan dirinya sendiri entah itu sekedar duduk atau apa, pasti hanya beberapa detik saja.

"Jangan lelet." Sosok wanita yang tadi menegurnya kini kembali bersuara.

Membuat Sasya mengangguk cepat dan segera bangkit dari duduknya sendiri. Gadis itu meraih buku menu dan notes kecil sebelum akhirnya segera berjalan ke arah tempat duduk pelanggan yang baru saja datang.

"Permisi, sebelumnya selamat datang di restaurant kami. Mau pesan sesuatu?" Sasya mengulas senyum lebar di sela wajahnya yang tampak begitu sangat kelelahan.

Gadis itu tak lupa memberikan buku menu kepada pasangan muda di depannya untuk memilih apa yang akan mereka pesan. Cukup lama Sasya berdiri, sampai akhirnya salah satu dari pasangan di depannya menyebutkan pesanannya. Membuat Sasya tentunya langsung sigap mencatat pesanan. Setelah dirasa selesai, Sasya segera ke bagian dapur untuk memberikan catatan pesanan itu.

Gadis itu lantas kembali duduk saat dirasa tak ada pelanggan yang kembali datang. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding restaurant. Peluh keringatnya kembali ia usap dengan tangan.

"Capek juga ya kerja ginian." Sasya menggumamkan kalimat itu.

Gadis itu menghela napas beberapa kali. Dan cukup terkejut saat sosok jangkung berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu perlahan mendongakkan kepalanya. Matanya mengerjap dengan pelan.

"Kok lo di sini?" tanya Sasya menatap El heran.

El sendiri tampak bersidekap dada di tempatnya. Lelaki itu menatap sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Jam 2 siang. Atensi lelaki itu lantas kembali kepada Sasya. Gadis itu tampak kelelahan sekali. Mungkin karena hari pertamanya kerja. Jadi belum terbiasa.

El menghela napasnya berat. Lelaki itu lantas berdehem pelan.

"Ikut gue bentar," ujarnya memberi kode, dan segera berjalan lebih dulu.

Sasya mencebikkan bibir kesal, "Apa dia nggak liat gue lagi rehat bentar?" dumelnya dalam hati.

Namun meskipun begitu, Sasya tetap tau diri. Istilahnya ya kalau sudah dibantu harus tau diri dalam artian tidak ngelunjak dan berperilaku sesukanya. Maka gadis itu segera bangkit dan berjalan mengikuti langkah El yang membawanya masuk ke dalam ruangan lelaki itu.

"Kenapa, ya, Pak?" Sasya sebisa mungkin memanggil El dengan sebutan Pak seperti yang lain. Karena bagaimana pun lelaki itu tetaplah akan jadi bosnya kedepannya.

"Duduk," ujar El setelah lelaki itu mendudukkan diri di sofa.

Sasya mengernyit dahi, namun tak urung gadis itu mengikuti perintah El. Ia mendudukkan diri di samping lelaki itu.

"Kenapa, Pak?" tanya Sasya bingung.

El menghela napasnya berat, lelaki itu meraih sesuatu di meja. Semacam kotak bekal dan segera membukanya sebelum akhirnya memberikannya untuk Sasya.

"Makan," katanya singkat, padat, dan jelas.

Sasya mengernyitkan dahinya, "Loh, kan gue nggak min--"

"Gue tau lo belum makan. Jangan kegeeran, gue cuma merasa bertanggung jawab karena lo adeknya Arash. Kalau bukan, gue mana peduli." El menjelaskan panjang lebar sebelum Sasya menyelanya.

Sasya mendengus kesal, lantas segera meraih bekal yang El sodorkan, "Tapi kan harusnya Pak El ini tahu kalau restaurant bapak ini nyediain makanan buat para karyawannya saat jam istirahat." Sasya masih tetap saja memperpanjang. Padahal tinggal makan saja urusan sudah kelar.

El menghela napasnya dengan penuh berat, "Gue tau lo enggak makan waktu jam istirahat tadi. Dikira gue enggak di sini dari tadi?" tanya El nyolot.

Sasya mengangkat alis kanannya, "Gue liat lo keluar restaurant setelah anterin gue loh."

El mendengus kasar, "Tinggal makan aja apa susahnya sih? ribet banget," jawabnya.

Oke, Sasya nyerah kali ini. Bukan nyerah sih sebenarnya, lebih ke arah malas meladeni El lebih lanjut. Daripada nanti ia emosi dan memukul El yang posisinya disini sebagai bos dan ia sebagai babunya.

Maka Sasya segera meraih sendok dan memasukkan sesuap demi suap nasi goreng dari kotak bekal itu. Ia hiraukan mata El yang sejak tadi mengawasinya.

Walaupun sedikit risih di tatap begitu, Sasya memilih untuk membuat dirinya sebisa mungkin tetap terlihat santai.

"Makasih loh, Pak Bos, udah perhatian begini." Sasya berujar dengan mengejek, tak lupa gadis itu meletakkan kotak bekal ke meja dan kembali meraih botol minum di sana asal walau El sebelumnya tak menawari. Toh pasti memang sengaja disiapkan untuknya kan.

"Eh!" El berteriak tatkala Sasya sudah meminumnya seteguk. Lelaki itu merebut botolnya, membuat Sasya menatap sang bos dengan tatapan heran.

"Apa sih?" serunya dengan kesal.

El menghela napas, "Ini botol bekas minum gue. Udah gue minum dulu tadi."

Mata Sasya membola. Gadis itu menatap El dengan tatapan horornya.

"Berarti kita ciuman dong?!" serunya berteriak kesal.

El tampak mematung di tempatnya, "hah?" katanya tampak tak mengerti.

***

Sasya jadi malu sendiri kalau mengingat tadi. Bisa bisanya ia mengatakan ciuman tadi. Padahal hanya minum dengan botol yang sama. Inilah efek karena ia terlalu banyak membaca novel romance remaja. Jadi begini. Malu-maluin diri sendiri. Tadi Sasya langsung pergi begitu saja meninggalkan El dengan wajah tak mengertinya.

"Lo kenapa tadi baru pulang sore? Biasanya lo kalau main nggak bakal selama itu."

Sasya tersentak kaget, gadis itu menolehkan kepalanya dan segera tersenyum tipis tatkala melihat Arash yang kini ikut mendudukkan diri di sampingnya. Memang, saat ini Sasya sudah berada di rumah. Lagian hari juga sudah malam begini. Dan kini kedua kakak beradik itu sedang duduk di teras depan rumah.

"Yah sekali sekali pengen main sehari aja masa ga boleh. Lagian lagi stress banget sama tugas sekolah akhir-akhir ini." Sasya berkata begitu, sebab itu memang sebuah fakta.

Sasya benar-benar mabuk tugas akhir akhir ini. Arash yang mendengar hal itu geleng geleng kepala, lelaki itu menepuk nepuk puncak kepala adiknya.

"Jangan ngerasa paling sok pusing dong. Kuliah kan lebih pusing." Arash berujar begitu dengan kekehan pelan.

Sasya menatap sinis sang kakak, "Yah kalau gitu nggak usah banding bandingin kuliah sama aku yang masih sma dong bang," sahutnya.

Arash tersenyum tipis, "Udah ada bayangan nanti kalau lulus mau ambil jurusan apa?" tanyanya pada sang adik.

Sasya terdiam, gadis itu bahkan belum pernah berani untuk memikirkan ini. Cukup lama gadis itu terdiam sebelum akhirnya membuka suara.

"Kalau aku nggak kuliah gimana, Bang?" tanya Sasya pelan.

Arash menatap sang adik kaget, "Kenapa begitu? Kamu takut masalah biaya? Kan udah abang bilang kalau masalah itu biar jadi urusan ab--"

"Abang harusnya pikirin biaya kuliah abang ke depannya. Biar bisa lulus, jangan pikirin Sasya dulu." Sasya segera menyela. Ia hanya tak mau Arash terus memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri.