webnovel

Berubah

"Sya, ayo dong kita main, Sya!" Naka menatap Sasya dengan penuh harap. Tak ingin kalau gadis itu kali ini menolaknya.

Sebab akhir-akhir ini, Sasya susah sekali untuk diajak sekedar jalan-jalan keluar saja. Padahal sebelumnya, gadis itu selalu mau kalau diajak jalan sampai sore sekali pun. Karena Sastra akan mentraktirnya.

Sastra berdehem, dan menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Bener, Sya, lo kali ini harus mau. Kemarin-kemarin lo udah nolak terus, gue kangen main bareng bertiga."

Sasya menghela napasnya berat, sedikit merasa bersalah karena kembali melihat wajah kecewa kedua sosok lelaki di depannya.

Gadis itu mengusap tengkuknya pelan sembari meringis, "Gue ini ... ada acara keluarga, mau ketemu keluarga bokap gue."

Naka menatap Sasya sebal, "Gue nggak tau lo akhir-akhir ini ngapain sampe belajar bareng atau main aja nggak pernah bisa ikut. Tapi, sesibuk apa pun lo, apa nggak bisa sempetin sedikit waktu buat temen?" tanyanya sarkas.

Sastra menghela napasnya berat, "Lo tumben-tumbenan mau ketemu bokap lo?" tanyanya dengan nada lembut seperti biasanya.

Sasya menyengir, gadis itu beberapa kali mencoba agar ia tak bersitatap dengan manik mata Sastra, "Gue ... em gue cuma mau berdamai aja, Sas. Udah cukup gue kaya gini terus, mau gimana pun dia tetep bokap gue."

"Jadi ... lo beneran enggak bisa ya?" tanya Sastra dengan pelan. Seolah memastikan sekali lagi.

Dan anggukan Sasya tentunya membuat Sastra dan Naka tampak semakin kecewa. Keduanya lantas sama-sama memicingkan mata, menatap Sasya dengan penuh rasa curiga.

"Lo nggak bohong kan?" tanya Naka dengan pelan.

Sasya berdehem dan menggelengkan kepalanya dengan pelan, lantas mengangkat kedua jarinya, "Gue beneran jujur ini," jawabnya.

Naka menganggukkan kepalanya pelan, lelaki itu melirik Sastra, "Yaudah ayo kita berdua aja, Tra. Ni sahabat lo satu udah jadi orang sibuk sekarang."

Naka marah sepertinya. Tampak di wajah lelaki itu, apalagi ia segera berbalik dan pergi menuju motornya. Meninggalkan Sasya dan Sastra yang masih saling berhadapan di tempat.

"Lo nggak bohong kan, Sya, sama kita berdua?" tanya Sastra datar.

Sasya menggigit bibirnya, gadis itu kemudian menyengir dan menganggukkan kepalanya pelan, "Gue nggak bohong, kok, Tra. Gue dipaksa bokap buat ketemu keluarganya lagi di acara kali ini."

Sastra menatap lamat sosok gadis di depannya, sebelum akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan.

"Ya udah, hati-hati ya. Gue duluan sama Naka." Setelah itu, Sastra lebih dulu berbalik dan berjalan menuju ke arah Naka.

Sasya menghela napas berat di tempatnya. Namun, ia benar-benar tak mau kalau keduanya tahu ia bekerja. Sebab dulu ketika ia iseng mengatakan ingin bekerja, mereka langsung menyangkalnya alias tidak mengizinkannya. Kalau kalau ia bekerja, mereka akan mengancam melaporkan pada Arash.

Sasya menghela napas berat menatap kedua sahabatnya dari jauh. Yang tampaknya benar-benar marah. Tapi mau bagaimana lagi. Sasya tidak bisa seenaknya izin. Sebab kemarin ia sudah izin dua hari karena menjaga sang Bunda yang sedang tidak enak badan. Kalau izin lagi, Sasya takut gajinya dipotong.

"Maafin gue, ya, Ka, Sas. Nanti kalau udah waktunya gue jujur deh akhir-akhir ini gue ngapain." Sasya bergumam pelan tentunya.

Lantas gadis itu segera berbalik dan berjalan menuju motornya.

"Duluan, Sya!" meskipun marah, Sastra tetap menyapanya tatkala melewatinya. Beda kalau Naka, lelaki itu melengos begitu saja.

Sasya menghela napasnya dengan penuh berat. Tak mau termenung terlalu lama, gadis itu segera melajukan motornya dan berlalu. Gadis itu sedikit tersentak tatkala merasakan getaran di saku roknya. Tahu bahwa itu telepon dan siapa tau penting, Sasya segera meminggirkan motornya ke tepi jalan. Gadis itu tersentak kaget melihat nama El di sana. Maka Sasya segera mengangkat panggilan teleponnya.

"Halo?" sapanya.

"Kenapa, El?" tanya Sasya sekali lagi tatkala tak kunjung mendapat balasan.

"Ini, kalau lo belum ke restaurant, lo bisa kesini nggak, Sya? Ke rumah gue, gue nitip file penting. Nanti serahin ke manager."

Sasya tentunya mengiyakan perintah itu dan segera menutup teleponnya. Lantas gadis itu kembali melajukan motornya sendiri. Untung saja ia belum melewati gang komplek perumahan El. Jadi tidak ribet belok belok nantinya.

Sasya segera menghentikan laju motornya tatkala sampai tujuan. Kini ia sudah menginjakkan kaki di halaman rumah El.

Sasya segera melepas helmnya dan berjalan menuju rumah El. Belum mengetuk pintu, El sudah lebih dulu keluar dengan beberapa kertas yang menyatu di dalam map itu.

"Ini nanti kasih aja ya ke manager, gue mau kesana nggak keburu, ada keperluan." sosok El berbicara begitu.

Sasya menganggukkan kepalanya saja dan segera meraih map berisi kertas kertas itu dari tangan El. Gadis itu berbalik sebentar, sebelum akhirnya kembali menghadap El dan menyodorkan tangannya, membuat El mengernyitkan dahinya.

"Biaya ongkirnya dong, Bos." Sasya menyengir lebar.

El mengernyit dahi, sebelum akhirnya geleng-geleng kepala dan segera meraih dompetnya. Kemudian menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada Sasya yang tentu diterima dengan lapang dada.

Gadis itu tersenyum lebar, "Makasih, Kak El!" serunya dengan bungah.

Tanpa tahu kalau ada dua sosok yang memandanginya dengan El dari kejauhan.

***

"Jadi ... dia bohong ke kita buat ketemu El El itu, Sas?" Naka menatap Sastra yang kini duduk di depannya.

Keduanya memutuskan untuk nongkrong di angkringan langganan mereka setelah mengikuti Sasya. Dan hasilnya ... ya, gadis itu berbohong.

Merasa tak kunjung mendapat sebuah jawaban. Naka segera menepuk bahu Sastra yang sejak tadi diam termenung.

"Jawab elah, jangan ngelamun gitu dong." Naka mengajukan protesnya.

Sastra menghela napasnya dengan berat, "Menurut lo, mereka ngapain?" tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaan Naka tadi.

Naka menopang dagunya di atas meja, "Hm? mereka lagi pdkt mungkin?" jawabnya dengan asal.

Sastra mendengus sebal, lelaki itu menoyor pelan kepala Naka, "Nggak usah ngawur."

Naka berdecak sebal sebelum akhirnya mengedikkan bahunya, "Ya ... mungkin nih, Sasya kan kalau abis pulang sekolah nyuciin motornya El. Mungkin aja dari ketemu terus jadi ada drama percintaan antara mereka gitu?"

Sastra mengusap wajahnya kasar, lelaki itu tampak gelisah, "Dia yang ketemu gue tiap hari aja tetep nganggep gue temen."

"Hah?" Naka bingung, lelaki itu tampak melongo di tempatnya duduk.

"Lo bilang apa tadi?" tanya Naka meminta pengulangan.

Sastra mendengus dan melengos, "Nggak," ujarnya ketus sebelum akhirnya memilih bangkit dan pergi entah kemana.

Meninggalkan Naka yang tiba-tiba tersenyum di tempatnya.

"Ah, tapi gue jadi tau alasan Sasya akhir akhir ini sibuk. Mungkin dia sibuk pdkt? kalau aja dia jujur, pasti malah gue dukung dah."

"Oke, gue nggak jadi marah sama Sasya."