webnovel

Sang Pembunuh Bayaran

Mercury adalah seorang pembunuh bayaran yang seperti hantu. bekerja sendiri. bahkan tak ada yang tahu identitasnya. membunuh tanpa ada yang menyadari, korbannya kebanyakan adalah para pelaku kejahatan yang memang ditarget untuk membalas dendamnya. tetapi ada seorang agen intelejen mencium identitasnya. terobsesi menangkapnya. agen intelijen itu adalah Ambrosia. dalam situasi yang tak terduga Ambrosia malah jatuh cinta pada Marvin. sosok sebenarnya dari Mercury. Ambrosia yang belum mengetahui identitas asli Mercury tak menyadari bila Marvin kekasihnya adalah Mercury sang pembunuh bayaran yang selama ini dikejarnya. akankah Mercury akhirnya tertangkap? bagaimanakah kisah cinta keduanya?

erica22 · Urban
Zu wenig Bewertungen
11 Chs

Hiatus

Ambrosia memarkirkan mobilnya dan dengan tangan penuh dengan barang belanjaan, dia melangkah menuju lift yang menyambungkan ke apartemennya. Waktu sudah menunjukkan jam 23.00. lantai basement apartemen memang dimanfaatkan sebagai area parkir. Tetapi kali ini entah mengapa sedikit gelap.

"hmm.. mengapa sebagian lampu padam? Nanti aku komplain pada manajemen" bisik Ambrosia kesal karena harus melangkah menuju lift dengan suasana sedikit gelap.

Ada sosok yang melangkah mengikutinya. Ambrosia mengentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. Kosong sangat sunyi. Dia benar-benar sendirian di Basement itu. semenit kemudian dia sudah di dalam lift. Dengan kasar dia menekan tombol lantai apartemennya. Pintu lift tertutup dari kejauhan tampak orang berlarian mengejar masuk. Sosok tinggi memakai jumper hitam bermasker dan tatapan mata tajam itu masuk ke dalam lift. Ambrosia terkejut dan nyaris menjatuhkan belanjaannya.

"ma… ma.. maaf… terima kasih sudah menahan pintunya" kata sosok itu yang ternyata Marvin.

"wow anda juga tinggal di Apartemen ini?" Tanya Ambrosia

"y.. y.. y.. yeah" sahut Marvin tergagap. Marvin menarik masker ke dagu dan memamerkan senyum manisnya.

"lantai berapa?" Tanya Ambrosia

"lantai 7"

"wah sama.. unit kita satu lantai" kata Ambrosia sambil menekan tombol 7.

"ke.. ke.. ke.. kebetulan sekali" kata Marvin melirik dan masih tersenyum pada Ambrosia. Ambrosia memperhatikan Marvin.

"Pria jangkung itu memiliki wajah tampan juga. Sayang gagap." Pikir Ambrosia dalam hatinya.

"a… a… a… aku tak pernah melihatmu di.. di.. di.. apartemen ini sebelumnya?"

"aku memang baru di sini. Jadi belum mengenal banyak tetangga" kata Ambrosia

Layar di atas Pintu lift menunjukkan angka 7 menyalah dan pintu terbuka. Suasana lantai 7 senyap keduanya keluar dari lift dan masih berbincang santai.

"i.. i.. i.. ini apartemenku. Bi.. bi.. Bila butuh sesuatu bisa kemari detektif" kata Marvin ramah.

"well.. kita tetangga bersebelahan. Apartemenmu nomor 2 aku nomor 3. Okelah kalau begitu" kata Ambrosia menekan kode kunci di pintu hingga pintu terbuka. Marvin tersenyum lagi lalu masuk ke dalam apartemennya.

"tak kusangka dia tetanggaku" pikir Amrosia.

Memang selama ini dia tak pernah memperhatikan tetangganya di unit no 2 itu memiliki balkon yang banyak dihiasi tanaman. Sempat beberapa waktu dia melihat tetangganya itu tetapi hanya dari punggungnya. Kini dia tahu tetangganya adalah Marvin. Pria baik yang menolong anak muda seperti Indra.

"banyak tanaman dan bunga di balkonnya mungkin lain kali aku mau minta satu saja untuk menghiasi balkonku yang kosong ini" kata Ambrosia memperhatikan balkon apartemen Marvin. Ketika Ambrosia hendak masuk ke apartemenya. tiba-tiba Marvin muncul memperhatikan satu persatu tanamannya. Sedikit mengintip Ambrosia memperhatikan Marvin dari balik balkonnya.

"nah itu Marvin.. sedang apa dia?" pikir Ambrosia memperhatikan tetangganya. Marvin tak menyadari bila ada yang mengintipnya. Pria itu melepas jumpernya. Tampak dia bertelanjang dada dan menunjukan tubuh atletis di punggunya ada bekas luka tembak dan beberapa luka jahit dan bekas luka lain menghiasi beberapa sisi tubuh pria jangkung itu. dibukanya kunciran rambutnya. Kali ini tampak rambut coklat, berombak, panjang sebahu sepasang headset menghiasi telinganya. Dengan sedikit bergumam. Tampaknya marvin sedang mendengarkan lagu dari mp3nya.

Ambrosia tertegun melihat apa yang dilihatnya. Tidak hanya tampan, tinggi, atletis Marvin memiliki pesona bagaikan model. Hanya yang mengherankan dengan bekas luka sebanyak itu di tubuhnya. Tentu marvin bukan hanya seorang pemilik toko letop biasa. Mungkin dia mantan tentara atau stunman untuk film action pikir Ambrosia.

"bila tidak gagap. Mungkin dia sudah jadi model terkenal" bisik Ambrosia masih menikmati pemandangan menakjubkan dihadapannya. Tiba-tiba handphonenya bordering tanda ada pesan masuk. Ambrosia sepontan mematikan handphone itu.

Marvin menoleh dan menyadari ada tetangganya yang juga sedang berdiri di balkon. Dilepaskannya headsetnya.

"ha.. ha.. hallo.. detektif" sapa Marvin ramah. Bagi Ambrosia suara gagap Marvin itu membuyarkan pesonanya seketika.

"eh… ya.. halo" sapa Ambrosia canggung. "aku lihat balkonmu penuh dengan tanaman. Kau ternyata seorang botani juga?" kata Ambrosia mencairkan suasana.

"ha… ha… hanya hobi" sahut Marvin. "ini tanaman Herbal banyak manfaatnya" kata Marvin serius menceritakan manfaat setiap tanaman yang dimilikinya.

"tuan Marvin. Bila tak keberatan aku beli satu saja tanamanmu. Untuk menghiasi balkonku yang sepi ini" kata Ambrosia.

"tentu a.. a.. ampillah, pilihlah. gratis" kata Marvin

"wow serius? Anda sangat murah hati" puji Ambrosia "tanaman Mint itu aku mau". Marvin menunjuk salah satu pot tanaman mint. Ambrosia mengangguk.

"o..oke ini buat detektif" kata Marvin mengangkat pot tanaman itu.

"aku ke apartemenmu sekarang ya" kata Ambrosia bersemangat.

"bi.. bi.. biar aku saja yang antarkan ke apartemmu de.. de.. detektif" kata Marvin bergegas.

"wow. oke" Ambrosia kegirangan. Semenit kemudian bel berbunyi tampaknya. Marvin sudah didepan pintu apartemennya. Ambrosia membukakan pintu.

"i.. i.. ini tanaman yang kau minta" Marvin menyodorkan pot tanamn mint berjenis spearmint itu.

"iya terima kasih, masuklah tuan.. " Ambrosia mempersilahkan Marvin masuk.

"ta.. ta.. tapi aku bau keringat, baru gym belum sempat ma.. ma.. mandi."

"ala… its oke.. come on.. in" kata Ambrosia menarik Marvin masuk. "aku hanya mengajamu minum kopi dan cemilan, tuan Marvin"

Ambrosia meletakkan pot tanaman itu dibalkon menjadi satu-satunya tanaman yang mengias balkonnya.

"wow.. a.. a.. apartemenmu sangat sepi" Marvin melihat hanya ada dua sofa dan televisi besar dilantai, belum terpasang pada backdrop TV. Di sudut lain ada beberapa kotak barang masih tersegel rapi.

"yeah begitu pindah aku belum sempat mengeluarkan barang-barangku" Ambrosia menjelaskan sambil menyiapkan meja lipat yang disiapkan didepan sofa.

"silahkan duduk tuan Marvin" kata Ambrosia meletakkan minuman kaleng dan pizza yang sempat dia beli juga beberapa buah apel menjadi sajian yang memenuhi meja lipatnya.

"pa.. pa.. panggil aku Marvin saja"

"ooo.. oke Marvin, silahkan" Ambrosia mempersilahkan Marvin menikmati sajiannya.

"te.. te.. terima kasih, detektif" marvin mengambil apel dan pisau, mulai mengiris lalu menggigitnya.

"Ambrosia panggil namaku saja" kata Ambrosia menenggak minuman kalengnya.

"maaf tadi aku sempat melihatmu telanjang dada. Kau memiliki beberapa bekas luka. Apa kau seorang tentara?" Tanya Ambrosia lugas. Marvin tertegun sejenak. Sekali lagi digigitnya apel itu. lalu diletakkannya kembali ke piring buah.

"hmm.. dulu aku sempat menjadi tentara. Ta.. ta.. tapi aku mengundurkan diri. Dan pindah ke kota ini" Marvin membuka satu minuman kaleng dan meminumnya.

"be.. be.. beberapa peperangan memberiku bekas luka dan gagap ini" jelasnya.

"wow.. perang memang merugikan" kata Ambrosia.

Marvin menatap tajam pada Ambrosia dengan pisau masih digenggamnya. Ambrosia yang menoleh, memperhatikan mata pisau yang mengarah padanya.

"aku butuh pisau itu" kata Ambrosia merebut pisau dari tangan marvin lalu mengiris apel dan memakannya.

"se.. se.. sebaiknya ambro, tidak sembarangan mengajak orang asing masuk apartemen" kata Marvin dengan nada suara yang lebih berat.

"kau kan bukan orang asing. Di kota yang keras ini. Ada orang yang mau memperkerjakan anak malang seperti Indra. Aku yakin kau pria baik-baik. Marvin." Kata Ambrosia tersenyum manis. Deretan gigi putihnya menghiasi senyumannya. Tercium aroma apel saat Ambrosa tertawa. Akhirnya keduanya larut dalam obrolan yang semakin menarik.

"A.. A.. Amm.. terima kasih ya aku harus kembali ke apartemenku. Ini sudah larut" kata Marvin berpamitan.

"yeah tentu" saat Ambrosia mencoba berdiri kaos longgar yang dia kenakan ternyata tertindih dudukan Marvin. Sehingga sekonyong-konyong tubuh Ambrosia terplanting kearah Marvin tepat jatuh menindih dada Marvin. Dengan reflek Ambrosia membenarkan posisinya. Dan tersenyum malu.

"maaf"

"eee…maaf"

Keduanya kompak saling meminta maaf. Tetapi suasana menjadi canggung.

"a.. a.. aku sebaiknya pulang ya. bye" kata Marvin yang berpamitan dan menghilang setelah menutup pintu.

Ambrosia tertegun. Baru kali ini dia bisa begitu akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Ada sesuatu yang membuatnya seakan sudah kenal dengan Marvin lebih lama.

"hmm.. pria yang menarik" pikir Ambrosia merebahkan diri dan mulai tenggelam dalam alam mimpinya.

Sementara Marvin yang masih tak habis pikir. Baru kali ini dia dekat sekali dengan calon korbannya. Dan ada yang salah. Setelah sekian lama ada debaran aneh yang dia sukai. Seakan bisa dirasakan jantungnya berdebar setiap kali mengingat Ambrosia. Diraba perlahan dadanya yang masih terasa bayangan gadis cantik itu. Senyuman dan simpatik yang diberikan Ambrosia. Otak Marvin kini mengalir hormon-hormon Dopamin dan oksitosin. Seluruh tubuhnya dibanjiri endorphin dan serotonin. Semalaman dia tak bisa tidur karena terlalu bersemangat. Memikirkan semua. Dilema yang kini menyerangnya.

Marvin mengingat rencana yang telah disusunnya. Ketika di basement seharusnya waktu yang tepat menembak Ambrosia dengan Sebuah semprotan racun mematikan seharusnya cukup untuk membunuh wanita cantik itu. tetapi entah apa yang menahannya. Dia terlalu terpesona pada kecantikan wanita itu. dia biarkan debaran jantungnya membuatnya terpaku. Dan membuat kesempatan itu berlalu.

Bahkan ada kesempatan lain, dia dipersilahkan masuk ke apartemen Ambrosia. Tanpa membuat rencana apapun dia berhasil masuk apartemen korbannya. Dia sudah menyiapkan racun yang cukup dibubuhkan pada minuman Ambrosia. Berulang kali dia punya kesempatan itu. tetapi sekali lagi Marvin mengurungkan niatnya. Atau pada saat dia bisa saja mematahkan leher wanita itu ketika tak sengaja terpelantik ke pelukannya. Itu hal yang mudah saja. Tetapi Marvin mengurungkannya lagi.

"apa yang salah denganku" dipukulnya perlahan kepalanya. Sambil masih memikirkan kecerobohannya, sesekali senyuman kecil menghiasi bibirnya. Dibukanya letop dan mulai mengetik sandi yang membawanya memasuki deepweb. Ada beberapa chat dari calon kliennya yang mengantri meminta jasanya untuk melakukan pembunuhan lagi.

"yeah.. kita lihat siapa yang harus aku bunuh?" bisik Marvin

Beberapa menawarkan bayaran berkali lipat dari bayarannya yang biasa dia terima. Tetapi tampanya malam itu dia kehilangan selerah membunuhnya. Bahkan dia tak bisa membuat plan action yang biasa dia buat sebelum menerima pekerjaannya.

"aah… membosankan" Marvin mengetik sebuah program yang membuatnya keluar dari deepweb. Dicabutnya perangkat khusus yang dibuat untuk mengacak alamat internet protocolnya. Marvin mulai membuka media social instagram. Entah sudah berjam-jam dia stalking instagram Ambrosia. Beberapa foto dan video Ambrosia di copynya. Mata Marvin melotot melihat foto Ambrosia ketika sedang berlibur ke sebuah pantai. Catatan Lokasi menunjukan beach club di pulau Bali. Ambrosia berfoto dengan pose berdiri, menyilangkan kakinya memakai bikini putih yang menampakkan tubuh sexy sempurnanya. Background suasana pantai. Marvin susah payah menelan salivanya. Ketika melirik simbol like tertera jumlah likenya mencapai puluhan juta. Terbersit rasa marah dan cemburu. Karena semua orang yang me-like postingan itu berarti sudah melihat tubuh indah Ambrosia.

"sial.. aku lacak kalian semua… tapi ini terlalu banyak.. aaah.. apaan sih" Marvin mematikan letopnya. Alaram berbunya jam 5 pagi. Tampaknya dia benar-benar memiliki energy yang tak ada habisnya. Marvin meraih sepatu jogging dan keluar apartemennya.

Jalanan masih sangat sepi. Marvin berlari sekuat tenaga hingga kelelahan. Saat hendak kembali ke apartemennya tak sengaja dia melihat Ambrosia sudah menyalakan mobil dan pergi. Marvin melirik arlojnya.

"ini baru jam 6 pagi dia sudah berangkat kerja? Rajin banget" kata Marvin dalam hati. memikirkan Ambrosia membuatnya bersemangat lagi dan dengan tergesa-gesa dia kembali ke apartemennya.

"apa yang salah denganku.. memang aku sudah tak bermimpi buruk melihat kakek mafia itu lagi. Namun aku malah tak bisa tidur" gerutu Marvin.

Tak lama kemudian, Marvin membasahi tubuh polosnya di bawah Shower. Pikirannya masih dengan dilemanya. Tetapi hatinya sudah menolak untuk toleransi. Selama ini dia menyukai apa yang dia kerjakan. Menerima permintaan kliennya, membuat rencana dan persiapan yang detail dan sempurna lalu membunuh dan menghilang seolah tak pernah ada. Bahkan sering dia menikmati ketika korbannya meregang nyawa dan mati kesakitan oleh racun yang bahkan dia racik sendiri dengan teliti. Apa lagi bila korbannya adalah para mafia yang memang target balas dendamnya. "sudah aku putuskan" kata Marvin tegas. "aku akan hiatus"