webnovel

Sang Pembunuh Bayaran

Mercury adalah seorang pembunuh bayaran yang seperti hantu. bekerja sendiri. bahkan tak ada yang tahu identitasnya. membunuh tanpa ada yang menyadari, korbannya kebanyakan adalah para pelaku kejahatan yang memang ditarget untuk membalas dendamnya. tetapi ada seorang agen intelejen mencium identitasnya. terobsesi menangkapnya. agen intelijen itu adalah Ambrosia. dalam situasi yang tak terduga Ambrosia malah jatuh cinta pada Marvin. sosok sebenarnya dari Mercury. Ambrosia yang belum mengetahui identitas asli Mercury tak menyadari bila Marvin kekasihnya adalah Mercury sang pembunuh bayaran yang selama ini dikejarnya. akankah Mercury akhirnya tertangkap? bagaimanakah kisah cinta keduanya?

erica22 · Urban
Zu wenig Bewertungen
11 Chs

Hiatus Part 2

Mario melotot melihat layar letopnya. Pembunuh bayaran yang bernama Mercury itu telah hilang. Deepwebnya pun sudah dihapus tak berjejak seakan memang tak pernah ada.

"kenapa dia menghilang?, Eriiick" teriak Mario. Asistenya mendekat

"tuan memanggil saya?" Tanya Erick pada bosnya

"lihat Mercury menghilang. Aku kehilangan dia lagi" Mario tampak frustasi menunujukkan layar letopnya.

"tuan bukankah banyak pembunuh bayaran yang lain? Kita bisa membayar lebih murah lagi" kata Erick menenangkan bosnya.

"aku ingin Mercury cari dia. Tak peduli biayanya berapapun" kata Mario melemparkan letopnya tepat mengenai kepala Erick.

"ba.. ba.. baik bos" jawab Erick memegangi letop dan kepalanya yang sakit terkena lemparan letop.

"dengar aku ingin kau selidiki siapa Mercury dan tangkap dia" perintah Erick berbicara lewat HPnya.

Sudah berminggu-minggu Ambrosia melacak jejak Mercury. Bahkan dengan menghilangnya deepweb Mercury semakin membuat penyelidikannya menuju jalan buntu.

"apa yang terjadi kemana si Mercury ini?" pikir Ambrosia "dia termasuk pembnuh yang paling aktif. Kenapa kini malah menghilang?" kata Ambrosia.

"bukankah bagus jika dia tak beraksi lagi. Maka tak ada korban lagi" kata Henry.

"aah ini membuatku kesal" kata Ambrosia melempar berkas yang dibaca ke meja kerjanya.

"kau mau kemana?" Tanya Henry ketika melihat pimpinannya mulai memakai jas dan melangkah keluar kantornya.

"keluar" jawab Ambrosia lesu.

"ada beberapa kasus yang harus diselidiki" kata Hanry menyodorkan berkas kasus baru.

"bukankah kau mau naik jabatan lagi. Pecahkan kasusnya. Ini perintah" kata Ambrosia meninggalkan Henry yang masih terkejut.

"selamat pak, jabatanmu pasti akan segera kembali tampaknya" sindir Marcos. Henry menarik nafas lega.

"semoga segera terjadi. Nih ayo kita kerja" kata Henry meletakkan tumpukan berkas pada meja Marcos. Marcos menggaruk kepalanya.

"banyak bener belakangan kasus criminal. Mulai Mercury berhenti beroperasi seakan para penjahat itu bebas beraksi" cerocos Marcos.

"jadi kau setujuh bila ada pembunuh bernama Mercury ini?"

"jelaslah dia nyata. Bu Ambrosia membuktikan dengan jelas, hanya saja masih kurang kuat bukti itu." kata Marcos

"Mercury melulu. Aku rasa dia hanya khayalan wanita galak itu" kata Henry kesal.

"pak ada laporan penemuan mayat di sungai" kata Darius melaporkan setelah mendapatkan telepon.

"gila.. yang ini saja belum terpecahkan ada kasus lagi?" kata Henry kesal.

"mayat wanita tanpa busana dengan luka sayat disekujur tubuhnya. Ini kejahatan serius pak" kata Darius menjelaskan kembali.

"saat begini pergi kemana bos mu itu!" kata Henry marah

"bu Ambrosia? Bukankah beliau bilang keluar barusan" kata Darius

"ya sudah Darius kita ke TKP, Marcos cek berkas kasus ini oke" perintah Henry pada Marcos.

"okeee.." Marcos menarik nafas berat.

Marvin mendengarkan lagu dari headsetnya. Musik Axwell more than you know. Seorang pelayan menghantarkan makan siangnya. Lalu dia menyantapnya. Siang itu cuaca kota cukup panas. Tampak wanita cantik berambut coklat lurus terurai memasuki restoran. Marvin melihatnya sekilas. Ambrosia. Setiap nama itu terlintas dipikiran jantungnya berdebar semakin kencang. Ambrosia memakai cape blazer warna hitam saat mengangkat tangannya tampak lengan putih mulusnya. Wanita tinggi itu lebih mirip model di banding seorang detektif. Kali ini mata mereka beradu. Marvin melemparkan senyumannya dan Ambrosia membalasnya.

"hai.. Marvin. Kau sedang makan siang? Boleh aku bergabung?" Tanya Ambrosia begitu sadar ada Marvin di restoran itu.

"te.. te.. te.. tentu silahkan" kata Marvin memaksa lamunannya buyar

"kau tidak bekerja?" Tanya Ambrosia sambil menikmati hidangan yang dipesannya

"a.. a.. ada Indra di toko"

"ooo…"

"ke.. ke.. kenapa wajahmu tampak kesal?" Tanya Marvin

"salah satu kasus yang aku tangani. Sedang menghadapi jalan buntu. Ini adalah kasus yang sudah aku selidiki lima tahun ini. Entah apa yang terjadi pelaku menghilang begitu saja. Tanpa jejak" curhat Ambrosia.

"ooo… kasus apa itu?" Tanya Marvin

"pembunuh bayaran bernama Mercury. Sudah beberapa bulan ini tak bisa ku deteksi aktifitasnya. Seakan dia sedang hiatus" kata Ambrosia

"baguskan dia tak lagi membunuh orang. Kenapa kau sedih?" Tanya Marvin

"Mercury membuat aku harus turun jabatan. Bila aku berhasil menangkapnya karierku akan kembali. Aku terdampar di kota S ini karena dia. Dia satu-satunya kasus yang sampai kini belum aku pecahkan bahkan aku tak tau dia ini orang atau organisasi. Dia masih seperti hantu. Tak teridentifikasi" Ambrosia mengiris daging steak dan mengunyahnya dengan kesal.

"orang ini ahli racun sangat berbahaya. Bahkan temanku juga ada yang menjadi korbannya. Temanku juga ahli racun yang menjadi sumber informasiku. Mercury membunuhnya agar aku buta informasi tentang racun. Aku marah sekali setiap mengingat namanya"

"yaaa… sa.. sa.. sangat sulit mengejar target dalam gelap" kata Marvin.

"ooo iya aku mau menyervis printer di apartemanku. Di toko ada Indra bukan?" Kata Ambrosia

"Biar aku cek nanti."

"wah baguslah.. nanti sore kuantarkan ke apartemenmu" kata Ambrosia menyelesaikan suapan terakhirnya. Lalu berpamitan setelah membaca chat di HPnya.

Bel berbunyi. Marvin membukakan pintu tampak Ambrosia membawa printer rusaknya.

"ma.. ma.. masuklah" kata Marvin mempersilahkan Ambrosia masuk.

"wow.." Ambrosia terkagum memperhatikan dekorasi Apartemen Marvin yang bertema monokrom. Semua perabotan di tata rapi dan bersih.

"ke.. kemarikan pinternya akan aku cek kerusakannya." Kata Marvin mengambil printer dari tangan Ambrosia dengan lembut.

"apartemenmu amazing" kata Ambrosia terpukau.

Marvin tersenyum lalu mulai memngecek printer itu. sementara Ambrosia semakin kagum ketika melihat robot vacuum cleaner berjalan membersihkan lantai dapur.

"kau punya smart robot untuk membersihkan lantai?aku ingin beli juga" kata Ambrosia mengecek robot pembersih itu.

"yeah.. lu..lu.. lu.. lumayan bersih" sahut Marvin tetap konsen pada printer.

"A.. Am.. Am.. Ambrosia.. printermu kemasukan koin. Itu yang menghambatnya bekerja." Kata Marvin menunjukan koin yang barusaja menyumbat jalan masuknya kertas pada printer.

"ooo.. good.. tanks.. berapa ongkos servisnya?" Tanya Ambrosia duduk di sebelah Marvin mengecek printer.

"ta.. ta.. tak perlu. P.. p.. Printer ini tidak rusak kok" kata Marvin

"oya?.. terima kasih" Ambrosia terpaku saat memandang Marvin menyibak rambut depan yang menutupi wajahnya. Semakin dilihat semakin dekat wajah Marvin semakin jelas ketampanannya. Manik matanya biru terang. Alis tebal dan Mata yang sendu memandang lembut pada Ambrosia. Bulu matanya yang panjang melengkapi ketampanannya. Dari proposi wajah dan Hidung mancungnya jelas dia keturunan ras campuran eropa asia. Bibirnya sedikit tipis bila tersenyum tampak lesung pipinya. Ambrosia mendekatkan wajahnya pada Marvin.

"Marv.. " panggil Ambrosia sedikit mendesah

"hmm… " gumam Marvin yang ikut terpesona melihat wajah jelita yang begitu dekat di hadapannya.

"haciik.. haciik.. haciik.." Ambrosia berulang kali bersin.

"ke..ke.. kenapa Amb?" Marvin menyerahkan sekolat tisu pada Ambrosia.

"aku alergi serbuk sari bunga".

Marvin menlihat ke balkon. Ada beberapa tanaman yang berbunga. Seketika itu dia memotong setiap bunga dan membuangnya ke tempat sampah.

"ma.. ma.. maaf di sini ada beberapa tanaman berbunga. Akan aku singkirkan" kata Marvin mengecek kotak obatnya.

"i.. i.. ini minumlah, o.. o.. obat anti alergi" kata Marvin menyodorkan sebutir pil dan segelas air. Tanpa ragu Ambrosia meminumnya dan beberapa menit alerginnya reda.

"terima kasih. Bagaimana bisa kau tahu obat yang tepat" kata Ambrosia.

"wa..wa.. waktu masih menjadi tentara a.. a.. aku mendapatkan sedikit ilmu kedokteran"

"wow.. kau mengagumkan" puji Ambrosia. Ambrosia kagum sampai Marvin rela membuang bunga-bunga disekitarnya.

"Am.. amb.. printernya mau dicoba? Di apartemenmu?" Tanya Marvin

"oke ayo ke apartemenku" kata Ambrosia mengangkat printernya. Tetapi Marvin menawari untuk membawakannya. Setelah dirasa printernya sudah digunakan lagi Marvin berpamitan kembali ke apartemennya.

"Marv… tunggu" kata Ambrosia menyerahkan sekotak biskuit pada Marvin. "terimalah. Sebagai ucapan terima kasihku" kata Ambrosia

"terima kasih." Kata Marvin menerimanya dengan senang. Marvin membuka pintu dan hendak berlalu. Tetapi Ambrosia menarik lenganya dan mengecup pipi Marvin dengan cepat.

"terima kasih" kata Ambrosia manja. Lalu dia menutup pintu apartemennya dengan cepat. Marvin masih terkejut, ada perasaan senang terselip. Memaksanya tersenyum lebar. Tetapi semakin terkejut ketika pandangannya kini beralih pada sosok Indra yang sedang berdiri didepan pintu apartemenya.

"bos.. barusan Ambrosia mencium pipimu?" kata Indra melotot kesal.

"yeah.." Marvin meringis

"yaa… bos.. bahkan kau tahu kalau aku naksir detektif itu. kau merebutnya dariku" protes Indra.

"ca.. ca.. carilah gadis yang seumuran denganmu, de.. de.. detektif itu terlalu tua untukmu" kata Marvin masuk apartemennya melewati Indra yang masih protes.

"bagaimana caranya kau bisa merebut hatinya?" Tanya Indra sudah mulai pasrah karena bosnya adalah saingan yang berat.

"entahlah ka.. ka.. karena kita bertetangga" jawab Marvin meletakkan kotak biskuit di meja.

"bos.. biskuit ini dari Ambrosia?.. minta dong" kata Indra seraya mengambil biskuit itu.

"eh.. hush… hush.. ma.. ma.. makan biskuit yang itu saja. Yang ini hanya untuk aku" Marvin menepis tangan indra.

"bos.. pelit amat" gerutu Indra memakan biskuit lain yang selalu tersaji di meja tamu. "aku bosan makan biskuit ini. Setiap kali ke apartemenmu bos" kata Indra sewot. Marvin tersenyum menang.

"a.. a.. apa yang membawamu ke sini?" Tanya Marvin

"Bos.. aku mengantarkan paketanmu, beberapa hari ini kau tak pernah ke toko. Ini sudah menumpuk di toko" kata Indra menyerahkan paketan itu.

"t.. t.. terima kasih" kata Marvin menerima paketannya.

"fine bos.. kalau begitu aku pulang. Ini sudah larut" kata Indra berpamitan.