webnovel

Sajadah Merah

Cinta pertama ketika masih kecil ternyata trsimpan hingga remaja, Firanda firdaus bertemu dengan Ivan Maulana Rizky ketika usianya masih mengingat 8 tahun, sejak saat itu dia memegang teguh janji yang ia ucapkan sendiri bahwa dirinya hanya akan menikah dengan pria itu, lalu bagaimana kalau dalam 10 tahun tidak bertemu ternyata pria itu menggunakan nama yang berbeda yaitu Mizuruky Ivan seorang Komisaris Mizuruky corp sekaligus majikan ibunya, masihkah dia mengenali pria pujaan hatinya yang telah memberi cindra mata berupa sajadah mereh dan bersedia menikah dengannya? ataukah menolak pernikahan karena masih menunggu sedang yang ditunggu ternyata Mizuruky Ivan? baca selengkapnya, jangan lupa memberi reviuw bintang lima

Firanda_Firdaus · Urban
Zu wenig Bewertungen
220 Chs

Episode 15

Sajadah merah episode 15

Debaran jantung tak menentu menjadi masalah tersendiri bagi seorang Firanda Firdaus ketika sang suami membawanya ke dalam kamar dan mengunci kamar tersebut, tubuhnya terasa lemas hanya dengan membayangkan benda milik pria itu akan ditunjukkan terhadapnya dengan posisi sudah berdiri tegak, mungkinkah ini sudah waktunya untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang istri? Melayani suaminya.

"Apakah aku harus berbaring?" tanyanya pelan.

Maulana menoleh kebelakang, ia tersenyum melihat ekpresi ketegangan istrinya. Sebenarnya dengan posisi apapun bisa saja, bukankah hanya melihat pak tani bertopi dipenuhi rumput berdiri tegak? Kenapa harus membingungkan posisi?

"Bebas, kau bisa dengan posisi apapun."

Gadis itu mengangguk, perlahan ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur lalu duduk di tepi tempat tidur tersebut. Berulang kali dia menarik napas lalu menghembuskan perlahan, tubuhnya panas dingin, kepala tertunduk tanpa berani memandang.

"Aku ganti baju dulu."

Fira semakin tegang mendengar sang suami berpamitan untuk berganti baju, dalam pikirannya, suaminya itu hanya akan mengenakan jubah tidur, hingga akan lebih mudah untuk melakukannya.

"Apakah "itu" besar?" tanyanya dengan wajah memerah.

Maulana menaikkan alis mendengar pertanyaan sang istri, ia menoleh kebelakang. Tangannya masih memegang kancing kemeja hendak melepasknya,"Sangat besar ketika sudah berdiri tegak, tapi aku yakin kalau goamu juga muat," balasnya. Setelah itu, ia kembali melepaskan kancing kemejanya dan mengganti dengan piyama tidur.

Pria itu mengambil remot kontrol lalu melangkah menuju istrinya, bibirnya tersenyum melihat gadis itu menunduk.

"Pegang ini."

Fira tersentak mendengar suara suaminya menyuruhnya memegang sesuatu, pria itu berdiri di depannya, mungkinkah dia disuruh memegang benda milik sang suami yang sudah berdiri tegak. Perlahan ia mengulurkan tangannya kedepan dengan mengukur tinggi posisi dan posisi suaminya.

Maulana menahan tawa melihat gadis itu seperti meraba-raba, ia pun memegang tangan sang istri lalu meletakkan remot kontrol tersebut di atas telapak tangan istrinya.

Fira terkejut merasakan benda yang ada di tangannya, ia pun mendongak melihat benda tersebut.

"Remot kontrol?" beonya.

"Memangnya apa lagi?" tanya Maulana menahan tawa. Fira melotot tak percaya melihat benda tersebut berada di tangannya, ia memperhatikan penampilan sang suami. Pria itu masih berpakaian lengkap hanya sekarang menggunakan piyama tidur saja, bukankah tadi dirinya akan ditunjukkan pak tani bertopi dipenuhi rumput?

"Kenapa aku harus memegang remot kontrol? Apakah aku harus menekan salah satu tombol ini untuk membuka piyama tidurmu?" tanya Fira bingung.

Ha?

Sekarang giliran Maulana yang kebingungan, kenapa gadis itu selalu mengajukan pertanyaan yang tidak masuk akal?

Apakah baju yang dia kenakan terlihat memerlukan remot kontrol untuk membukanya? Ia menyerahkan remot tersebut untuk menyalakan layat tak kasat mata yang terpasang di dinding kamarnya, dalam layar monitor tersebut akan menunjukkan sawah siap panen. Di sana juga akan menunjukkan beberapa orang-orangan sawah yang sudah berdiri tegak dengan ukuran sedikit besar.

"Sayang, bukankah kau ingin melihat orang-orangan sawah?" tanyanya memastikan.

Dahi Fira berkerut, ia menatap wajah rupawan suaminya. Pria itu terlihat kebingungan sama dengan dirinya. Tapi sejak awal dirinya tak pernah ingin melihat orang-orangan sawah dan tidak pernah membicarakan orang-orangan sawa.

Gadis itu bangkit dari posisi duduknya lalu memandang suaminya tidak mengerti,"Siapa yang ingin melihat orang-orangan sawah?"

"Bukankah kamu selalu membicarakan orang-orangan sawah, jadi ku pikir kau sangat ingin melihatnya. Lagi pula, bukankah kau sangat penasaran dengan orang-orang sawah yang berdiri tegak? Remot control itu untuk membuka layar monitor tak kasat mata, kalau kau menekan tombol hijau tersebut. Layar monitor akan muncul dengan jelas dengan ukuran besar, aku sengaja membuat untukmu agar kau bisa melihat orang-orangan sawah sepuas hati tanpa harus pergi ketempatnya," jelas Maulana.

"Aku tidak pernah ingin melihat orang-orangan sawah! Lagi pula untuk apa juga melihat orang-orangan sawah yang berdiri tegak?!" bentak Fira.

"Sayang, kenapa kau selalu marah? Kalau begitu, apa itu pak tani bertopi dipenuhi rumput yang kau maksud kalau bukan orang-orangan sawah?" tanya Maulana berusaha sabar.

Fira memalingkah wajahnya, bagaimana menjelaskan otak mesumnya pada sang suami kalau sebenarnya yang dimaksud adalah "benda" milik suaminya itu.

"Sudalah, aku tidak mau bicara lagi denganmu! Kau ini selalu saja tidak mengerti maksud ucapanku," balas gadis itu kesal. Ia membalikkan tubuh lalu merangkak naik keatas tempat tidur dan membaringkan tubuh dengan posisi miring dan mentupi seluruh tubunya.

Lagi-lagi dirinya disalahkan, pria itu menghela napas melihat sikap aneh sang istri. Selalu saja marah tanpa alasan, ia pun menyerngit merasakan nyeri di hatinya kembali menyerang. Dengan langkah kaki timpang Maulana melangkah menuju bufet lalu mengambil obat pereda rasa sakit, setelah itu ia melangkahkan kaki menghampiri sang istri lalu membaringkan diri di samping tubuh gadis itu.

"Istriku, menurutmu Farhan itu orang yang seperti apa?" tanya Maulana. Pandangannya menerawang ke langit-langit, entah kenapa ia merasa kalau suatu hari nanti dirinya pergi dan tidak akan pernah kembali, maka adik tirinya itu sangat cocok untuk menggantikan dirinya menjadi imam untuk sang istri.

Fira melepaskan selimut yang menutupi tubuhnya, ia membalikkan tubuh dan menghadap suaminya,"Dia baik juga ramah, dia juga lumayan tampan. Memang kenapa?" tanyanya heran.

"Tidak apa, ayo tidur. Besok kamu harus kuliah bukan?" balas Maulana mengalihkan pembicaraan.

"Baiklah." Fira segera merapatkan tubuhnya pada suaminya lalu memeluk tubuh kekar tersebut, terkadang ia penasaran bagaimana rasanya menyentuh benda milik sang suami tersebut tapi tak berani, takut kalau suaminya akan marah.

**

"Hah…."

Pagi-pagi Farhan sudah menghela napas panjang, ia sangat prustasi hanya karena presentasi mengenai proposalnya di depan kakak tiri. Menurutnya pria itu terlalu sempurna dalam menilai segela sesuatu, dia juga sangat bijak dalam mengambil keputusan. Bisnis tetaplah bisnis, keluarga tetaplah keluarga, antara keluarga dan bisnis tidak bisa dicampur adukkan. Kalau hari ini dirinya tidak mampu presentasi dengan baik dan benar, bisa jadi proposal miliknyan akan ditolak tender itu akan jadi milik orang lain.

"Farhan."

Pria itu melirik sang ibu, wanita itu tersenyum seakan memberi semangat untuk dirinya agar tidak gugup,"Percaya pada kemampuanmu juga perusahaanmu, ibu yakin kau mampu memenangkan tender tersebut."

"Tapi bu, ibu tahu sendiri bagaimana kak Ivan. Dulu, aku pernah ingin bekerjasama juga dengannya, tapi gagal hingga perusahaanku harus kelihangan milyaran rupiah," balas Farhan semakin prustasi.

"Nak, coba kamu sering baca novel bertema CEO atau sinetron begitu. Kamu akan banyak menemukan pembelajaran di sana," saran Cetrine. Pria itu sweedrop mendengarnya, kenapa harus mengusulkan membaca novel atau menonton sinetron? Bukankah lebih baik belajar lagi tentang menejemen.

"Ibu, kau terlalu banyak nonton sinetron. Aku berangkat dulu." Farhan segera bangkit dari tempat duduknya lalu meninggalkan ibunya tanpa sarapan, ia bahkan tak perduli dengan tatapan heran dari sang ibu.

Terimakasih masih membaca sajadah merah…

Ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk, jangan lupa berikan reviuw serta fotenya. Ketika memberikan reviuw atau komentar, hendaknya hanya berhubungan dengan novel ini saja, terimakasih.