Bali
Elisa
Yang membuatku makin bersedih hanyalah sisa-sisa puing kesabaran. Ragaku lelah menangis. Mataku sembap dengan garis hitam melingkarinya. Betapa besar kesedihan yang aku tanggung. Menjalani hidup kini menjadi satu-satunya hal yang membuat tubuhku gemetar ketakutan.
Kehilangan orang yang paling aku sayangi membuat kaki ini seakan lumpuh. Rasanya aku ingin mati saja, menyusul orang-orang tersayang secepatnya. Tak perlu susah payah memikirkan hari esok.
Aku belum jadi apa-apa, masih jauh dari sukses. Namun, kenyataan pahit silih berganti menghampiri. Ayahku, satu-satunya orangtua yang aku miliki sejak kecil, dikabarkan meninggal.
Saat mendarat, roda pesawat yang ditumpangi ayahku tergelincir, lalu begitu saja mematahkan bagian tengah badan pesawat hingga tak berbentuk. Beruntung hanya hanya dua korban. Sayang itu bukan keberuntunganku.
Kecelakaan itu malapetaka bagiku: ayahku menjadi satu dari dua korban bernasib malang itu. Meninggal di tempat. Sedangkan korban lain koma di rumah sakit di kotanya.
Dan sekarang aku benar-benar takut menjalani kehidupan sendirian. Tanpa sandaran. Meskipun selama ini ayahku hanya meluangkan hari weekend untukku, aku tak khawatir. Setidaknya aku masih bisa bersandar. Aku tidak punya ibu sejak kecil. Kelahiranku seakan menjadi kesialan bagi ibuku. Aku tidak pernah diajari rasanya mempunyai ibu. Namun, ada hal-hal yang membuatku masih bersyukur. Walaupun bukan ibu kandung, aku sempat merasakan kasih sayang ibu, meskipun hanya sebentar. Dan kini perempuan yang menjadi ibu tiriku itu terbaring, mempertahankan nyawa di rumah sakit. Iya, ibu tiriku korban yang satunya, selain ayahku.
Aku terus menangis. Kepedihanku tak terbayarkan apa pun. Aku kecewa campur menyesal karena tak berada di sisi kedua orangtuaku saat mereka mengalami kemalangan itu.
"Ka Elisa" Suara lembut memanggil namaku. Aku buru-buru menghapus air mata yang sedari tadi mengalir, kemudian menoleh ke arah pintu. Sejak tadi aku hanya memandang nanar ke hamparan taman yang terlihat dari jendela kamar. Orang yang memanggilnya masuk dengan tenang ke kamarku. Anika namanya. Dia baru saja datang dari Bandung dan matanya tak kalah sembap dengan mataku. Dia pasti merasakan sakit yang sama, meski kejadian seperti ini pernah menghampiri hidupnya. Waktu mengalami pertama kali mungkin rasanya tak bisa bernapas. Mungkin kejadian pertama itu membuatnya tahan banting saat menghadapi kemalangan kali ini.
Anika saudara tiriku. Gadis itu berjalan mendekat. Ketika ia merentangkan lengan ingin memelukku, aku menggeser badan, tanda penolakan. Tatapanku kosong.
"Keluarlah. Aku ingin sendirian," ucapku lemah. Selemah itu ragaku saat ini.
Mata bulatnya membesar, kaget dengan usiranku. Dia tahu aku masih terbawa emosi. Makanya ia memilih diam, hanya menatapku dengan kecewa. Aku adalah saudara yang paling mengerti dirinya. Namun, sekarang gadis ini menolak dirinya.
"Keluar!" kataku menghardik, seolah kehilangan akal sehat. Sungguh, aku membentak tanpa penyesalan. Nadaku yang cukup keras langsung menggema ke seluruh kamar. Saat sampai ke telinga Anika, hardikan itu mungkin terasa seperti tumbukan yang menyakiti hatinya.
"Maaf," ujar Anika
Dengan langkah enggan, Anika berbalik dan bersiap meninggalkanku sendirian.
"Pembawa sial!" Ucapanku itu membuat Anika kembali berbalik.
"Apa?" ucap Anika, mencoba meyakinkan pendengarannya.
"Pembawa sial! Kalau saja Ayah tidak pergi menyusulmu ke Bandung, semua ini tidak akan terjadi!" cecarku membabi buta. Kali ini harunya terdengar jelas di telinganya.
To Be Continued