webnovel

Revenge Mr.A

Apakah ada yang lebih menarik dari sebuah pembalasan dendam? Tidak ada. Semua kosong. Dendam, ambisi, obsesi semua hanyalah nafsu yang bisa membuat manusia terjerumus. Steve terjebak dendam masa lalu ayahnya, mati terbunuh dan menjadikan dendam itu sebagai alasannya menjadi seorang detektif demi pelampiasannya. Sanggupkah Steve mencari pembunuhnya? Atau ia hanya terjebak dalam dendam yang ia buat sendiri?

Uwie_bee · Horror
Zu wenig Bewertungen
18 Chs

You changed

Ini hari terakhir pembacaan putusan sidang kasus pembunuhan Tuan Richardson. Steve bersedia hadir. Tahu kenapa ia akhirnya menghadiri sidang? Ini semua karena Jane. Ya, Jane yang membujuknya dengan kata-kata halus dan penuh semangat.

Jane juga yang membantu Steve keluar dari bayang-bayang kematian ayahnya. Dendam tak akan bisa membuat orang tenang, itu katanya.

Steve duduk berdampingan dengan Ibunya. Ia memilih menghindar menjadi saksi atas terbunuhnya sang Ayah tercinta. Mengapa? Karena ia tahu, si pembunuh pasti akan mendapat keringanan hukuman karena ia masih di bawah umur.

Si pembunuh tampak menundukkan kepalanya selama persidangan. Ia terlihat menangis dan mengusak airmatanya. Steve berusaha menahan emosi dengan mengepalkan tangannya. Ia pun menangis. Ia mengingat lagi kematian Ayahnya yang mengenaskan.

"Putusan sidang terakhir atas kasus meninggalnya Tuan Richardson, setelah dibacakan dan didengarkan berita acara pemeriksaan...

Suara hakim terjeda. Seorang remaja mengangkat tangan dan berdiri diantara para pengunjung sidang.

"Tunggu!! Aku ingin mengajukan pemberatan hukuman pada pembunuh keji ini," tunjuk Steve pada anak kecil yang saat ini telah menjadi terdakwa.

"Maaf, Tuan Steve sudah tidak bisa lagi memberikan kesaksian. Seluruh hasil kesaksian sudah kami rangkum dan kami teliti pada sidang kemarin," jelas hakim.

"Tapi, aku minta padamu Tuan hakim yang terhormat. Mohon berikan hukuman padanya yang lebih berat. Kalau perlu, hukum mati sekalian."

Ruang persidangan gaduh. Steve menaik turunkan bahunya. Ia menatap datar pada hakim dan melirik sejenak pada anak kecil itu.

"Steve!!" Ibu berteriak.

"Terdakwa dinyatakan menderita skyzofrenia. Dan dia harus dirawat di panti rehabilitasi. Mengenai hukumannya bisa ditangguhkan ketika ia telah berubah," ujar pembela.

"Ini tidak adil. Ayahku meninggal karena dia. Pembunuh keji. Dia pantas mati!! Dia pantas mati!!".

"Dia pantas mati!!".

Brukk...

Steve terduduk di ranjangnya setelah bangun dari mimpi buruk. Seseorang yang ia benci dahulu, masuk kembali ke dalam mimpinya.

'Shit! Aku benci mimpi ini.'

Steve terbangun dan berjalan menuju dapur apartemennya dan mengambil segelas air dan meneguknya hingga habis.

Ia pun berjalan ke arah balkon apartemennya dan berdiri disana. Ia memandang jauh ke bawah dan memejamkan matanya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan.

Steve merogoh saku piyamanya dan berhasil menghubungi seseorang di sana. Seseorang yang tiba-tiba terlintas di kepalanya. Jane.

"Halo, Jane. Selamat malam. Aku minta tolong antarkan ke dokter Carl besok."

"Kau kenapa?"

"Mimpi buruk itu menyapaku lagi. Aku semakin membencinya, Jane."

"Baiklah, aku akan menghubungi dokter Carl untuk buat janji besok. Selamat malam."

"Selamat malam, Jane."

***

Steve terdiam, puluhan bahkan ratusan detik denting jam terbunuh tanpa ia sadari. Ia belum bisa menghilangkan mimpi buruk itu dari hidupnya. Sedikitpun.

Jane yang bahkan sudah masuk dan duduk di ruangannya sepuluh menit yang lalu, tak membuat Steve menoleh. Satu kalipun.

Ehem..

Jane berdehem. Steve masih terdiam. Namun pergeseran bola matanya menandakan jika ia masih merespon kedatangan Jane ke ruangannya. Jane, sudah terbiasa dengan ini.

"Aku sudah buatkan janji dengan dokter Carl. Kau bisa datang ke kliniknya setelah jam kantor. Oh, iya aku sudah temukan identitas pemilik sidik jari itu," ungkap Jane. Ia membuka satu map yang harus dibaca oleh Steve.

"Sidik jari? Pelaku penyekapan?" Jane mengangguk. Ternyata Steve masih meresponnya.

"Aku tak percaya ini, tapi.....pelakunya John Anderson. Yang bahkan kita ketahui kalau dia sudah meninggal tiga tahun yang lalu." Jane kembali berdiri dan berkeliling ruangan Steve. Sementara Steve sibuk melihat keterangan dari dokter forensik.

"Gila. Apa mayat itu hidup lagi? Atau, dia mencuri sidik jari John Anderson di tanah kuburannya? Semoga arwahnya tenang di alam sana." Steve meracau. Menurutnya ini tak masuk akal. Bagaimana bisa, sidik jari orang yang sudah meninggal tiga tahun yang lalu ada dan melekat di tubuh orang yang masih hidup. Dan ini masih baru.

"Aku sudah kerahkan anak buah untuk cek pemakamannya. Dan juga, aku sudah tanyakan pada pemilik cafe mengenai identitas John yang kau sebutkan itu."

"Apa katanya?" Steve menjadi penasaran. Jane duduk dan memicingkan matanya.

"Mereka tak tahu nama asli dan alamat orang tersebut."

Brakkk...

Jane terkejut saat Steve menggebrak meja kerjanya. Namun ia tahu, emosi Steve sedang tidak stabil. Steve mengusak kepalanya dan berjalan mengitari ruangannya. Ini sering ia lakukan jika ia sedang bingung dan stress.

"Siapa pria yang memperkenalkan dirinya padaku? Siapa?"

Dalam kebingungannya yang sedang berada di puncak, tiba-tiba suara deringan telpon menginterupsi semuanya. Jane dan Steve saling melirik. Jane pun mengangkat gagang telpon dan menjawabnya.

"Ada telpon untuk Steve di saluran 2."

Klik..

Jane menyambungkan ke saluran 2 dan me-loudspeaker panggilan telpon itu. Steve mendekat.

Tidak ada suara, hanya bunyi benda yang diremas. Seperti suara kertas, plastik dan kayu. Suaranya makin lama makin keras. Steve masih bertahan. Lama-kelamaan Steve menjadi tak sabaran dan membentak si penelpon.

"Apa maumu bedebah? Kau mau menerorku?" teriak Steve. Suara di seberang terkekeh mendengar suara Steve yang sedang mengamuk.

"Kau masih sama, Steve..." suara yang buruk. Bahkan lebih buruk dari seekor kuda. Suara itu membuat telinga Steve mendenging. Steve mengatur napas dan emosinya.

"Siapa kau?"

"Hii...hhiii...kau tak perlu tahu siapa aku. Biarkan aku menjalankan misi ini, Steve." Jane bisa pastikan si pemilik suara desisan kuda ini adalah seorang yang buruk rupa. Ok, Jane tidak rasis hanya sedikit membayangkan saja.

"Kau....."

"See you soon, Steve."

Klik...

Jane mematikan loudspeaker. Ia menyilangkan tangan di dada dan bertanya pada Steve.

"Kau kenal orang itu?" tanya Jane. Steve menggeleng. Ia bahkan tak pernah ingin berkenalan dengan sosok di balik suara kuda tersebut.

"Dia sepertinya kenal aku."

"Kau punya musuh?" tanya Jane kembali. Steve menggeleng lalu menggedikkan bahunya.

"Mungkin. Siapkan dokumen pendukung yang lain, kita langsung rapat siang ini."

"Baiklah."

***

Ada lima orang berkumpul di ruangan. Ada Steve, Jane, Shane, Bee dan si tampan Lucas. Di tim sebelumnya, Lucas tidak masuk dalam tim Steve. Lalu, Steve memintanya. Alasan, karena Lucas paling ahli dalam hal penyamaran.

Steve fokus menatap layar putih di hadapannya yang berisikan foto dan dokumen yang sudah di dapatkan. Jane menjelaskannya secara detail. Seandainya ia bersungguh-sungguh, ia bisa jadi motivator yang handal suatu saat nanti.

"Bagaimana tanggapanmu, Steve?" Jane mengakhiri penjelasannya dan meminta tanggapan dari Steve.

Steve masih mencoret kertasnya, lalu menunjukkannya pada Jane.

PSIKOPAT.

Steve menuliskan kata itu dengan huruf besar dan tebal. Lucas sempat bergidik melihatnya. Jane menarik simpul senyumnya lalu melirik pada peserta rapat yang lain.

"Aku setuju atas tulisan Steve. Dia memang psikopat. Aku menelusuri semua yang Jane ceritakan tadi. Radio, Ibu, tusukan di ulu hati dan John Anderson. Ini masih misteri. Apa hubungan pemilik nama itu dengan pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini?" tanya Bee. Ia ahli dalam strategi dan intuisi. Steve senang berada satu tim dengannya.

"Tapi, aku sangsi satu hal. Kalau ini berkaitan dengan radio. Lihat korban kedua, bernama Emma. Dia bukan penyiar radio. Ia seorang apoteker. Aku rasa, radio hanya salah satu pengalihan dan ada kode lain yang lebih detail dari ini," ujar Steve. Semua yang hadir di sana saling melirik. Bee yang biasanya sangat teliti, kini harus mengakui kalau Steve berada jauh di atasnya. Pantas, officer memilih dia jadi kepala tim reserse.

"Benar juga," gumam Jane.

"Cari kode yang lain. Kita harus bisa hentikan dia sebelum jatuh korban lagi," ujar Steve. Ia berdiri dan menatap seluruh timnya. Tak lupa, ia memberikan semangat juga.

"Rapat kita tutup, laporkan jika ada yang aneh," tambahnya sekali lagi.

****

Dokter Carl menggeleng melihat hasil uji lab yang dilakukan oleh Steve. Ia berulang kali menggulung bibirnya, memijit pelipisny dan terkadang menggaruknya.

Steve tetap diam, tangannya ia letakkan di atas meja seperti anak kecil yang sedang bersalah. Sementara Jane, matanya hanya liar memandang hiasan dinding di ruangan periksa itu. Tak ada yang aneh.

"Jadi, bagaimana hasil tesnya?" tanya Jane tiba-tiba. Dokter Carl menatap Jane. Ia seperti sedang merangkai suatu kata di kepalanya.

"Steve sebenarnya tidak bermasalah. Hanya saja, hipnoterapi yang kita lakukan saat itu terasa sia-sia. Steve kembali mengalami sindrom kecemasan. Kali ini, pasti ada sesuatu yang membuatnya teringat kasus itu. Aku boleh tahu, Steve?" Dokter Carl mengalihkan pandangannya pada Steve. Ia melihat Steve hanya diam terpaku.

"Aku tidak memiliki masalah apapun, dok. Mungkin, kepalaku sedikit lelah."

"Kau sedang menangani kasus?" Steve mengangguk.

"Kasus yang sedikit rumit," Jane menimpali. Dokter Carl menoleh dan mengangguk. Ia meliukkan tangannya di atas kertas dan menuliskan beberapa resep obat-obatan yang harus diminum oleh Steve.

"Resep obat ini hanya dapat minum jika kau mengalami depresi atau tekanan. Temui aku jika semuanya mulai sedikit normal."

Jane menerima resep, namun Steve menyambarnya lalu memasukkannya ke dalam saku. Tangan Jane membeku di udara, Steve tampak tenang tak berkata apa-apa.

Setelah berpamitan, Steve berjalan melenggang melewati Jane.

"Steve, aku dijemput oleh Roland. Maaf tak bisa menemanimu membeli obat." Jane akhirnya menegur lebih dulu. Steve menghentikan langkahnya. Steve memutar tubuhnya dan berbalik menatap Jane. Dan ternyata, Jane telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

"Kau sudah berubah, Jane."

****