webnovel

Bab 22

Kali ini Citra membelai lembut pipi Raja. Terasa panas membakar. Tapi Citra tak peduli. Dia harus menenangkan pemuda yang sedang diamuk amarah itu. Citra mulai bisa menduga apa yang menjadikan pemuda ini menjadi sedemikian pemarah sekarang.

Aki Naraka sudah pergi melarikan diri. Kakek itu tahu bahwa dia tidak mungkin menang melawan Raja. Apalagi tubuhnya terluka. Lebih baik menghindar sekarang. Kelak dia akan melakukan perhitungan dengan pemuda itu.

Raja, Citra dan Sin Liong tidak bisa tidur lagi hingga pagi. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan begitu fajar menjelang. Perut sudah terasa lapar karena semalam mereka memang makan besar. Sin Liong berhasil menangkap udang besar-besar dalam jumlah banyak.

Setelah setengah harian berjalan, mereka berhenti sebentar untuk makan siang. Saat itulah terdengar suara gaduh di bagian hutan yang tak jauh dari tempat mereka berhenti. Suara gaduh yang aneh karena seperti tak habis-habis. Tidak mungkin ada pertempuran di sana, karena dipastikan tidak ada manusia selain mereka di sini.

Dengan mengendap-endap, Raja, Citra dan Sin Liong berhasil mencapai sumber kegaduhan. Tiga orang itu tercengang bukan main. Memang bukan manusia bertempur yang menimbulkan kegaduhan besar itu, namun dua ekor binatang besar bercula sedang bertarung dengan hebat.

"Badak." Sin Liong mendesis.

Kedua badak jantan itu saling beradu kepala berkali-kali. Sebelum adu kepala dahsyat, kedua badak saling menjauh dan berlari dengan kencang sehingga menimbulkan suara keras dan bergemuruh karena tanah dan belukar berhamburan kemana-mana.

"Kita sudah berada di Tlatah Ujung Kulon." Citra berkata pendek. Matanya tak lepas dari pertarungan luar biasa di depan sana.

Kedua badak tak ada yang mau mengalah. Pertarungan terjadi dengan seimbang. Citra cemas salah satu akan tewas atau keduanya terluka parah. Dua badak itu berlari mundur menjauh. Sangat jauh malah. Sepertinya kedua badak itu masing-masing akan mengeluarkan tenaga pamungkas dalam pertarungan hidup mati. Citra tidak tega. Gadis ini menutup kedua matanya. Raja dan Sin Liong saling pandang. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Melerai dua badak yang sedang marah sama saja dengan mencari marabahaya.

Kedua badak berlari sekencang-kencangnya dengan kepala menunduk. Siap untuk hasil akhir. Kejayaan atau kematian. Suara gemuruh dahsyat terdengar berulang-ulang ketika keduanya berlari menjejak tanah dengan kekuatan raksasa.

"Bressss!!" tidak ada suara benturan dua cula. Sebuah bayangan menyambar turun, berdiri di tengah di antara dua badak dan melayangkan pukulan ke kanan dan kiri untuk melerai pertarungan.

Akibatnya dua badak itu seperti tertahan rem yang sangat kuat. Keduanya terpelanting roboh ke samping. Menggapai-gapai lalu bangkit dan mendengus untuk melihat siapa yang telah mencampuri urusan mereka. Seorang kakek sangat tua dengan janggut putih bersih hingga ke dada berdiri di sana dengan kedua tangan ditangkupkan di dada.

Kedua badak itu sepertinya tahu diri. Atau lebih tepatnya menghormati kakek tua yang sekarang berdiam diri dengan kepala tertunduk dan memejamkan mata. Keduanya berlari kecil ke arah yang berlawanan.

Raja tak sanggup mengungkapkan perasaannya melihat kehebatan kakek tua yang luar biasa itu. Sin Liong membiarkan mulutnya ternganga. Sedangkan Citra bernafas lega berkali-kali karena kedua badak masih hidup dan berhenti berkelahi.

"Keluarlah nak. Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?" Kakek tua yang memejamkan mata itu berbisik lirih. Namun suaranya seperti bergema di seluruh permukaan hutan.

Citra melangkah keluar. Disusul Raja dan Sin Liong. Mereka tidak tahu siapa yang dipanggil nak oleh orang tua sakti itu.

"Mahaguru, mohon dimaafkan kelancangan cucunda." Citra berlutut dengan sikap yang sangat hormat.

Kakek tua itu melambaikan tangan dengan halus. Tubuh Citra terangkat dengan ringan. Sebuah tenaga tak nampak yang sangat besar memaksanya berdiri kembali.

"Hmm, Putri Dyah Pitaloka. Apa yang kau ingin kau tanyakan kepadaku sehingga jauh-jauh datang ke sini?" Kakek itu mengulang pertanyaannya. Kali ini membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Raja dan Sin Liong terlonjak kaget. Mata kakek itu putih semua! Kakek itu buta.

"Mahaguru Resi Gunung Sagara, saya berada di sebuah simpang simalakama. Mohon petunjuk." Citra tidak berpanjang-panjang menyampaikan maksudnya.

Resi Gunung Sagara hanya mengangguk-angguk. Mengelus janggut putihnya yang menjuntai panjang dan mengatakan hal yang sangat mengejutkan.

"Pulanglah ke istana nak. Ikuti perintah ayahandamu. Tapi kalau kau masih ragu, pergilah ke perbatasan. Di sana kau akan menemukan apa yang disebut kebenaran takdir. Setelah itu kau akan lebih bisa memutuskan mana yang terbaik. Karena takdir juga telah menunggu kehadiranmu di Bubat. Dia menuliskan semua di sana."

Tanpa menunggu tanggapan Citra, Resi Gunung Sagara membalikkan badan. Pergi dari tempat itu dengan langkah perlahan. Namun dalam sekejapan mata tubuhnya sudah menghilang.

Raja hendak membuka mulutnya untuk protes. Tapi Citra meletakkan telunjuknya ke mulut Raja. Gadis itu tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri. Dia tidak akan melawan petunjuk Resi Gunung Sagara. Takdir memang menunggunya di Bubat.

"Antarkan aku ke perbatasan Raja." Gadis itu berkata singkat.

Raja saling berpandangan dengan Sin Liong. Rupanya Citra sudah berketetapan hati mengikuti apa yang dikatakan kakek tua yang sangat sakti itu. Mereka tidak membantah. Melangkah mengikuti Citra dari belakang.

Untuk beberapa lama, mereka berjalan dalam keheningan. Masing-masing berkecamuk dalam pikirannya sendiri.

Citra berhasil menentramkan pikirannya yang selama ini memberontak dan berusaha keras membelokkan sejarahnya yang pedih. Resi Gunung Sagara sangat waskita. Dari setiap kata-katanya tadi Citra bisa memahami maknanya yang dalam bahwa takdir akan dituliskan. Bukan sudah dituliskan. Gadis ini kembali merekah senyumnya. Berjalan dengan pikiran tenang dan damai.

Raja menggerutu dalam hatinya. Kenapa sih gadis ini sangat patuh terhadap nasihat kakek tua tadi tanpa menanyakan lebih lanjut alasannya. Raja menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. Mengusir niat di dalam kepalanya untuk mengejar Resi Gunung Sagara dan menuntut penjelasan lebih lanjut.

Sin Liong hanya mengangkat bahu. Dia akan mengawal Citra kemanapun gadis itu pergi. Perintah papanya sangat jelas. Jaga putri manjing itu hingga menemukan takdirnya.

--**