Al yang masih menunggu di atas motornya memutuskan untuk kembali. Tujuannya bukan tentang kasus, lebih pada masalah pribadi. Ia ingin berbicara dengan Balqis. Ingin tahu bagaimana perasaan wanita itu.
"Balqis!" Al setengah berlari mengejar Balqis. "Bisa bicara sebentar?"
Balqis mengangguk. Ia mempersilakan Al ke ruang tamu dan duduk di sana.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kamu baik-baik saja?" Al bertanya setelah mereka duduk dengan nyaman. Sebenarnya Al ingin menanyakan banyak hal. Tapi begitu berada di depan wanita itu, hanya dua kalimat yang bisa ia ucapkan.
Tidak apa-apa. Yang terpenting Al bisa menanyakan apa yang tengah Balqis rasakan. Lebih dari apa pun, bagaimana perasaan Balqis-lah yang terpenting.
Balqis mengangguk, kemudian hening.
Tidak, bukan jawaban seperti itu yang ingin Al ketahui. Al ingin mendengar sesuatu yang lebih jelas. Yang lebih spesifik. Al memerhatikan Balqis, ingin mendesak. Tapi melihat duka di wajah wanita itu, Al akhirnya mencoba mengerti.
Masih hening.
Di gerbang depan, ada dua orang yang berjaga. Satu keamanan yang memang telah lama bekerja pada tuan rumah, dan satu lagi keamanan yang diutus kakak ipar Balqis untuk membantu menghalau orang-orang yang nekat.
Chiko mengutus keamanan tambahan untuk berjaga-jaga karena ada begitu banyak wartawan yang datang.
Di dalam rumah, seorang petugas polisi berseragam masih ditugaskan berjaga di lantai dua. Menjaga TKP agar tetap steril. Al dan Balqis berada di ruang tamu. Sementara Bu Ruri dan Nurul duduk dalam diam di dapur.
"Maaf." Balqis yang sejak tadi menunduk akhirnya mengangkat wajahnya.
"Maaf? Kenapa?"
"Karena kita bertemu di situasi seperti ini. Pasti sulit berada di posisi harus menginterogasi teman sendiri," jelas Balqis.
Al menggeleng dengan cepat. "Namanya musibah, siapa yang tahu. Toh bukan kita yang mau." Al mencoba menghibur.
Balqis kembali menunduk. Al memerhatikan dengan lekat nyonya rumah. Ada yang berbeda dari Balqis yang selama ini tinggal dalam ingatannya. Balqis yang berbeda dengan Balqis 8 tahun lalu. Al mencari letak perbedaannya tapi ia tidak yakin. Mungkin saja otaknya baru menulis ulang ingatannya. Membentuk kesan baru berdasarkan apa yang terjadi hari ini.
Dalam waktu delapan tahun siapa yang tidak berubah. Entah lebih baik atau lebih buruk. Entah lebih kurus atau lebih gemuk. Lebih pendiam atau semakin agresif. Semua orang berubah. Ia pun sama. Balqis pasti juga.
Bukankah tiga hari lalu mereka bertemu. Bukankah tidak ada sesuatu yang terasa janggal.
Ada!
Al mengingat lagi dan menemukan sesuatu yang janggal. Al melihat Balqis mengaduh kesakitan ketika seorang teman menepuk bahunya. Ia juga memerhatikan tidak sekalipun Balqis pernah menggulung lengan bajunya. Tidak ketika bersih-bersih ataupun mencuci tangan.
Bola mata Al bergerak ke arah memar di pipi Balqis.
"Wajahmu... kenapa?" Al bertanya hati-hati.
Balqis kembali mengangkat wajahnya. Ia terlihat ragu. Tidak langsung menjawab. Ia mengulur waktu, menimbang-nimbang. Sangat berhati-hati. Tidak ingin asal berbicara.
"Kalau aku bilang terantup pintu, kamu percaya?" Balqis balik bertanya.
"Enggak." Al menjawab tanpa berpikir. Ia tahu bukan itu alasannya. "Jadi ceritakan yang sebenarnya." Al memerhatikan penampilan Balqis. Meski berada di dalam rumah ia tetap mengenakan blus lengan panjang. "Bisa tolong gulung lengan bajumu?" Al ingin memastikan sesuatu.
Tatapan mereka bertemu. Al menatap Balqis dengan seribu tanda tanya. Balqis balas menatap Al datar. Seperti ada keinginan segera mengakhiri percakapan mereka.
"Untuk apa?"
"Untuk memastikan apakah yang aku pikirkan benar." Al menjawab dengan ekspresi penuh arti. "Aku melihat rotan panjang di dalam kamar. Juga di sana." Al menunjuk dinding yang memisahkan ruang tamu dengan ruangan makan. "Aku enggak tahu itu untuk apa, imajinasiku yang dengan sendirinya bergerak liar."
Balqis memerhatikan Al lekat. Tatapannya menyelidiki. "Enggak ada yang berpikir sepertimu, Al. Huda suka berkuda dan orang-orang berpikir itu salah satu pecutnya."
"Jadi apa aku salah?" Al menagih jawaban Balqis.
Seperti sebelumnya, Balqis tidak langsung menjawab. Terkesan ragu-ragu dan mengulur waktu, menghitung untung-rugi dari setiap kata yang akan ia ucapkan.
Pada titik ini, Balqis seolah tengah bersiasat. Seseorang yang tidak menyembunyikan apa pun seharusnya tidak perlu terlalu banyak berhitung.
"Bagaimana kalau benar?" Balqis menjawab dengan pertanyaan.
Al menghela nafas. Ada kesedihan yang mendadak menyerang hatinya. Ada kekhawatiran. Sebelumnya ia sudah menduga. Kapten Lukman juga sudah memberitahukan kepadanya. Tapi hatinya tetap saja terluka. Dadanya terasa sesak. Kata-kata tidak mampu ia ucapkan. Mendadak ia merasa kacau.
"Jangan melihatku seperti itu, Al. Bukan aku korbannya di sini." Balqis mengalihkan wajahnya. Tatapan iba Al membuatnya tidak nyaman.
Al berusaha mengatur ulang perasaannya. Meletakkan keterkejutan, kesedihan, kekhawatiran, dan luka pada tempatnya. Yang sedang berduka Balqis. Yang berhak menjadi kacau adalah Balqis. Balqis yang melaluinya. Perasaannya tidak ada apa-apanya.
"Apa kamu akan melakukan pemeriksaan visum untuk luka-luka di tubuhmu?"
"Untuk apa?" Balqis terus menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Agar jika polisi menemukan hal-hal yang mencurigakan, mereka tahu kamu hanya membela diri."
Sontak Al terdiam mendengar ucapannya sendiri. Balqis juga sama, namun diakhiri dengan senyum sinis. Ada kekecewaan dari sorot matanya.
"Kamu berpikir aku yang membunuh suamiku?" Suara Balqis bergetar.
Al tahu ada yang salah dalam ucapannya. Ia ingin menjelaskan tapi tidak Balqis beri kesempatan.
"Aku hanya memikirkan perasaan mertuaku. Beliau baru saja kehilangan anaknya. Kamu pikir akan seperti apa perasaannya jika tahu anak kesayangannya adalah pelaku kekerasan? Apa yang Huda lakukan padaku adalah kesalahan Huda, tapi aku tetap berhak menjaga perasaan ibu mertuaku."
Seperti ada kata yang hendak Al ucapkan. Mulutnya membuka setengah. Balqis menunggu. Al sendiri menunggu kata-kata yang hendak ia ucapkan. Tapi tidak ada apa pun. Tidak satu kata pun. Berapa lama pun menunggu, yang ada hanya keheningan.
Suasana tidak lagi membuat nyaman.
"Kamu tahu, Al, ini pertama kalinya kita bisa bicara panjang lebar." Balqis mencoba tersenyum walau tidak ada kebahagiaan di sana. "Meski tidak satu pun dari kita mengharapkan pembicaraan yang seperti ini."
Benar, mereka tidak pernah mengharapkannya. Tidak juga membayangkan masa depan seperti ini.
Di masa lalu mereka tidak mungkin tahu mereka akan terlibat dalam pembicaraan yang sama sekali tidak menyenangkan. Akan duduk berhadapan dalam situasi yang juga tidak menyenangkan.
Al menyesali kata-katanya. Menyesali waktu yang pernah mereka miliki tapi tidak digunakan untuk saling berbicara.
Seseorang mengetuk pintu. Membuat perhatian Al dan Balqis sama-sama teralihkan. Orang itu berdiri di depan pintu yang terbuka. Zeroun. Zeroun menunggu sesaat kemudian melangkah masuk.
"Maaf mengganggu," kata Zeroun lebih kepada Balqis. Balqis menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Ada yang harus saya ambil di atas," tambahnya.
"Apa sudah ada perkembangan mengenai kasus suami saya?" tanya Balqis pada Zeroun.
"Masih dalam proses penyelidikan." Zeroun menjawab sembari menggeleng. "Saya ke atas."
Balqis mengangguk lagi. Ia mempersilakan.
Al pamit pada Balqis kemudian mengikuti langkah Zeroun. "Apa yang tertinggal?" tanyanya.
"Senjata yang digunakan pelaku untuk memukul kepala korban."
Langkah Zeroun berhenti di anak tangga kedua dan berbalik menatap Balqis. Dari jaraknya berdiri, Zeroun tahu Balqis bisa mendengar suaranya. Zeroun ingin mengetahui seperti apa ekspresi Balqis dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
Mengikuti pandangan Zeroun, Al juga beralih menatap Balqis. Wanita itu sedang mengemasi gelas dan ceret yang ada di meja. Wajahnya tertunduk. Sama sekali tidak menatap mereka atau berusaha mencuri dengar.
Ketika Al kembali mengalihkan pandangnya, Zeroun sudah dua anak tangga di depan. Al mempercepat langkahnya untuk mengimbangi.
"Apa Anda mendengar pembicaraan saya tadi?" Al bertanya dengan suara berbisik. "Dari mana?"
Zeroun melirik ke arah Al tapi langkahnya tidak berhenti. "Kamu berpikir aku yang membunuh suamiku," jawab Zeroun. Suaranya sedikit keras hingga Al harus menyenggolnya agar berbicara dengan suara yang cukup untuk didengar mereka berdua.
"Sebelumnya?"
"Apa kamu akan melakukan pemeriksaan visum..." Zeroun memutus kata-katanya sendiri seolah berusaha mengingat kelanjutannya. Meski ingat, Zeroun tetap tidak melanjutkan kalimatnya.
Mereka tiba di anak tangga teratas. Kemudian berjalan lima langkah dan berpapasan dengan petugas yang menjaga TKP. Petugas yang berjaga menyapa dan memberi hormat.
"Sebelum itu, sebelum itu?" Al kembali memburu dengan pertanyaan yang sama. Firasatnya mengatakan Zeroun mendengarkan lebih banyak dari apa yang sudah diakuinya.
"Bagaimana kalau benar..."
"Wah!" Al tidak percaya firasatnya tepat. Zeroun telah mendengar terlalu banyak. "Anda sedang menguping, ya?" tuduh Al.
Langkah Zeroun berhenti. Mereka telah memasuki kamar mandi. Bola mata Zeroun bergerak ke kiri atas. Ada jeda sebelum ia menjawab pertanyaan Al. Tapi sampai Zeroun kembali melangkah, tetap tidak ada jawaban yang terdengar.
"Berdiri diam di depan pintu dan mendengarkan sebanyak itu, apa namanya kalau bukan menguping?" Al mengejar lagi. Baginya, diamnya Zeroun adalah penolakan untuk mengakui bahwa tuduhannya benar.
Langkah Zeroun berhenti lagi. Ia menatap Al sinis.
"Jika ada dua orang yang sedang berbicara serius, apa yang akan kamu lakukan? Menyelonong masuk jelas tidak sopan. Memotong di tengah-tengah pembicaraan juga tidak sopan. Apalagi kalau kamu tahu orang itu sudah lama menunggu kesempatan untuk bisa bicara berdua." Zeroun mengambil jeda. "Jadi, satu-satunya cara yang bisa kamu lakukan adalah menunggu ada kesempatan."
"Tapi…"
"Jangan salahkan saya yang tidak sengaja mendengar, karena telinga saya selalu ada di tempatnya sejak saya lahir. Salahkan sendiri suaramu karena saat berbicara tidak mengatur volume dengan benar." Zeroun tidak memberi Al kesempatan untuk mengintrupsi.
Al menghela nafas. "Oke, oke. Saya salah. Saya yang salah," katanya tidak sanggup lagi mendebat. Bagaimanapun mereka berdebat, ia akan tetap kalah. Tetap salah. Zeroun selalu benar.
Zeroun berdiri di bagian lain dari bathtub sembari melipat tangan di depan dada. Al yang ikut berdiri di sampingnya, celingukan ke sana kemari. Mencari sesuatu yang Zeroun maksud sebagai senjata yang pelaku gunakan untuk memukul kepala korban.
"Di mana senjatanya?"
"Di sana." Zeroun menunjuk dengan menggunakan dagunya.
Senjata yang Zeroun maksud ternyata sesuatu yang sudah ditatapnya sejak tadi. Sebuah shower. Hand shower lebih tepatnya. Shower yang digantung sedikit lebih tinggi dari keran bathtub.
"Jadi benar-benar pembunuhan? Bukan karena korban terpeleset ketika masuk ke dalam bathtub? Bukan karena kecelakaan?"
Zeroun menatap Al seperti tengah menatap kuman yang harus segera disingkirkan.
"Bentuk lukanya tidak seperti luka karena terbentur pinggiran bathtub." Zeroun menjelaskan. "Memang ada darah di pinggiran bathtub tempat kepala korban tergeletak. Tapi itu hanya darah rembesan yang menumpuk."
Zeroun mengambil shower dengan alas sapu tangan miliknya. Ia perhatikan keadaan shower. Seharusnya ada jejak yang tertinggal dan… tepat, seperti dugaannya.
Bukan noda darah, tapi bentuk yang berubah. Ada penyok pada permukaan shower, yang menunjukkan shower telah digunakan untuk menghantam sesuatu yang keras. Lama Zeroun memerhatikan lekukan pada shower. Ia berpikir keras.
"Kenapa? Ada yang salah?" Al membuyarkan perhitungan-perhitungan dalam benak Zeroun.
Sekali lagi, Zeroun benci diganggu ketika berpikir. Ia benci fokusnya dikacaukan. Ia benci perhitungan yang sedang ia buat dibuyarkan. Ia benci rumus-rumusnya diacak-acak. Zeroun menatap Al seperti serigala kelaparan.
"Maaf, maaf. Silakan dilanjut." Al memberi jarak dan berdiri membelakangi Zeroun.
Zeroun menarik kerah baju bagian belakang Al agar kembali ke tempatnya. "Lihat! Ada penyok di sini. Itu artinya benda ini pernah digunakan untuk menghantam sesuatu yang keras. Untuk memeriksa ada tidaknya noda darah, kita hanya perlu melakukan tes Luminol," jelasnya.
"Kalau begitu apa yang membuat Anda lama berpikir?" Al tidak mengerti.
"Penyok pada shower terlalu dalam. Jika seseorang dihantam shower dengan bekas penyok sedalam ini, korban bisa meninggal seketika." Zeroun mengerutkan keningnya. Masih mencari jawaban.
"Korban bukan meninggal karena luka di kepalanya? Jadi karena apa?" Al masih tidak mengerti.