webnovel

REDTURN

Kehidupan Dita berubah setelah aksi penculikan yang di lakukan oleh suruhan Ayahnya menjadikannya seorang gadis pemberani mencari tahu kejadian 10 tahun silam yang kelam. Bagaimana Dita melakukan semuanya? Seperti apa kisah perjuangan seroang gadis 20 tahun dalam merasakan gejolak cinta yang muncul saat ia sedang melaksanakan aksinya? Let's read now!

Daoistwoptq3 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
3 Chs

Prolog

Langit sore yang cerah dengan suara cikauan burung kutilang pada pohon cemara menemani seorang gadis yang duduk di kursi berderet di sebuah taman. Ia menarik nafas berat untuk menenangkan hatinya yang bergejolak agar tidak terlihat aneh duduk sendiri di tengah keramaian pemuda-pemudi yang sedang berkencan.

Bosan? Kesal?

Ya, itulah yang di rasakan Dita saat ini. Menunggu kedatangan kakak laki-lakinya yang seharusnya sudah datang dari tadi. Sebelumnya Dylan -nama kakak Dita- berpamitan hendak ke kamar kecil untuk menjawab panggilan alam. Tapi, nyatanya ini sudah 30 menit berlalu setelah Dylan meninggalkan Dita sendirian di keramaian. Perlu di ketahui Dita yang saat ini masih berstatus single merasa panas melihat adegan romantis pasangan remaja tak jauh dari tempatnya berada.

"Itu orang kenapa lama banget, sih? Sengaja bikin gue mati karaten, apa!?" desisnya sinis, mengalihlan pandangan ke air mancur.

"Dita!"

Si empunya nama menoleh ke sumber suara. Mendapati wajah Dylan dengan senyum lebarnya sedang melambai, membuat Dita mendegus.

"Lo mampir kemana? Lama banget." Dita bersedekap saat setelah Dylan telah sampai di depannya.

"Hehehehe, sorry. Tadi toilet padat, jadi gue ngantri sebentar." Dylan nyengir sambil mengacungkan dua jari perdamaian.

Dita sepertinya tak menghiraukan ajakan perdamaian, pasalnya badmood sudah menguasai hatinya saat ini. Ia hanya memejam kuat menelan kekesalannya, lalu melangkah pergi mendahului Dylan.

"Dit, tunggu gue!" serunya seraya mengimbangi langkah Dita yang di buat panjang.

"Beli kopi yuk, di Starbucks!"

Melirik Dylan yang sangat antusias membuat hati Dita sedikit melunak. Dylan Casimira termasuk dalam kategori pemuda godlooking. Dengan paras tampan bak malaikat jatuh dari langit. Ia memiliki manik mata danzel redup, yang bisa membuat siapa saja terperangah kagum akan ketenangannya. Di tambah senyum manisnya yang tak pernah luntur ia pasang. Membuatnya semakin tampan dengan kemeja putih yang Dita berikan sebagai kado ulang tahunnya hari ini.

"Oke, tapi lo yang bayar."

"Ya, karena hari ini adalah hari sepesial gue, gue bakalan traktir." Dylan menyahut enteng sementara dia memimpin jalan sambil menggandeng pergelangan Dita menuju Starbucks di sebrang jalan.

"Tapi kompensasinya, lo harus masak selama satu pekan."

"Oke. Kalau misalkan lo mati keracunan karena makan masakan gue, jangan nyesel." Sedetik setelahnya bibir Dylan yang tersenyum samar, berkedut. Mengingat Dita tidak bisa membedakan gula dan garam beberapa hari lalu membuat daging sapi yang sudah menguras uang tabungannya berakhir menjadi makanan kucing jalanan.

"Gak jadi. Lo gak usah masak."

"Em, gitu dong." Dita menyeringgai, membuat Dylan berdeham menutupi salah tingkahnya.

"Yuk masuk."

"Lo mau pesen yang mana?" tanya Dylan seraya matanya meneliti barisan Coffee gummy pada papan menu.

"Kayak biasa."

"Tolong 2 bootleg brulee dengan mug ukuran grande. Dylan dan Dita." Ucapnya kepada barista yang sedang mencatat nama mereka di bawah wadah minuman. Barista tersebut langsung sigap membuatkan pesanan.

Sepertinya mereka tidak kedapatan tempat untuk duduk. Di karenakan ini hari minggu, sudah pasti padat oleh kaum milenial yang hangout, orang yang sekedar nongkrong dan beberapa orang sibuk dengan laptop.

"Gak bisa duduk." Dita menoleh, Dylan sepertinya kecewa.

"Gak papa, berdiri juga bisa." Jawab Dita menyenderkan bahu pada tembok.

Oh, iya. Dita akan cerita sedikit tentang dirinya sambil nunggu pesanannya siap.

Nama lengkapnya Dita Casimira. panggilannya Dita. Dita tumbuh dengan kakaknya di Jakarta. Saat umur 9 tahun, ia tinggal bersama Ibunya di Kuningan hingga kemudian Ibunya meninggal akibat kecelakaan. Ayahnya? Entahlah Dita tidak tau tentangnya. Sejak kecil ia tidak pernah melihat sosok ayah dalam hidupnya. Ia hanya mengetahui secuil info tentangnya yang sudah bercerai dengan sang mendiang Ibu sebelum beliau meninggal. Tapi kejanggalan tidak bisa di hindari saat Dita tidak melihat jasad Ibunya tercinta sebelum pemakaman.

Dita tidak sedih, karena dia memiliki Dylan yang selalu bersamanya. Akan tetapi ia ingin sekali menemukan kebenaran yang terjadi 10 tahun silam, tepat kecelakaan menimpa Maria -Ibunya-. Tapi apalah daya ia tidak punya uang untuk menyewa detektif untuk menyelidiki kasus tersebut.

Ia menyangkal fakta Ibunya meninggal akibat kecelakaan. Pasalnya nalurinya berkata kuat bahwa Ibunya saat ini masih hidup, dan berada di suatu tempat. Ia pernah menanyakan kejanggalannya pada Dylan, tapi pemuda 22 tahun itu hanya diam mematung. "Jangan tanyakan hal seperti itu lagi Dita. Ibu memang sudah meninggal, lebih baik kita mendoakannya. Mengurusi pikiran seperti itu hanya akan membuat Ibu tidak tenang di sana."

Dita merasa Dylan menutupi sesuatu karena gelagatnya seperti seorang yang berusaha menyembunyikan rapat-rapat hal besar dibaliknya. Tapi apa yang ditutupi Dylan, Dita tidak tahu.

Dan hari ini adalah hari dilahirkannya Dylan. Tepat pada 22 November, untuk merayakannya mereka jalan-jalan pas di malam minggu. Waktunya para pemuda-pemudi berkencan menikmati akhir pekan. Banyak orang pasti menyangka mereka berdua adalah sepasang kekasih tapi sebenarnya mereka adalah sepasang kakak beradik yang cantik dan juga tampan. Namun, Dita tak menghiraukan lirikan mata para orang yang melihatnya.

"Dylan, Dita." Barista tadi memanggil nama mereka setelah pesanan siap. Dylan mengambil alih dua gelas terebut dan memberikan satu pada Dita. Kemuadian ia merogoh sakunya mengambil sejumlah uang untuk membayar cash.

Mereka berdua berjalan di trotoar yang di terangi lampu jalan remang, perlahan menerang padang. Matahari sudah berada di singgasana digantikan bulan purnama besar yang indah. Bintang bertaburan bagai intan permata menghiasi langit malam yang gelap.

Dita yang sibuk terperangah melihat kerlap-kerlip kota tak henti-hentinya mendesah kagum. Gedung pencakar langit dengan interior unik menjulang tinggi dari bawah sini terlihat kokoh.

"Bagus ya?" Suara Dylan mengalihkan perhatiannya.

"Iya. Gue kayak semut kecil yang tertindas oleh gedung gede itu." Senyum yang muncul di bibir Dita menular pada Dylan. "Abis ini mau kemana lagi?"

"Gue tau tempat yang lebih bagus selain ini."

"Oh, ya? Dimana?" Dita mengangkat kedua alisnya.

"Mau ikut?" Tawar Dylan. Dita tersenyum mengangguk cepat. Dengan tepat Dylan megambil lengan Dita. "Yok."

Dan disinilah, kedua pasang kaki Dylan-Dita sedang menapak pada tanah berlapis paving block rapi begitu mereka menjejakan kakinya di lapangan kosong kembali ke taman tadi.

"Lah, ini gak lebih indah. Lo bohongin gue ya?"

"Diem deh. Gak usah banyak tanya." Dylan tak menghiraukannya dia hanya melihat depan.

"Dylan disini gelap." Ucapnya merapatkan gigi mencubit lengan kemeja Dylan yang di lipat.

"Iya tahu. Sebentar lagi lo bakal liat." Dia melihat alorjinya di pergelangan kiri. "Dan."

Sedetik setelahnya air dari pipa kecil menyebul keluar lubang dan memancarkan cahaya pelangi. Gadis itu dibikin terpana oleh koreografi air mancur yang bercahaya itu. Satu kata yang dapat Dita katakan, cantik.

"Bagus kan?" Dylan yang melihat Dita tidak mengalihkan pandangannya tersenyum semakin lebar.

Sesudah pertunjukan air mancur berakhir, mereka kembali ke apartemen sederhana yang mereka tinggali.

Saat melewati gang jalan yang gelap karena tidak terkena pencahayaan lampu jalan, Dylan merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Dengan cepat ia menengok, menyisir pandang untuk menemukan sesuatu yang mencurigakan. Tetapi nihil, tidak ada apapun selain sepi dan gelap.

"Dylan!" Dita yang merasa ceritanya tadi sia-sia menggeretak sebelum setelahnya mengernyit heran mendapati tatapan serius pada wajah Dylan.

"Kenapa, Lan?"

Dylan terkesiap dengan gretakan Dita menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gak ada apa-apa. Cuma gue ngerasa ada yang ngikutin kita."

"Siapa? Hantu?" Dita malah terbahak. Dylan menatap Dita datar. Ia lalu dengan cepat berjalan mendahuluinya.

"Dylan tunggu gue! Dy...mmmmph." Dengan satu gerakan cepat Dita berhasil di bekap oleh seorang berpakaian serba hitam dari balik kegelapan.

"Dita! woy lepasin Dita!" Batang balok yang berada tak jauh dari kakinya ia ambil dan mengacungkannya ke orang tadi. "Lepasin Dita kalau gak gue tabok pantat lo pake balok ini!"

"Hmmmmppphh.." Dita terus meronta, memukul mukul lengan yang membekapnya namun perlahan lahan pandangannya memberat akibat obat bius yang dihirupnya dari kain sialan itu.

"Gue bilang lepasin!!!" Balok yang hendak Dylan pukulkan terlempar di udara saat seorang lainnya -yang juga sama berpakaian hitam- muncul memukulkan tongkat besi pada punggungnya dengan cepat.

"Aaaa.." Rasa sakit yang menjalar setelahnya mengakibatkan Dylan ambruk lemas. Dia merasa kepalanya seperti akan pecah setelah orang tadi memukulkan batu bata rapuh dan menghancurkannya berkeping-keping di kepalanya. Ia melihat Dita yang menangis tak punya daya meronta, berbayang-bayang. Dylan ingin mencegah Dita di bawa oleh mereka namun seketika pandangannya berubah menghitam.

Dylan tak sadarkan diri.

●●●

to be continue.

hi

sebelumnya, ini pertama kali aku nulis 😁

jadi masih terdapat kesalahan penulisan

mohon tinggalkan komentar untuk resolusi

thank you, stay in my story