webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
53 Chs

Chapter 11 "Kristal Roh Indemnius"

Ini hari ketigaku setelah terusir dari markas pemburu. Sejak itu, aku belum bertemu dengan anggota 'Kelam Malam' satu pun. Begitu pula dengan Dimas. Entah apa yang pria itu lakukan selama ini. Kota ini tidak terlalu besar. Seharusnya kami bisa dengan mudah bertemu atau berpapasan, apalagi letak bangunan klinik Bibi Saantya yang tidak jauh dengan markas. Mungkin ia sudah lupa bila ada temannya yang terusir.

Padahal, saat sedang bosan seperti ini aku ingin sekali ada orang yang menemaniku. Aku tak bisa menganggu Kak Shella atau temanku yang lain. Mereka sedang bekerja di siang hari seperti ini. Hanya pemburulah yang biasanya senggang saat matahari masih terik. Tentu aku tak bisa begitu saja mengunjungi mereka. Pak Tua Bajingan itu pasti mengusirku.

Aku melenguh panjang. Menatap keluar jendela dari kamarku yang berada di lantai tiga di bangunan besar belakang klinik. Tidak banyak yang bisa dilihat dari sini. Hanya kumpulan bangunan rapat dan orang yang berlalu lalang di bawah sana. Sebenarnya aku ingin berbelanja sesuatu untuk menyenangkan hati. Namun batal setelah melihat ke dalam isi kantung kulitku. Satu keping perak dan satu keping perunggu yang bernilai dua puluhan. Aku benar-benar sedang terkena 'Kanker'.

Menjadi pemburu memang menyenangkan karena selalu mendapat tantangan. Tapi hal itu tak seimbang dengan penghasilannya. Sebagian besar penjualan hewan buruan biasanya dimasukkan ke dalam kas kelompok—atau bahkan dimakan oleh Grussel sendiri. Sisanya baru dibagi secara rata pada semua anggota, baik yang ikut dalam perburuan maupun tidak.

Sebenarnya aku bisa saja mencari pekerjaan lain dan meningkatkan taraf hidupku. Ada banyak tawaran pekerjaan dari teman-temanku. Misalnya dari Si Kembar Vani dan Vian. Dua bersaudara itu menawariku menjadi pelayan di restoran mereka bekerja, dengan bayaran empat keping perak setiap bulannya. Itu bisa membuatku membeli apa pun yang diinginkan. Tidak hanya itu, ada juga tawaran untuk menjadi petugas di Biro Perhubungan Kota Glafelden. Tapi aku tak bisa menerimanya.

Ada dua alasan utama yang mencegahku keluar dari pekerjaanku saat ini. Salah satunya adalah karena rasku sekarang, Haier-Elvian. Jika pindah pekerjaan, hanya soal masalah waktu sampai rekan kerja baruku tahu identitasku yang sebenarnya. Mungkin mereka takkan mau menerimaku seperti anggota 'Kelam Malam'. Mereka akan menganggapku berbeda dan mendiskriminasiku. Itulah alasan yang kuat untuk tidak lebih jauh lagi terlibat dengan orang-orang kota. Alasan yang kedua adalah, dengan menjadi pemburu, aku bisa pergi ke tempat mana pun yang kumau. Mungkin dengan itu, aku bisa menemukan jawaban atas fenomena yang kualami. Sekaligus menemukan cara untuk kembali.

Meskipun kesempatan itu sangat tipis, aku ....

"Anggi, kau sudah bangun!?"

Mendadak sebuah suara yang mengejutkan datang dari belakang. Ketika menoleh ke arah daun pintu, aku mendapati Kak Shella tengah berada di sana. Kedua tangannya memegang keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang sudah dicuci bersih dan diseterika rapi.

"Eh, Kak Shella! Iya, sudah."

"Sudah cuci muka?"

Aku mengangguk.

"Tapi mukamu masih kusut," serunya sambil mendelik kepadaku.

"S-Sepertinya karena aku terlalu memikirkan banyak hal."

"Memikirkan apa?"

Aku menggeleng pelan. "Bukan hal penting. Lupakan saja! Ngomong-ngomong, kau tidak berjaga di klinik?"

"Sif kerjaku mulai nanti siang. Jadi kugunakan waktu pagi untuk mencuci baju. Kalau kau perlu tambahan pakaian, bilang saja. Aku akan menyediakannya untukmu."

"Tidak perlu, kok! Aku tak mau merepotkanmu lagi."

Kak Shella terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Anggi ... kau pikir hal kecil seperti ini membuatku repot? Dibandingkan denganmu yang sudah melakukan banyak hal untukku dan teman-teman yang lain? Ayolah! Kau tak perlu merasa sungkan. Minta tolong saja padaku jika kau perlu sesuatu."

Aku menghela napas. Dipikir-pikir, rasanya tak enak juga bila terus menolak bantuan orang lain. Lagipula, Kak Shella sepertinya akan memaksaku untuk bergantung padanya saat tengah kesulitan seperti ini.

"Baiklah kalau begitu. Aku mau ke perpustakaan kota, Kak! Bisa pinjamkan aku baju yang bagus? Ah, tapi jangan yang terlalu mencolok seperti yang kemarin!"

"Siap!" sahutnya riang gembira.

Setengah jam kemudian, aku sudah keluar dengan pakaian baru yang telah disiapkan oleh Kak Shella. Blus putih polos serta celana panjang yang terbuat dari serat kain. Lengkap dengan jaket kulit yang menjadi tren kekinian untuk remaja di kota ini. Tak lupa topi rajut guna menutup telingaku. Walau mode pakaian di dunia ini seperti abad pertengahan, tapi tak terlalu buruk. Setidaknya mode pakaian di sini selalu berkembang pelan tapi pasti ke arah yang lebih baik.

Langkah sepatuku langsung membaur dengan milik orang lain ketika masuk ke jalanan kota. Orang-orang berlalu-lalang di trotoar yang kutapaki. Namun tak sebanyak saat jam sibuk. Kebanyakan dari mereka sudah berada di sekolah atau tempat kerja.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai ke perpustakaan kota. Jejeran buku-buku langsung menyambut begitu melewati daun pintu kembar raksasa yang terbuat dari pohon jati. Rak-rak buku memenuhi setiap sudut ruangan yang besar dan megah ini. Entah apa yang dipikirkan oleh pengelola perpustakaan terdahulu, setiap raknya disusun sedemikian rupa hingga membentuk seperti labirin. Untung raknya hanya setinggi bahu orang dewasa. Karena jika saja rak ini setinggi tiga meter, pasti banyak orang yang akan tersesat di sini.

Aku mendekati meja resepsionis yang terletak tepat di depan pintu raksasa. Meja ini sangat panjang, ada beberapa orang resepsionis yang berada di baliknya. Melayani pengunjung yang ingin meminjam buku atau hanya sekedar bertanya tentang katalog. Aku memilih seorang resepsionis yang kebetulan antriannya sedang kosong.

"Hei, Anggi! Tumben kau kemari. Kemana saja kau belakangan ini? Padahal dulu kau kemari nyaris setiap hari," ujar wanita resepsionis itu.

"Aku sedang sibuk akhir-akhir ini. Mungkin beberapa hari kemudian aku akan sering main kemari karena sedang senggang." Aku tertawa kecil.

"Kenapa? Kau dipecat dari pekerjaanmu?"

"Enak saja! Aku cuma cuti, tahu! Cuti," jelasku dengan suara yang sedikit keras. Gadis itu hanya tertawa melihat responsku.

"Apa kau ingin meminjam buku hari ini?"

"Aku ingin baca-baca terlebih dahulu. Kalau ada yang menarik, baru kupinjam."

"Apa kau butuh bantuan katalog?"

Aku menggeleng. "Aku sudah hapal. Jangan khawatir! Aku kemari cuma menyapamu saja."

Kulambaikan tangan padanya ketika meninggalkan meja resepsionis. Dia membalas dengan lambaian dan senyuman juga. Saat pertama kali datang ke dunia ini, pilihan pertamaku untuk mencari informasi adalah tempat ini. Saking seringnya berkunjung ke perpustakaan ini, aku kenal dengan semua pegawai di sini. Mereka semua orang yang menyenangkan ketika diajak berbicara. Tentu saja sambil berusaha untuk tak terlalu dekat dengan mereka. Karena was-was jika ada yang tahu tentang diriku sebenarnya.

Aku menaiki anak tangga guna sampai pada lantai dua yang letaknya cukup tinggi dari lantai dasar. Lantai bawah berisi kumpulan buku fiksi, majalah, dan pelajaran bahasa asing. Saat pertama kali, aku terkejut saat tahu di dunia ini ternyata juga novel dan komik seperti di dunia asalku. Dengan kualitas yang nyaris sama, aku cukup menikmati beberapa judul buku. Sementara di lantai dua yang kutuju berisi tentang buku-buku non-fiksi, ilmu pengetahuan, biografi, juga sejarah. Inilah tempat yang sering kukunjungi.

Dari dulu, aku sangat suka membaca di tempat ini. Karena dari sinilah aku bisa tahu tentang dunia ini sepenuhnya. Jika bukan karena perpustakaan ini, aku takkan tahu tentang negeri-negeri di luar kerajaan ini, ras-ras selain manusia dan elvian, monster dan tumbuhan yang aneh-aneh, juga sejarah masa lalu yang begitu mengagumkan.

Hanya satu yang kurang dari tempat ini. Mereka tidak memiliki banyak buku tentang Esze, cuma beberapa yang bisa dihitung dengan jari. Itu pun hanya sekedar menyebutkan saja. Padahal aku mengharapkan ada buku yang mengulas lebih jauh tentang elvian. Baik pengenalan jenis-jenisnya, pembelajaran untuk menguasainya, maupun sejarahnya. Aku mengerti sih. Ini perpustakaan di negeri manusia yang tak memiliki kemampuan untuk mengendalikan Esze. Tidak mungkin mereka menulis sesuatu hal yang mustahil mereka lakukan.

Aku penasaran dengan Kerajaan Elvian Barat. Mungkin di perpustakaan mereka punya banyak buku tentang Esze. Tapi dipikir-pikir tak ada gunanya aku memusingkan hal itu.

Setelah memilih dan mengambil beberapa buku dari rak, aku segera menuju kumpulan meja-meja yang berada di sudut ruangan. Tidak begitu banyak pengunjung hari ini, jadi ada banyak tempat kosong yang bebas dipilih. Pilihanku jatuh pada salah satu meja yang menempel ke dinding dan dekat jendela.

Ini adalah tempat terbaik untuk membaca. Selain bisa mendapatkan cukup cahaya sang surya. Kau juga bisa menghirup udara segar pagi hari kalau membuka sedikit celah jendelanya. Membiarkan angin membelaimu saat membaca, membuatmu lebih nyaman dan tenang.

Lima jam berlalu tanpa sadar setelah terlarut ke dalam buku-buku yang berada di atas meja. Sekarang sudah lewat waktunya makan siang, namun perutku belum lapar. Sepertinya membaca menjadi prioritas utamaku dari pada makan. Informasi yang kudapat begitu menarik.

Buku-buku yang kupilih mengulas tentang semua dewa-dewi yang disembah di dunia ini. Setelah menyaksikan Festival Matahari dan Festival Rubiel beberapa bulan yang lalu, aku menjadi tertarik dengan dewa-dewi yang lain. Ternyata dunia ini memiliki dan mempercayai dua belas dewa-dewi selain Dewa Lillio dan Dewi Lunaris. Mereka dikenal dengan Dua Belas Dewa Suci, yang dipimpin oleh Dewa Keagungan, Inggra.

Dikatakan bahwa para dewa-dewi awalnya tinggal di atas kahyangan, memisahkan diri dari makhluk yang berada di permukaan bumi. Manusia sebagai mahkluk tercerdas yang ada di permukaan, mulai kesulitan bertahan hidup di bawah bayang-bayang monster dan binatang buas raksasa. Mereka sering dimangsa. Tingkat kematian lebih banyak dari tingkat kelahiran. Jumlah manusia menyusut hingga ke sekitar sepuluh ribu dari awalnya yang berjumlah satu juta.

Pada saat yang krusial, Dewa Inggra memerintahkan semua dewa-dewi turun ke bumi. Memberi titah pada mereka untuk menyelamatkan seluruh manusia. Dengan kekuatan yang mahadahysat, para dewa-dewi membinasakan monster dan binatang buas yang berani memangsa manusia. Kemudian menciptakan tiga benua di bumi ini. Benua Biru untuk ditinggali manusia, tempat yang kutinggali saat ini. Benua Hijau untuk para makhluk mistis. Sementara Benua Hitam untuk para monster dan binatang-binatang raksasa. Dewa Inggra memisahkan setiap benua dengan lautan yang membentang luas, agar mereka tidak saling menganggu satu sama lain.

Kumpulan buku ini kembali berhasil menenggelamkanku ke dalam dunianya hingga waktu berlalu sangat cepat. Petang telah datang menjelang. Langit berwarna jingga dan awan kelabu menghiasi angkasa. Matahari sudah akan terbenam di ufuk barat. Kawanan burung terbang dan berkicau di atas bangunan. Mungkin mereka hendak pulang. Begitulah seharusnya.

Aku harus pulang sebelum malam, atau akan melewatkan makan malam. Setelah selesai membaca, aku berniat menutup bukunya. Namun tertahan seketika tatkala ada sebuah halaman yang menarik. 'Kristal Roh Indemnius Para Dewa'.

Kupicingkan mata dan memastikan membacanya dengan benar. Tidak ada yang salah dengan tulisannya. Satu-satunya hal yang aneh adalah ini kali pertama aku mendengar istilah itu. Bahkan di antara beberapa buku tentang dewa yang baru saja kubaca, tak ada satu pun yang menyebutkan tentang itu. Rasa penasaran membuatku mengabaikan waktu malam yang datang dan membuka halaman selanjutnya.

Menurut buku ini, Kristal Roh Indemnius adalah benda pusaka milik para dewa-dewi. Masing-masing dewa dan dewi memiliki satu. Benda inilah yang menjaga stabilitas dunia dari dulu hingga kini. Walaupun memiliki nama 'kristal roh', benda ini sama sekali tak berbentuk seperti sepotong kristal.

Misalnya saja Kristal Roh Angin, Vitruj, milik Dewi Cuaca, Alina, Mempunyai bentuk jubah yang biasa dikenakan pengembara di gurun pasir. Benda pusaka ini memiliki kekuatan mengendalikan angin dan cuaca. Kekuatan yang sangat menakjubkan, menurutku. Begitu juga halnya dengan kristal-kristal roh yang lain. Tiba-tiba mataku tertuju pada satu titik di halaman itu.

'... yang paling luar biasa bukanlah kristal roh milik Dewa Inggra atau Dewi Alina. Melainkan Kristal Roh Harapan yang bernama Nadzieja. Dimiliki oleh Dewi Shakilla sebagai Dewi Harapan. Seorang dewi yang memiliki hati yang sangat tulus dan baik hati di antara para dewa dan dewi. Nadzieja memiliki kemampuan untuk mengabulkan harapan apa pun meskipun hal itu mustahil.

'Kristal roh ini terbilang paling kecil dari yang lainnya. Mengambil bentuk sebuah pin dengan ukiran bintang segidelapan, menjadikannya simbol harapan untuk umat manusia.'

Aku langsung tercengang. Menutup mulut ketika membaca halaman itu. Aku membaca ulang bagian terakhir dan mencoba memahaminya.

Tidak mungkin. Pin bintang segidelapan? Bukankah itu benda yang kupungut setahun yang lalu dari dalam sungai saat pelantikan klub?

Sekali lagi, aku tertegun. Kakiku lemas seketika. "Itu artinya ... aku terbawa ke dunia ini karena kristal roh itu?"