webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
53 Chs

Chapter 01 "Benda Misterius"

Awan berwarna kelabu bergerumul di angkasa, menurunkan jutaan titik air hujan adalah hal yang kulihat saat pertama kali membuka mata. Tubuhku terombang-ambing di atas laut yang tengah diterjang badai besar. Di atas sebuah kapal perang yang akan segera karam. Serbuan puluhan meriam akhirnya mampu melubangi lambung kapal terbesar dan terkuat seantero samudera. Kapal miring 45 derajat ke kiri. Membuat benda-benda bergeser ke salah satu sisi.

Sebuah peti kayu membentur kepalaku sebelum akhirnya menabrak pagar dan tercebur ke dalam laut. Nasibku akan berakhir sama jika saja tiang pancang tak menahan laju badanku. Napasku sesak. Kapal ini dalam keadaan terbakar. Lidah api terlihat dimana-mana. Menjilat apa pun yang bisa dilahap. Hujan deras tak mampu memadamkannya, justru membuatnya semakin parah. Sebuah ledakan terdengar lagi dari lambung kapal. Suaranya memekakkan telinga. Menggetarkan seluruh isi kapal. Asap tebal menyusul menyerebak mengikuti arah angin, ke atas dek ini.

Jika saja tubuhku bisa digerakkan, sudah kulakukan dari tadi. Namun aku tak bisa. Sebuah luka tusukan di perut menahanku di atas kapal ini. Menguras darah, menguras tenaga, serta menguras harapan. Belum lagi memar dan luka lainnya yang ada di sekujur badan. Yang justru membuatku bersyukur masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Suara dentuman meriam terdengar saling bersahutan. Begitu pula dengan dentingan logam dan gemuruh petir menggelora di udara. Mesin-mesin kapal semakin menderu kencang. Mereka tak peduli. Mereka berpura-pura tidak melihat. Ribuan orang yang gugur dan terluka diabaikan demi kemenangan masing-masing kubu. Tak ada satu pun yang yang berniat mengalah. Maju dan menang, itulah yang ada di pikiran semua orang di lautan ini.

Termasuk diriku, yang harus kandas memperjuangkan harapan semua orang. Rasa sakit dari lukaku mulai mematikan seluruh indera. Tak bisa bergerak. Tak bisa mendengar. Juga tak bisa melihat. Yang bisa kulakukan hanyalah pasrah menerima keadaan. Berteman dengan kegelapan yang mulai menyelimuti. Ketenangan ini satu-satunya kemewahan yang tidak pernah kurasakan selama perang berkecamuk. Entah mengapa aku jadi teringat memori beberapa tahun yang lalu. Dahulu, aku pernah merasakan ketenangan seperti ini. Ketika tubuhku terapung-apung di dimensi lain. Mendadak aku jadi rindu masa lalu.

Masa di mana aku ... memulai segalanya.

=====================

'Botak' adalah nama panggilannya. Diambil dari gaya rambutnya yang cepak seperti bintara. Saat rambutnya tumbuh panjang, ia akan memangkasnya dengan potongan yang sama. Karena itulah kata 'Botak' selalu melekat pada dirinya. Namun hanya rekan-rekan seangkatannya saja yang berani memanggilnya begitu. Bagi kami yang masih anggota baru, melakukannya sama saja cari mati.

"Hei, Boncel! Berikan kecap itu!" perintahnya yang duduk di seberangku.

Tanganku gemetar setelah mendengar suaranya yang mengagetkan, mencoba memberikan sebotol kecap manis dari dalam kantung plastik. Sumber cahaya di kegelapan ini hanya api unggun dan lampu pijar. Saat ingin memberikannya, angin gunung yang tiba-tiba menerjang ditambah mataku yang kurang awas membuatku menjatuhkannya tidak sengaja.

"Hei, kau bodoh, ya! Berikan dengan hati-hati!!" ia menghardikku dengan suara yang tinggi.

"I-Iya! Maaf, Kak Indra!"

Tanganku dengan tergesa-gesa memungut botol itu kembali, kemudian memberikan padanya. Dalam sesaat, pandangannya menusukku dengan dalam. Aku menelan ludahku saat mengamati otot lengannya yang terbentuk nyaris sempurna. Dengan berlatar pepohonan besar yang disirami cahaya dari pijaran api, sosoknya yang sedang memanggang ikan mirip dengan seorang tentara yang sedang bertahan hidup di alam liar.

Indra Pradipta atau 'Si Botak', saat ini aku berhadapan dengan lelaki yang menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk berolahraga dan membentuk ototnya. Tak ayal, kini bentuk tubuhnya tak kalah dari binaragawan profesional yang sering muncul di televisi. Dengan postur seperti itu, jangankan sesama anak sekolah, aku yakin banyak orang dewasa yang merasa segan dengannya.

Dibandingkan denganku yang bertubuh kurus dan kecil, aku seperti batu kerikil baginya. Maka wajar kalau aku merasa sedikit takut padanya.

"Haha. Jangan galak-galak dong, Kapten! Kasihan Anggi sampai ketakutan seperti itu," tukas gadis yang baru datang dan langsung mengusap-usap kepalaku. Tangannya yang baru saja memungut kayu bakar di hutan, memberikan serpihan debu dan tanah pada rambutku. Kemudian menaruh kayu bakar itu dekat dengan tenda kemah besar.

"Masa' hanya segitu saja takut? Jadi laki jangan cengeng!"

Saat ini aku sedang mengikuti kegiatan pelantikan anggota baru eskul Karate di lereng gunung. Tempat ini jauh dari kota dan keramaian, kondisi alam pun tampak buas, cocok untuk menggembleng mental para anggota baru.

"Jangan dimasukan ke hati! Perkataannya memang keras, tapi sebetulnya hatinya baik," ujar gadis itu.

"I-Iya!"

Shella Rinjani, perempuan yang seangkatan dengan Kak Indra, dia adalah kakak kelas yang selalu memberi semangat dan mendengarkan keluh kesah orang lain dengan penuh perhatian. Tipe seorang kakak yang bisa menjadi tempat bersandar adik-adiknya. Dengan padanan wajah yang sangat oriental, membuatnya populer di kalangan laki-laki. Sepertinya banyak juga anggota klub eskul Karate ini yang bergabung demi dirinya.

Yah, tapi itu tak ada urusannya denganku, sih. Dari pada mengejar-ngejar seorang gadis, aku lebih memilih untuk mencari cara bagaimana menjadi lebih jantan seratus kali lipat dari sekarang. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku memiliki tubuh pendek dan kecil. Karena keadaanku inilah yang membuat banyak orang sering mengerjaiku dan memanggilku dengan sebutan 'cebol' atau 'boncel'. Sakit hati sudah jelas, tapi karena sudah biasa mendengarnya, kata itu seakan menjadi nama tengahku.

Seringnya perundungan yang kualami di masa lalu membuat mentalku menjadi lembek. Pada saat masa-masa kelamku di SMP, aku selalu pasrah ketika teman sekelas atau kakak kelas membuliku. Aku sering dipalak, dijadikan tukang suruh-suruh, atau dikerjai habis-habisan hanya untuk menjadi bahan tertawaan mereka ketika sedang bosan. Tentu saja hati ini ingin melawan, tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Karena meskipun aku melawan, dengan kekuatanku yang seperti ini tetap akan kalah pada akhirnya.

Oleh sebab itulah, aku ingin merubah diriku ketika masuk SMA. Aku mencoba masuk eskul bela diri yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku sama sekali. Aku giat mengikuti setiap arahan dan materi dari pelatih. Tentu saja, pada awalnya aku sangat kesulitan mengikuti eskul ini karena tubuh dan staminaku yang lemah. Namun aku sangat bersyukur, karena semua anggota Karate tak ada yang membuliku. Justru mereka selalu memberi semangat dan dorongan padaku.

Aku bersyukur pengalaman pahit saat SMP tak terulang kembali.

"Di mana Dimas? Yang lainnya juga ke mana?" ujar Kak Shella yang tiba-tiba datang menepuk pundakku dari belakang.

Mengejutkanku secara tiba-tiba, mulutku tak sengaja mengeluarkan teriakan melengking ala seorang wanita. Kak Indra tiba-tiba memicingkan matanya kemari. Mungkin dia merasa risih dengan suaraku.

Kuputuskan untuk mengabaikannya dan menoleh pada Kak Shella, "yang lainnya aku tidak tahu. Kalau Dimas tadi pergi ke sungai. Dia bilang ingin mencuci bajunya, soalnya tadi ia sempat terjatuh ke lumpur."

"Hmm, begitu. Padahal aku ingin memintanya untuk meracik bumbu. Kalau tidak salah, dia tadi bilang akan membantuku memasak. Tapi, sebenarnya dia bisa memasak, tidak?"

"Tentu saja bisa. Dia kan anak dari pengusaha restoran. Tak perlu ditanya kualitas masakannya. Aku jamin rasanya lezat." Sepertinya jawaban menghapus keraguannya. "Perlu kupanggilkan?"

"Kalau bisa, aku akan sangat tertolong," jawab Shella sembari tersenyum lebar.

"Baik, akan kupanggilkan Dimas."

"Hati-hati! Pastikan kau tidak tertelan buaya!" celetuk Kak Indra. Keberadaan binatang itu nyaris mustahil berada di hilir sungai yang dangkal, apalagi di gunung ini. Namun wajahnya terlalu serius untuk dianggap bercanda.

Aku yang terintimidasi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab, dan segera pergi. Dari balik punggungku suara pukulan pelan diiringi suara tawa kecil milik Kak Shella tertangkap oleh telingaku. Sepertinya wanita itu memukul kapten karena telah menakutiku sebelumnya.

Mengabaikan mereka yang tertawa terkekeh-kekeh, aku segera meninggalkan tempat itu. Berbekal penerangan dari lampu senter ponsel, aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Keadaan di sekitar sangat gelap, aku harus memperhatikan dengan baik tempatku berpijak jika aku tak mau terjatuh. Selain berbatu, jalan setapak ini dipenuhi pula akar-akar pepohonan yang tumbuh di kedua sisi jalan.

Di selimuti ketakutan, kepalaku refleks menoleh ke kanan-kiri ketika ada suara binatang yang terdengar. Terkadang ada suara burung yang hinggap di dahan pohon di atasku, dan beberapa kali telingaku menangkap suara lolongan seperti serigala. Sifat asliku yang pengecut membuat tubuhku merinding setiap kali mendengar suara yang tak kuketahui. Tapi, aku memutuskan untuk menahan rasa takutku untuk mempercepat langkahku dan menemukan Dimas secepatnya.

Semakin aku melangkah, semakin jelas telingaku mendengar suara gemericik air. Angin dingin berhembus di sela-sela batang pepohonan dan menggelitik tubuhku. Kudekapkan kedua tanganku guna menghangatkan badan, lalu menerobos terpaan angin itu.

Ketika suara air sampai pada titik di mana sangat jelas aku mendengarnya, aku tiba di tepi sungai yang cukup besar. Aliran airnya tidak terlalu deras, sehingga menimbulkan harmoni suara yang cukup syahdu di malam ini. Sebuah tempat yang menenangkan di tengah hutan yang mencekam, pikirku.

Seketika itu kedua telingaku menangkap suara air yang tidak biasa. Bunyinya terdengar kasar dan berbeda dari arus sungai. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Mataku menemukan air yang jatuh dengan deras dari sepotong pakaian yang diperas.

"Dimas!" sahutku pada orang yang duduk di atas batu. Letaknya tidak terlalu jauh dari tepi sungai tempatku berpijak.

Entah karena suaraku yang terlalu kecil atau lelaki itu tengah fokus mencuci bajunya, ia tak mendengar suaraku. Aku tidak bisa bersuara lebih keras lagi, jadi aku berjalan mendekatinya dan menyapanya.

"Hei!" ujarku sembari menyentuh bahunya yang tak tertutupi baju.

Dimas sedikit terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba. Wajahnya menunjukan sedikit emosi, namun ia tahan saat melihat orang yang mengejutkannya adalah diriku.

"Sialan kau! Aku kaget, tahu!" semburnya seraya mencipratkan air sungai padaku. Bajuku di sekitar dada kiri sampai basah karenanya. Setelah meluapkan kekesalannya, ia tersenyum kegirangan saat pembalasan kecilnya berhasil.

"Hei, mengapa kau melakukan itu? Padahal aku tak sengaja melakukannya."

"Sengaja atau tidak sengaja, kau tetap mengagetkanku," kata Dimas. Mengetahui aku takkan membalas ucapannya, ia melanjutkan, "ada apa kau kemari? Kalau kau cuma ingin mengangguku, sebaiknya pergi saja."

"Jahatnya! Padahal aku hanya mengagetkanmu saja. Sebelumnya kau berjanji pada Kak Shella untuk membantunya memasak, kan? Sekarang ia menagihnya."

"Ah, benar! Baiklah, tapi tunggu setelah selesai mencuci bajuku dulu."

Lelaki itu kembali menceburkan bajunya ke dalam air dan menggosok-gosokan sebuah batu pada bagian yang kotor. Setelah bersih, ia mengulanginya pada bagian kotor yang lain.

Aku duduk di atas batu yang terletak di tepi sungai dan menunggu Dimas selesai. Bagian tubuh atasnya tak mengenakan apa pun, jadi aku bisa jelas mengamatinya dari belakang. Otot lengannya dan punggungnya walaupun tak sempurna seperti milik Kak Indra, mulai terbentuk indah seperti atlet. Ia memiliki bentuk tubuh ideal yang sangat kuimpikan.

Lalu aku melihat sendiri lenganku. Kurus, tak berotot, bahkan terlihat rapuh. Sepertinya untuk mengejarnya aku masih harus melalui jalan yang sangat panjang dan bertingkat. Menyadari hal yang menyedihkan itu membuatku tertawa sendiri.

"Hei ... kau gila, ya?! Mengapa tertawa sendiri?" ejek Dimas yang mendengar suara tawaku.

Sedikit tersipu malu, aku menundukan wajahku. "Tidak. Aku hanya menertawakan diriku sendiri."

Lelaki itu memandangku dengan tatapan aneh. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak seraya menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku harus mengakui ucapan Kak Shella terdahulu, Dimas cukup menawan saat tersenyum. Meskipun aku pria, namun aku tak bisa membantahnya. Pantas saja banyak perempuan yang mengejar-ngejarnya selama ini di sekolah.

Muncul lagi satu poin yang membuatku iri padanya. Orang yang bernama Dimas Permana ini adalah teman masa kecilku. Dia memiliki wajah putih dan hidung super mancung ala jazirah Arab. Mungkin ia mewarisi hal ini dari ayahnya yang keturunan Yaman. Tinggi badannya dapat dibanggakan untuk ukuran remaja yang baru saja menginjak SMA.

Ia mungkin tak begitu pandai di bidang akademis. Namun bila menyangkut soal non-akademis, ia tak bisa dianggap remeh. Dalam bidang atletik dan olahraga, ia selalu menjadi jawara di antara satu angkatan. Dimas juga memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Dahulu ia menekuni pencak silat, kemudian ia beralih ke wushu, dan sekarang ia mencoba untuk masuk ke dunia karate.

Tiba-tiba terbesit pikiran yang menggelitik dalam kepalaku. Jika Dimas bertarung melawan Kak Indra, siapa yang akan menang, ya?

"Saat aku pertama kali bertemu denganmu, kukira kau itu anak yang aneh. Tapi sekarang aku yakin, kau sudah menjadi lebih aneh saat ini!" ujarnya sembari tertawa.

Meskipun terkadang ucapannya terdengar kasar, namun hatinya tak seperti itu. Aku berani mengatakan itu. Karena dialah yang selalu datang membelaku ketika sedang dibuli. Bagiku, ia adalah seorang pahlawan penyelamat seperti di film-film.

"Ayo kita kembali! Aku ingin ganti baju!" ajak Dimas setelah melakukan perasan terakhir pada bajunya. "Kuharap baju ini bisa kering besok pagi."

Aku mengangguk pelan. Lelaki itu turun dari atas batu. Tangannya memegang baju basah yang baru saja ia cuci. Kemudian berjalan menyusuri tepian sungai dengan tubuh bagian atas terbuka. Hal yang cukup ekstrem di saat angin berhembus dengan semilir. Belum lagi ditambah hawa dingin malam di gunung yang bersuhu rendah. Itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Dimas. Tapi untukku, hal itu sudah cukup membuatku lemas dan kehilangan kesadaran.

Tepat di belakangnya, aku berjalan mengikuti langkahnya. Perbedaan panjang kaki membuat jarak di antara kami melebar beberapa kali. Daripada memintanya untuk menyesuaikan kecepatanku, aku lebih berusaha menyamakan kecepatannya. Berjalan cepat di atas batu-batu kecil di tepi sungai cukup sulit. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan karena batu yang kupijak, tiba-tiba saja bergulir ke samping. Aku sengaja tak memberi tahu Dimas supaya ia tidak menganggapku lemah. Sekaligus berusaha tak membuatnya khawatir.

Tiba-tiba saja, mataku secara tak sengaja menangkap sebuah kilatan cahaya keemasan dari dasar sungai. Kemudian aku menghentikan langkah dan mencoba mengamati dengan seksama. Entah mengapa aku sangat penasaran dengan ini. Ada kemungkinan itu sebuah logam. Namun buru-buru kutepis pikiran itu. Meski logam sekali pun, sangat mustahil bisa memantulkan cahaya bila tak ada sumbernya. Hutan ini cukup gelap. Penerangan di sini hanya lampu senter dari ponselku serta cahaya bulan yang redup, yang kupikir sangat lemah untuk bisa menembus ke dasar sungai.

"Hei, ada apa?" tanya Dimas yang menyadariku terdiam. Namun aku mengabaikanya. Tidak beberapa lama kemudian, kilauan cahaya itu kembali terlihat. Kali ini cukup terang dan jelas, hingga membuatku percaya bahwa itu bukanlah halusinasi semata.

"Lihat!? Apa kau lihat cahaya itu?" ucapku seraya menunjuk ke arah cahaya misterius yang kini sudah lenyap.

"Cahaya!? Aku tidak lihat apa pun. Matamu kelilipan apa?"

Aku bisa lihat ekspresi kesungguhan di wajah pria itu. Dimas memang suka bercanda, tapi karena sudah lama bersamanya aku bisa tahu kapan ia sedang bercanda atau serius. Cahaya itu sekali lagi berkilau, akan tetapi Dimas kembali mengaku tak melihatnya.

Ini cukup aneh. Karena aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Sedetik kemudian, entah apa yang merasuki raga ini, aku mencoba masuk ke dalam sungai setelah melepas alas kaki. Dengan mengindahkan peringatan Dimas yang terus meneriakiku, otomatis membawa diriku ke luar dari tanggung jawabnya bila sesuatu terjadi. Telapak kakiku merasakan dinginnya air sungai dan tajamnya permukaan batu sungai di saat yang bersamaan. Dengan perlahan, aku terus mendekat ke arah cahaya keemasan yang berpendar berulang kali.

Semakin aku menuju tengah sungai, maka semakin dalam pula permukaan airnya menelan tubuhku. Air sudah membasahi punggung dan dadaku. Aku tidak pernah mengira sungainya akan sedalam ini. Rasa penasaran membantu mengalahkan rasa takutku dan membuatku terus melangkah ke depan. Selangkah demi selangkah, jarak diriku dan sumber cahaya itu semakin menipis. Sepertinya tidak butuh waktu lama lagi untuk—.

Tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbangan. Karena salah perhitungan, aku tak mengira pijakan kakiku selanjutnya jauh lebih dalam dari sebelumnya. Arus yang cukup deras di tengah sungai, membuat tubuhku tenggelam hingga menyentuh bebatuan. Kucoba mengepak-ngepakkan tangan dan menendang-nendang dasar sungai agar bisa kembali ke permukaan. Napasku semakin sesak setiap detiknya, seakan ada sesuatu yang mencekik leherku dan membuatku kesulitan bernapas. Saat itu aku baru saja tersadar, bila aku tak bisa berenang.

Aku terus mencoba dan mencoba sebisaku untuk kembali mengapung. Tapi itu tidak berguna. Di saat berpikir bahwa dasar sungai adalah tempat terakhirku, tiba-tiba ada sesuatu yang membuatku bertahan walau untuk semenit lagi. Tepat ketika berada di dasar sungai, mataku tertuju pada sesuatu. Itu adalah sumber cahaya keemasan yang berkilauan sebelumnya. Dasar sungai ini begitu gelap, aku tidak bisa melihat apa pun selain cahaya itu. Dengan susah payah, aku mencoba mendekat ke arah cahaya itu.

Tapi ada sesuatu yang menahanku menggapainya. Sebuah kekuatan besar menarik tubuhku ke atas. Ketika aku membalikan badan, aku mendapati Dimas yang berusaha untuk menyelamatkanku. Dengan sekuat tenaga lelaki itu menarik tubuhku ke atas. Aku sedikit melawan dan bertahan. Bukan tidak ingin diselamatkan olehnya. Namun karena ingin mendapatkan sesuatu yang nyaris diraih dengan kemampuanku sendiri. Kuulurkan tangan untuk menggapai cahaya itu. Namun tak sedikit pun ujung jariku menyentuhnya. Hingga pada akhirnya, Dimas menggunakan seluruh kekuatannya untuk membawaku kembali ke atas.

"Haah ... hhh."

Dalam beberapa detik setelahnya, aku menghirup oksigen sebanyak mungkin setelah berada di permukaan sungai. Kemudian Dimas menyeretku ke tepian sungai guna menjauh dari tempat yang nyaris menghilangkan nyawaku.

Aku terbungkuk di atas tanah dan mencoba mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhku. Keberadaan air di dalam paru-paru membuatku terbatuk-batuk. Tapi hal ini masih lebih bagus dari pada harus terbenam selamanya di dasar sungai yang gelap. Aku cukup beruntung masih bisa hidup dan menceritakan pengalaman antara hidup dan mati ini pada orang lain keesokan harinya. Jika saja Dimas tidak menolongku, mungkin saat ini aku—.

"Dasar tolol!!! Kau pikir apa yang kau lakukan tadi, hah!!?" bentak Dimas dengan suara yang keras. "Mengapa kau seenaknya saja menantang bahaya? Memangnya kau punya berapa banyak nyawa? Kau kira aku akan selalu ada di sampingmu dan menolongmu, hah? Bagaimana kalau aku tadi tidak ada di sini? Kau pasti sudah jadi mayat sekarang!!"

Ucapannya menggentarkan ruang hatiku. Meretakkannya, tapi tak membuatnya hancur. Tapi dia benar. Ini semua kesalahanku. Aku merasa malu. Begitu sangat malu dan menyesal hingga Dimas yang selalu baik padaku, murka sejadi-jadinya. Semua yang terjadi membuatku menundukan kepala dan hanya bisa mengucapkan sepatah kata, "maaf! Aku yang salah."

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Dimas. Ia hanya melihatku dengan tatapan iba. Lalu menggaruk-garuk kepalanya dan menghela napas panjang. "Sudahlah! Yang penting kau selamat. Ayo kita segera kembali ke perkemahan dan mengeringkan diri." Lelaki itu membalikan badannya sembari menggerutu. "Sial! Tak hanya baju, seluruh tubuhku jadi basah semua!"

Ketika ia sudah melangkah jauh, aku mulai memberanikan diri mengangkat kepala. Jujur dalam hati, aku sangat berterima kasih sekaligus menyesal pada Dimas. Terima kasih karena sudah mau menyelamatkanku, dan menyesal karena sudah membuatnya khawatir.

Setelah memastikan lelaki itu sudah agak jauh dariku, aku membuka genggamanku. Di dalam telapak tangan kananku, terdapat sebuah benda kecil berbentuk poligon dengan ukiran bintang segidelapan. Memiliki dua sisi yang berlawanan. Satu sisi tampak menggembung dengan tulisan semacam aksara kuno. Sementara di sisi yang rata terdapat seperti pengait kecil dan sepucuk jarum. Bukankah ini semacam pin?

Aku mengamatinya lagi dengan seksama. Tak salah lagi, ini adalah sumber cahaya misterius yang kulihat sebelumnya di dasar sungai. Aku sangat yakin itu. Karena setelah kuambil benda ini, aku tak melihat lagi kilauan cahaya keemasan dari sana. Yang membuatku keheranan adalah benda ini tak lagi bersinar setelah kuangkat ke permukaan. Seakan benda ini memberi sinyal padaku untuk membawanya keluar dari dasar sungai.

"Benda apa ini sebetulnya?"