webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · Urban
Zu wenig Bewertungen
124 Chs

Yang Sulit Bicara

Adhinatha baru menurunkan tubuh Regina di dekat pintu mobilnya. Tujuannya jelas, membuat wanita itu tidak bisa ke mana-mana lagi karena begitu Regina diturunkan, Adhi langsung mendorong wanita itu untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Jalan, Pak," ujar pria itu begitu pintu tertutup dan dikunci. Regina sudah tidak bisa lagi melawan lagi. Mau kabur juga tidak ada celah. Jadi satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya duduk diam dan terpaksa menurut.

Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam dalam duduknya. Benar-benar dua orang asing yang sulit disatukan.

Adhinatha membuang pandangannya ke samping, seolah sesuatu di luar sana jauh lebih menarik daripada Regina —calon istrinya. Sedangkan Regina? Bahkan sejak dia masuk ke mobil kepalanya terus menoleh ke kiri, pada apapun di luar jendela sana selama bukan menoleh ke kanan menatap Adhi.

Dia bahkan harus merelakan lehernya pegal bukan main karena terus menoleh ke samping. Tidak apa, Regina bisa menahan penderitaan semacam itu selama apapun.

Mobil mereka akhirnya merapat pada parkiran sebuah restoran bernuansa alam yang sejuk. Sepersekian detik Regina bahkan seolah tersihir saat merasakan ada tempat sesejuk dan seasri ini ini di tengah ibukota yang super panas dan gersang.

Adhi berjalan memimpin seperti biasanya. Diikuti Regina di belakangnya, mereka benar-benar tidak seperti pasangan calon pengantin pada umumnya.

Reservasi meja sudah dilakukan sejak pukul sepuluh siang. Sekretaris Adhi yang melakukannya. Jadi, begitu keduanya sampai, seorang pramusaji langsung menyambut dengan senyum ramah dan menunjukkan di mana meja mereka berada.

Meja itu terletak di lantai dua, dengan ruang terbuka yang sekelilingnya terdapat pot-pot berisi tanaman hijau, juga atap yang berupa dedaunan pohon anggur yang membentang di ketinggian dua meter di atas lantai yang dia pijak.

"Dari mana kamu bisa tahu ada restoran semacam ini?" tanya Regina setelah puas menatap sekeliling dengan senyum takjub.

"Sekretarisku," jawab Adhi ikut tersenyum. "Dia bisa diandalkan untuk merancang hal-hal semacam ini," sambungnya yang dibalas dengan kernyitan alis wanita itu.

"Wow, sekretarismu pasti berperan sangat besar akan kemajuan karirmu juga," balas Regina yang ditanggapi dengan anggukan.

"Ya, she did."

"Dan kamu pasti tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa sekretarismu itu."

Kenapa nada bicaranya begitu meremehkan?

Adhinatha mendelik tidak suka dengan apa yang baru saja Regina ucapkan. "Kata siapa aku tidak bisa berdiri sendiri?"

"Memang bisa?"

"Bisa!"

"Oh, waw aku meragukan itu. Bahkan untuk hal sederhana semacam ini saja kamu masih dibantu sekretarismu, apalagi hal-hal besar terkait pekerjaan? Hah ... tentu saja. Meskipun kamu anak tunggal yang bahkan masih memakai popok dan tidak bisa melakukan apapun selain buang air dan menangis, kamu tetaplah sang pewaris tahta yang perlu dilayani dan dibantu segala macam halnya. Tidak perlu bersusah payah seperti orang-orang, bukan? Karena semua itu otomatis kamu dapat hanya karena di dalam darahmu mengalir darah ayahmu. Jadi bukan karena kamu kompeten atau sebagainya, tapi memang tidak ada kandidat lain saja, 'kan?"

"Apa selama ini kamu tidak pernah menyerap pelajaran ilmu tata krama dan cara bersikap yang orangtuamu ajarkan, Regina? Karena yang kamu katakan tadi jelas tidak mencerminkan wanita beradab, cerdas, dan pimpinan perusahaan yang dipuji sana sini."

"Apa katamu?"

"Sudahlah, kita pesan saja. Kamu mau kita berdebat terus sampai pagi? Iya?" Regina bungkam. "Aku sih tidak masalah, tapi bukannya perusahaanmu itu membutuhkan bossnya yang cerewet dan suka mengatur ini? Jadi lebih baik kita cepat makan biar aku bisa mengembalikanmu ke proyek bangunan tadi."

Regina mendecih, meraih buku menu dan membukanya dengan kasar. Seorang pelayan datang dengan buku catatan dan bolpoinnya begitu Adhi mengangkat tangannya.

"Saya pesan ini," tunjuk Adhi pada sebuah menu berbahan dasar daging domba yang diolah menjadi sebuah steak dengan tampilan begitu cantik dan elegan.

"Cepatlah pilih makanan yang mau kamu makan. Tidak kasihan memangnya? Mbaknya sudah berdiri terlalu lama hanya untuk menunggumu memilih menu. Bisa-bisa dia kram."

"Mulutmu bisa diam tidak, huh? Aku sedang berpikir!"

Adhinatha mengangkat bahunya. "Katanya cerdas. Tapi memilih menu saja lamanya sudah seperti orang ujian matematika. Tck!"

Regina yang menunduk pada buku menunya mendongak dengan tatapan tajam. Jemarinya mengepal menahan emosinya yang siap meledak. "Kamu laki-laki apa perempuan, sih? Bibirnya tidak bisa diam sama sekali. Mau dibungkam paksa dengan garpu ini, huh?"

Ancaman Regina akhirnya membuat Adhinatha diam. Wanita itu akhirnya memutuskan pilihannya pada menu daging sapi yang dimasak menjadi sebuah sup. Dengan satu gelas mojito yang segar, Regina mencukupkan pilihannya.

"Baik saya bacakan ulang ya menunya."

Dan keduanya pun menyimak dengan baik apa saja yang mereka pesan. Begitu selesai, pelayan itu pamit membuat Adhi maupun Regina menyunggingkan senyumnya ramah.

Begitu pelayan itu pergi senyum itu pun sama, memudar dan hilang diganti dengan raut masam.

"Besok malam ke rumahku. Ibu ingin kamu datang."

"Excuse me?"

"Kamu tidak berpikir aku akan mengajakmu makan siang tanpa maksud apapun, 'kan?"

"Jadi karena kamu ingin menyuruhku datang ke rumah sampai repot-repot mengajakku makan siang?"

Adhi mengangguk sekenanya.

"Lain kali cukup bicara lewat telepon saja kalau butuh sesuatu. Tidak perlu repot-repot datang." Regina berujar pelan tapi tajam. Harga dirinya tersentil menyadari Adhi repot-repot melakukan ini hanya untuk suatu maksud bukan karena niat menjadi lebih dekat.

Bukan berarti Regina berharap lebih. Tapi mendengar pria itu melakukan ini bukan karena dirinya, jelas harga dirinya sebagai wanita yang senang dikejar itu terluka.

"Aku tiba-tiba tidak bernafsu makan. Aku pulang saja." Regina sudah meraih tas yang sempat dia taruh ke kursi begitu suara Adhi menggebrak meja berhasil membuatnya berjengkit kaget.

"Apa masalahmu, sih?" tanya Adhi dengan raut kesal.

"Apa? Aku tidak punya masalah apapun."

"Kalau begitu diam, duduk, dan makan makananmu dengan patuh, bisa?"

"Aku tidak berselera. Aku mau pulang saja," balas Regina masa bodoh.

"Makanan sudah dipesan."

"Terus?" Regina mengangkat alisnya. "Kalau kamu sayang dengan uangmu, biar aku yang bayarkan makanan kita. Urusan makanannya mau diapakan terserah mereka. Beres, bukan?"

Adhi membuang napas kasar. "Ringan sekali bibirmu bicara. Begini caramu menghargai usaha manusia? Iya?"

Regina menaruh lengannya kembali di meja. Ditatapnya lurus pria yang duduk di depannya itu. "Aku bisa menghargai orang. Bisa sekali. Tapi siapa dulu yang harus aku hargai? Kalau kamu yaaa ... seperti inilah caraku melakukannya. Tidak suka?"

"Sialan! Menyesal aku mengajakmu ke sini. Kamu memang tidak bisa diajak bicara, ya? Dasar wanita keras!"

Regina bangkit berdiri dengan rahang mengetat dan raut mengeras. "Aku pergi."

***

bersambung

Halooo. Maaf ya lama banget nggak update. Semoga tetep nungguin. Salam, etdauncokelat.

etdauncokelatcreators' thoughts