Regina tidak menyangka kalau dirinya sekarang ini tengah menuruti ucapan pria itu. Memakai gaun, berdandan, Regina benar-benar terlihat niat untuk datang ke rumah 'calon mertua'nya.
Adhi berkata akan datang sepuluh menit lagi. Tapi Regina bahkan sudah menunggu di teras selama lima belas menit tapi pria itu belum muncul juga.
"Dia mempermainkanku atau bagaimana, sih?" kesalnya seraya menekan tombol panggil untuk ke sekian kali.
Mobil berwarna hitam dengan deru halus khas mobil mahal itu merapat pada carport. Pria dengan pakaian semi formal itu turun, langsung menemukan dirinya yang tengah duduk di beranda dengan tatapan kesal.
"Maaf aku terlambat. Tadi ada hal mendesak yang harus aku selesaikan terlebih dahulu."
Regina hanya berdiri, berjalan melewati Adhinatha dengan tatapan dingin lalu melewati pria itu guna masuk ke dalam mobil.
Begini Adhi sudah masuk ke dalam dan duduk di kursi kemudi, Regina sudah mengenakan sabuk pengaman dan menatap lurus ke depan.
"Aku pikir seharusnya aku pamit dulu pada orangtuamu, Regina."
"Tidak perlu."
"Kenapa? Tidak sopan menurutku membawa anak gadis orang tanpa izin orangtuanya."
"Lebih tidak sopan lagi membuat orang menunggu seperti kambing cengo, Dhi."
Dia benar-benar marah.
"Aku sudah minta maaf tadi, 'kan? Kamu tetap kesal?"
"Ya," jawab wanita itu singkat tanpa ragu.
"Baiklah itu hakmu. Aku tidak bisa melarangmu untuk tidak marah padaku, bukan?" Menghela napas, Adhinatha tidak lagi mendebat wanita yang tengah dalam mode kesal itu. Dia sadar dirinya salah karena tidak datang tepat waktu. Dia sadar kalau Regina berhak untuk kesal kepadanya.
Mobil itu melaju dengan keheningan yang meliputi keduanya. Adhi fokus pada kegiatan menyetir mobilnya sedangkan Regina fokus pada pikirannya.
"Ibu orang yang baik, kok. Jangan tegang, ya?" Wanita yang tengah menoleh ke luar jendela itu akhirnya menoleh pada obyek hidup di sampingnya— Adhinatha.
"Aku tidak bilang sedang tegang, bukan?"
Adhinatha mengangguk setuju. "Ya. Kamu sedang marah, bukan tegang."
Memutar kemudi mobilnya sehingga belok ke arah kiri, Adhi kembali melanjutkan kalimatnya, "aku hanya memberikan informasi saja. Mungkin kamu memerlukannya."
Mobil itu akhirnya sampai di kediaman keluarga Prabu setelah menempuh satu jam perjalanan. Mereka berdua langsung disambut oleh salah satu asisten rumah tangga yang tersenyum hangat.
"Den, Non, sudah ditunggu sama Bapak-Ibu. Monggo ...," ucapnya seraya berjalan lebih dulu menjadi penunjuk jalan.
Keduanya dibawa ke halaman samping yang sudah didekorasi sedemikian rupa dengan satu meja bundar dan dua pasang kursi. Ditambah pencahayaan dari lampu taman dan lilin-lilin di meja, membuat nuansa benar-benar syahdu.
"Kalian sudah datang?" sapa Ayu begitu berbalik dan menemukan dua orang yang ditunggu akhirnya datang. Senyumnya lebar, terlihat begitu berbinar. Di sebelahnya, Aryasatya yang malam itu terlihat lebih rapih dari biasanya pun ikut tersenyum.
"Maaf, Ibu, tadi di jalan macet," ujar Adhi sebelum Regina mengatakan yang sebenarnya. Pria itu jelas tidak ingin terkena omelan dari ibunya sendiri karena sudah mampir-mampir dulu tadi. Dia tidak mau masalah tadi diperpanjang dan dirinya kembali mendapat peringatan keras dari ayah ibunya. Dia tidak mau lagi-lagi dibuat tidak berdaya —hanya bisa patuh di bawah kaki ayah ibunya, karena ancaman yang lagi-lagi mereka gunakan sebagai senjata. Dia benci berada dalam posisi tidak punya pilihan.
"Sehat, Sayang?" sapa Ayu pada Regina yang masih berdiri canggung di sebelah Adhinatha. Wanita paruh baya itu mendekat, menggandeng lengan Regina dengan penuh semangat setelah Regina menjawab dengan canggung, "sehat, Tante."
"Jangan panggil aku tante, Regina. Panggil ibu saja, seperti Adhinatha memanggilku ibu."
"Tapi ...." Belum sempat dia menjawab kalimatnya sudah dipotong.
"Setelah kalian menikah, orangtuanya Adhi juga orangtuamu, Gina. Pun sebaliknya, orangtuamu juga menjadi orang tua Adhi." Menjawil hidung Regina gemas, Ayu kembali melanjutkan kalimatnya. "Maka dari itu biasakan panggil ibu, ya?"
Regina mengangguk pasrah begitu dihadiahi tatapan galak saat dirinya hendak menggeleng, tadi.
"Oh iya, Gina sukanya apa? Ibu masakin makanan Italia, apa tidak apa?" tanya Ayu memastikan. Regina sebenarnya tidak begitu suka makanan Italia. Lidahnya cukup Indonesia sekali dan dia suka makanan berkuah. Tapi demi menjaga perasaan Ayu, wanita itu akhirnya mengangguk dengan senyum lebar.
"Suka, kok, Tante."
"Ibu," koreksi Ayu membuat Regina meringis.
"Nah duduklah."
Menurut, Regina pun mengikuti perintah dari calon mertuanya itu.
Adhi duduk di sebelahnya. Meminum air putih hingga tandas, pria itu pun mulai menyantap makanan di meja setelah dipersilahkan oleh ayah ibunya.
"Jadi kalian akhirnya setuju untuk menikah, 'kan?" Kalimat dari Aryasatya itu akhirnya terlontar dan menjadi pengantar untuk obrolan lebih dalam dan lebih beresiko itu.
Obrolan itu mengalir begitu lancar. Aryasatya membahas tentang urusan pekerjaan, hal-hal berbau politik, hingga issue terkini yang mana begitu cocok dengan cara pikir Regina. Mereka bahkan langsung klob begitu pria paruh baya itu melontarkan salah satu issue terpanas yang mana langsung ditanggapi oleh Regina dengan penuh antusias.
Ayu juga tidak mau kalah. Wanita paruh baya itu ikut menarik perhatian Regina dengan membahas soal film, tentang perkembangan fashion, hingga tips kecantikan yang mana hal itu juga menjadi minat Regina.
Obrolan di meja makan itu menjadi riuh sekali dengan Regina yang menjadi bintang utamanya. Mereka berdua seperti mendapatkan anak lagi, perempuan, yang mana selama ini mereka harapkan tapi tidak pernah terwujud.
Eksistensi Adhinatha bahkan seolah tergeser oleh keberadaan Regina. Pria itu sampai sebal sendiri, hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa minat membuat Regina yang duduk di sebelahnya akhirnya menyadari itu.
"Kenapa?" tanya wanita itu yang dibalas dengan gelengan kepala.
"Tidak apa-apa."
'Tidak apa-apa, apanya?' decak Regina dalam hati.
"Kamu harus melihatnya sendiri, Regina. Film itu benar-benar luar biasa. Tentang perjuangan seorang wanita dalam mempertahankan diri setelah terkena bencana dan kehilangan segalanya. Banyak sekali pesan moral yang bisa diambil," ujar Ayu masih sama antuasiasnya seolah perubahan suasana hati Adhinatha sama sekali tidak penting.
"Wah, sepertinya filmnya memang luar biasa. Nanti, deh, kapan-kapan Gina tonton. Kalau sekarang ini sepertinya pekerjaan sedang padat-padatnya, Bu. Jangankan menonton film, pulang tepat waktu saja rasanya sulit."
"Ayah tidak salah memilihmu menjadi calon menantu," ujar Arya menarik minat Regina yang tengah sibuk menusuk makanannya dengan garpu.
"Kamu memang cerdas, pekerja keras dan sangat totalitas. Ayah tidak bisa bayangkan betapa kerennya nanti saat kamu punya anak dan mendidik cucu-cucu kami menjadi anak luar biasa."
Ayu mengangguk antusias. "Benar, Mas. Aku juga tidak sabar melihat bagaimana anak hasil perpaduan dua anak ini. Dan yang paling menggembirakan ... akhirnya aku punya anak perempuan yang bisa aku ajak melakukan hal-hal berbau perempuan."