Pria itu tengah duduk di kursi tunggu dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Kacamata hitam bertengger di hidungnya guna menutupi sepasang mata yang tertutup damai. Dalam jeda menunggu jadwal penerbangan, Adhi berusaha mencuri waktu untuk terlelap.
Seminggu ini dia benar-benar disibukkan dengan pekerjaan yang langsung menggunung entah bagaimana. Dinas ke luar, bertemu inverstor, mengikuti beberapa pertemuan secara beruntun, mengisi sambutan peresmian dan banyak lagi. Tidur pria itu bahkan jadi sangat tidak teratur dan cenderung kurang. Maka dari itu di saat seperti menunggu jadwal penerbangan seperti sekarang ini, dia harus curi-curi waktu untuk istirahat agar kebutuhan tidurnya bisa tercukupi.
Sayangnya sebuah notifikasi pesan masuk terdengar begitu nyaring membuatnya yang tengah tidur-tidur ayam jadi tersentak dan bangun. Pria itu merogoh saku jasnya, menemukan sebuah pesan dari kontak bernama Regina yang membuat kantuknya langsung sirna tidak bersisa.
Regina: Serius kamu tidak akan datang?
Regina: Mana katanya yang bilang akan bekerjasama untuk terlihat harmonis di depan public?
Regina: Omonganmu tidak bisa dipercaya
"Wanita ini benar-benar." Jemarinya menscroll ke atas dan baru menyadari kalau dirinya belum membalas pesan yang Regina beberapa hari yang lalu.
"Pantas saja dia kesal."
Ya, beberapa hari yang lalu Regina memang mengiriminya pesan. Wanita itu meminta dirinya untuk menemani Regina menghadiri pernikahan sahabat wanita itu di Bogor. Saat itu Adhi tengah sibuk di bandara bersiap untuk penerbangan ke Batam. Rupanya Adhi bahkan hanya sempat membaca tanpa membalas pesan wanita itu.
Dia kira sudah mengirimkan pesannya, rupanya ketikan yang berkali-kali dia revisi lenyap begitu saja saat ponselnya dimatikan. Dan Adhi tau sekarang kenapa wanita itu begitu marah padanya.
Pria dengan rambut hitam legam itu bermaksud membalas pesan wanita itu tapi pesan Regina masuk lebih dulu membuat pria itu mengurungkan niatnya. Pria itu langsung tergelak, benar-benar kehilangan kantuknya begitu membaca pesan ancaman yang sama sekali tidak ada menakutkannya sama sekali.
Regina: Aku tidak mau tau, ya, Dhi. Kamu harus datang.
Regina sent a location
Regina: Jangan sekedar baca.
Regina: Awas saja kalau kamu tidak datang. Aku sumpahi kamu belekan sebulan gabisa buka mata.
"Dewasa sekali, ya." Adhi berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala.
Saat dirinya hendak membalas pesan dari tunangannya itu, sekretarisnya datang dengan raut lega.
"Pak, maaf. Pasti bapak lama nunggu, ya?" tanya wanita itu basa-basi.
Adhi hanya menggeleng sekilas, kembali memakukan pandangannya pada layar ponselnya yang masih menampilkan ruang obrolan itu. Dia hendak mengetikkan pesan balasan yang tadi sempat tertunda karena terinterupsi oleh Wita –sekretarisnya, tapi belum juga dia merealisasikan niatnya suara pengumuman pemberitahuan keberangkatan pesawat lagi-lagi menggagalkan niatnya.
Memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, Adhi pun mengikuti Wita yang mempersilahkan dirinya untuk berjalan lebih dulu.
***
Regina mengomel di depan layar ponselnya saat lagi-lagi pesannya hanya centang biru tanpa ada balasan.
"Dia ini benar-benar, deh, ya. Apa susahnya, sih, konfirmasi? Kalau dia memang tidak bisa karena ada hal lebih penting seperti pekerjaan yang urgent, aku akan mengerti, kok. Yang penting beri jawaban yang jelas. Iya atau tidak."
Wanita itu melempar ponselnya ke ranjang dengan kesal. Diraihnya bathrobe yang sejak tadi hanya tergeletak di sebelahnya.
"Apa sesulit itu membalas pesan, eh? Jemarinya terlalu lemah untuk mengetikkan satu-dua kata?" tanya Regina lagi pada dirinya sendiri.
Menyerah, Regina memilih untuk segera mandi dan bersiap. Acara pernikahan Eza besok pagi. Jadi, demi menghindari datang terlambat karena kesiangan, macet dan hal-hal mengesalkan lainnya yang nyatanya bisa saja terjadi, Regina memilih berangkat sore ini dan menginap di villa yang Eza sediakan khusus untuk keluarga dan tamu spesial seperti dirinya.
Hutan pinus itu benar-benar sejuk dan menyenangkan untuk orang-orang yang terbiasa berkawan dengan padatnya ibukota dan keruwetannya. Berada di tempat itu, Regina seperti menemukan oase di padang pasir yang gersang. Dan menapakkan kaki di villa yang benar-benar menyatu dengan hutan pinus itu membuat Regina lupa akan lelahnya, lupa akan jenuhnya juga lupa akan Adhinatha yang baginya super duper menguras emosi.
"Ginaa?!" Eza menyambut Regina yang baru turun dari mobil keluaran terbaru miliknya. Pria yang sebentar lagi menjadi seorang pengantin itu tersenyum sumringah melihat sahabatnya akhirnya sampai.
"Girang sekali yang besok sudah resmi menyandang status suami," komentar Regina membuat Eza tergelak.
"Perjuangan untuk mendapatkannya itu tidak mudah, Gin. Makanya, saat aku mendapatkan dirinya sekarang, rasanya senang sekali."
Regina tersenyum lebar. "Benar-benar sayang rupanya."
"Tentu saja. Kalau aku tidak sayang bagaimana bisa aku mengajaknya menikah, huh?".
Ada. Calon suamiku mengajak nikah, padahal dia sama sekali tidak mencintaiku.
Tentu saja kalimat itu hanya ada di pikirannya saja. Tidak diverbalkan, takutnya akan menimbulkan banyak tanya di masyarakat.
"Oh, iya. Irisha tidak jadi datang. Sakit tipes katanya."
Regina mengangguk mengerti. Darwin menyusul, berdiri di sebelahnya setelah mengeluarkan dua buat koper ukuran kecil dari bagasi.
"Loh, sama Darwin? Tunanganmu tidak ikut serta?"
"Sibuk," jawab Regina malas. Mengibaskan tangan, Regina mengajak Eza agar menunjukkan kamar untuknya.
"Calon istrimu, mana?"
"Dia ... ada. Di resort lain." Jawaban Eza membuat Regina mengangkat alis bingung.
"Kenapa di resort lain? Kenapa tidak di sini?" tanya wanita itu penasaran.
"Kami tidak boleh bertemu dulu sebelum hari pernikahan."
"Kenapa?" Regina masih tidak mengerti, membuat Eza menghela napas.
"Aku juga tidak tau. Tapi mitosnya begitu. Calon pengantin tidak boleh saling bertemu. Tidak baik." Eza mengendikkan bahunya. "Mungkin biar mencegah pertengkaran. Namanya calon pengantin kan biasanya sensitif."
Obrolan keduanya terus mengalir, tanpa sadar mereka bahkan sudah di depan pintu kamar milik Regina.
"Ini kamarmu, dan di sebelah sana kamar adikmu. Istirahat lah dulu, bersih-bersih, baring-baring, mumpung ini masih sore. Hubungi aku kalau perlu sesuatu, oke?"
Regina mengangguk, melambaikan tangan pada Eza yang masih belum memudarkan senyum cerahnya.
Regina baru masuk ke kamarnya begitu Eza berbalik pergi. Sepasang netranya langsung menemukan satu kamar bernuansa coklat dan putih yang terlihat begitu vintage dan nyaman. Kasurnya berukuran queensize yang ditaruh di atas dipan kayu cendana yang harum. Perabotan di sini juga lumayan, serba kayu dan menambah kesan hangat dan menyatu dengan alam.
Regina langsung melemparkan tubuhnya pada ranjang yang sedari tadi seperti mengajaknya untuk singgah. Dia mendesah lega begitu merasakan nyaman di punggungnya yang akhirnya bisa rileks itu. Dan kenyamanan itu langsung membuai Regina untuk pergi ke alam mimpinya.
Baru sebentar Regina terlelap atau lebih tepatnya ketiduran, saat ketukan pintu yang cukup keras terdengar sehingga dia tersentak bangun. Meski menggerutu, Regina tetap turun untuk membukakan pintu.
"Darwin ini, tidak bisakah biarkan aku beristirahat?" decak wanita itu berjalan menuju pintu. Menyiapkan serentetan kalimat yang sudah berada di ujung lidah, Regina dibuat terkejut begitu pintu dibuka dan dia menemukan keberadaan pria yang berdiri di sana.
"Miss me, huh?"