webnovel

Rain Sound

biar kutanyakan pada mu. apa kau percaya cinta pertama akan terjalin saat kamu hanya memendamnya disudut hatimu tanpa pernah mengungkapkannya, tanpa sekalipun memperlihatkan langsung padanya? kebanyakan orang akan berkata tidak mungkin. ya sangat tidak mungkin. namun suara hujan malam itu seakan menjadi pertanda bagi chika, jawaban yang seharusnya tidak mungkin entah mengapa berubah menjadi mungkin. tapi apa yang terjadi? bagaimana mungkin perasaan yang tulus ini terjalin dalam hubungan yang tak jelas. haruskah chika bahagia atau merasa sedih? ini tentang kisahku dan cinta pertamaku

Kirei0713 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
14 Chs

Memaafkan

Pagi ini chika duduk di sofa menonton acara musik favoritnya, matanya sedikit membengkak hasil dari tangisnya semalaman. Ia merebahkan diri diatas sofa tidak bersemangat. Matahari mulai terbit tapi ia merasa seluruh energinya sudah terkuras habis tanpa bisa menghirup udara pagi yang sejuk.

"Wahh,, pagi-pagi langsung depan tv nih? Laparr" ani keluar dari kamar diiringi dina yang berada di belakangnya. Ani mengusap-usap pelan perut, senyumnya mengembang menatap chika. Dina yang tadinya berada di belakang ani dengan tangan menggeggam handuk, melangkah melewati ani dan menuju kamar mandi.

"Mandi dulu, bisa-bisa makanannya jadi gak enak" terdengar tawa dina dari dalam kamar mandi.

"Hish! Dina! Dasar, ya udah aku mandi dulu, jangan lupa ya makan... makan"

"Eh enak aja, masak sendiri sana, lagi malas gerak nih" chika melirik tajam kearah ani yang kembali memasuki kamar. Bibirnya mengerucut dengan kening yang mengkerut.

"Ya udah kalau gitu aku aja yang masak" ana keluar dari kamar, melirik sekilas kearah chika dan kembali berjalan menuju dapur. Chika menatap ana yang berjalan menjauh tanpa berpaling. 'Cih, segar banget mukanya, habis ngomel semalam' gerutu chika dengan suara yang mengeras.

Chika sebenarnya sadar kalau yang dikatakan ana semalam tidak semuanya salah, dan tidak seharusnya ia marah, hanya saja ia tetap merasa kesal atas sikap ana, bahkan sekarangpun ia masih cukup kesal hanya untuk melihat wajahnya.

Meski pandangannya terfokus pada layar tv, Chika masih terus menggerutu dengan suara yang semakin jelas terdengar.

"Aku dengar" teriak ana dari arah dapur. Chika mendecakkan lidah sembari berbaring di sofa "emang sengaja" balasnya tak kalah keras.

"Kalian itu kapan sih berhenti berantem? udahan deh kayak bocah aja"

"Iya tuh, gak enak kali ngeliatnya, jadi ikutan bete nih" sambung ani yang melangkah beriringan dengan dina menuju sofa. Chika duduk dan bergeser memberi ruang dina dan ani untuk duduk.

Chika mengangkat sebelah tangan dan mengarahkan kehadapan ani. Ani memukul pelan telapak tangan chika dengan wajah tak acuh "apaan sih chika?"

"Kamu ngapain sih bawa makanan dikit banget, buat aku mana? Kalau bawa tuh sekalian banyak biar sama sama makan" chika mengarahkan pandangan pada anggur yang tergenggam di telapak tangan ani. Sesaat kemudian mereka saling bertatapan cukup lama, dan berakhir saat ani mengibaskan telapak tangannya kearah wajah

"Itu muka... sumpah parah banget, hari ini jangan kemana-mama deh ya, daripada malu sendiri. Mukamu asli jelek banget sekarang"

Chika melebarkan mata tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, dilihatnya ani yang sudah berjalan menjauh menuju dapur sembari terus tertawa dengan riangnya. Dina yang masih duduk di samping chika tersenyum menahan tawa mendengar ucapan ani.

"Sini, makanannya udah siap" suara lantang ana terdengar dari dapur membuat dina bergegas menuju dapur dan diikuti oleh chika.

Mereka makan dengan tenang tanpa ada satupun suara atau obrolan. Semua sibuk melahap nasi goreng yang di masak oleh ana. Chika sendiri enggan mengangkat kepala dan hanya makan dengan terus menunduk berbanding terbalik dengan ana yang makan dengan santainya sesekali melirik pada chika yang berada di depannya.

Selesai makan chika bergegas kembali duduk di sofa, tadinya ia berniat membantu mencuci piring tapi ana terlalu gesit dan langsung bergegas menuju wastafel untuk mencuci, bahkan sempat-sempatnya melarang chika untuk membersihkan meja.

"Kamu mau nya gimana nih?" Dina menatap chika tanpa berkedip, chika yang ditatap hanya mengangkat sebelah alisnya tanda tak mengerti apa maksud perkataan dina. "Ya maksud ku, kamu mau kami nginap disini sampai kapan? Atau semalam doang?"

Kening chika berkerut semakin dalam mendengar deretan kalimat yang keluar dari bibir dina "ya jangan dong, kan abah ku masih lama baliknya, emang kalian mau ngapain kalau di rumah kan lebih asik kalau ngumpul bareng gini" chika menatap bergantian kedua temannya yang tengah asik menonton acara tv. Sebelah tangan ani terangkat dan mengepal hanya menyusakan telunjuk, ia mengalihkan pandangannya pada chika dan menggerakkan pelan telunjuk di depan wajah sembari kepala yang ikut menggeleng dengan pelan. "Harusnya kami yang nanya, asiknya dimana? Baru juga semalam kalian udah berantem, sampai sekarang malah masik cuek-cuekan" ani kembali memalingkan kepala kearah televisi. Sedangkan dina mengangguk kecil tanda setuju.

Chika mencondongkan badan kearah kedua temannya dengan suara sekecil mungkin ia berujar "masalahnya ana, mukanya judes banget kalau sudah marah, aku mana berani baik-baikin" sebuah pukulan pelan mendarat di ujung kepala chika membuat ia mengaduh dan memalingkan kepala bersamaan dengan dina dan ani, menatap ana yang berdiri tepat di belakang chika.

"Udahan ngegibahnya..." ia menatap chika tanpa berekspresi, tak lama mengalihkan pandangannya kepada ani dan dina "pindah dulu kalian aku mau ngobrol sama chika" tak perlu menunggu lama keduanya bergegas menuju sofa kosong yang tak jauh dari tempat chika tadi.

"Aku minta maaf, yang tadi malam... hhh aku memang keterlaluan, lagian gak ada salahnya kalau kalian dekat apalagi kamu ngerasa nyaman sama dia. Maaf ya"

"Enggak, gak semuanya salah kamu na, aku juga sama salahnya, harusnya aku gak perlu berlebihan nanggapin kata-kata mu, padahal aku tau kamu gak ada maksud buruk" chika tersenyum lembut menatap ana yang juga ikut tersenyum.

"Mulai sekarang aku akan mendukungmu, apapun keputusanmu, selama kamu senang, why not, Ya kan?" Ana mengelus lembut puncak kepala chika, masih dengan senyum uang menghiasi wajahnya.

Biasanya chika tak begitu suka kalau orang lain memegang kepalanya, tapi tiap ana melakukannya ia merasa tenang dan senang tanpa sedikitpun protes karena merasa di perhatikan. Saat usapan itu berhenti chika menatap ana yang sih terdiam seakan berpikir. Chika memalingkan wajah kearah tv tak acuh dengan ana yang masih terdiam di tempatnya.

"Mukamu kok parah gitu sih? Dari subuh sampai sekarang masih aja bengkak, sumpah jelek banget" ia tertawa di ujung kalimatnya. Dina dan ano yang sedari tadi memperhatikan keduanya ikut tertawa mendengar penuturan dari ana.

Chika melebarkan mata tak percaya dengan gerakan cepat ia melempar bantal sofa kearah ana yang masih tertawa geli.

"Wahh... dasar kam-" dering telpon membuat chika nengentikan kegiatannya. Ia merogoh ponsel yang berada di saku celananya. Tertera nama arka di layar ponsel yang kini sudah dalam genggamannya.

Chika mengangkat telpon dan melirik ana yang bergumam menyebut nama arka dengan wajah penasaran. Chika mengangguk merespon dan ana ikut mengangguk pelan berkali-kali.

"Assalamu'alaikum chika, sibuk gak?"

"Gak nih, kenapa?" Chika melirik lagi kearah ana yang sudah menatap fokus kearah tv.

"Gak papa, cuman mau nelpon kangen dengar suara mu" senyuman kecil terukir di ujung bibir chika membuat saat mendengar deretan kalimat yang diucapkan arka.