webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · realistisch
Zu wenig Bewertungen
312 Chs

Kumpul Keluarga

Di ruang tengah, Aksara tengah duduk diantara Anna dan Riri karena memang hanya mereka berdua yang dekat dengannya. Sedangkan Mas Abim sudah di tempeli Mbak Sela sejak awal mereka sampai. Mas Yudhis tampak berbincang santai dengan Mbak Alya dan Mbak Arra, ah bukan santai lagi—Mbak Arra yang selalu tidak mau kalah, dan Mbak Alya yang mahir dalam segala bidang sudah di tebak mereka tengah berdebat dan Mas Yudhis yang menengahi. Sedangkan Arjuna memilih duduk di samping Riri, tidak ingin ikut ikutan obrolan Shina dan Mela yang menurutnya terlalu girly.

"Tuh kan gue bilang juga apa. Si Shina Shina itu tuh nggak ada bedanya sama Mbak Arra," bisik Anna memulai sesi gosip, "Dari awal juga udah keliatan sombongnya,"

Riri mengangguk mengiyakan, "Mana sok cantik banget. Coba tuh liat bedaknya tebel banget. Mana warnanya nggak cocok sama kulitnya,"

"Udah jangan ghibah. Dosa," Aksara menengahi, lelah dengan segala gosip yang di tebar dua sepupunya itu.

"Gue bilang fakta ya Sa. Tuh lihat Mbak Arra masih nggak mau kalah sama Mbak Alya. Heran gue kenapa Shina malah nggak mirip sama Mbak Alya gitu," jawab Riri, "Mana kerjaan dia cuma foto sana sini ngelive instagram,"

Anna mengangguk, wajahnya kesal luar biasa, "Lo nggak tau aja ya Sa. Dia tadi kerja gitu cuma mau pencitraan ke Mas Mas lo mentang-mentang kalian cucu kesayangan uti,"

"Apalagi Mbak Sela tuh. Positif suka sama Mas Abim,"

Aksara memutar bola matanya malas, "Iya dari dulu juga gue tau kalo Mbak Sela suka Mas Abim. Mending kita jalan ajalah dari pada di sini panas. Pasukannya Mbak Arra nambah Shina sama Mela,"

Anna segera beranjak diikuti Riri, lalu menarik lengan Aksara untuk berdiri kemudian mengandungnya.

"Mas Mbak gue, Anna sama Aksa jalan dulu ya. Itung itung sibling time,"

"Ikut," Mas Abim hendak beranjak tapi Anna menggeleng dengan cepat, "Hanya untuk yang tahun ini umurnya 17 tahun,"

"Gue ikut boleh?" tanya Shina.

Riri tersenyum manis, "Tapi kita mau main ke sawah. Yakin tuh lu anak kota mau ke sawah? Bukannya nggak selevel ya?" sindirnya telak mengundang tawa Arjuna dan Mas Abim.

"Bibir lu julid bener belum juga gue kasih jepitan jemuran," gumam Aksara.

Anna tertawa, "Terkadang julid itu di butuhkan di saat tertentu. Menghadapi sodara songong misalnya,"

"Di butuhkan gigi lu kentut pake mik," Mas Abim mencibir, "Udah sono kalian pergi aja. Panas kuping gue denger lu pada ngegosip,"

"Bilang aja Mas Abim mau berduaan sama Mbak Sela," ejek Aksara, "Yaudah Amandanya buat gue aja,"

"Heh,"

***

Mereka benar pergi ke sawah, melihat abah dan Pakdhe Anas yang sedang membajak sawah dengan dua kerbau milik Pakdhe Anas.

Anna dan Riri bersorak kegirangan, tumbuh besar di kota membuat mereka terlihat norak hanya karena sudah sekian lama tidak melihat penampakan sawah. Dua gadis itu tanpa pikir panjang menanggalkan sendal yang mereka pakai, melipat celana sebatas lutut lalu bergegas masuk ke dalam sawah berlumpur yang belum terbajak.

Aksara berjengit jijik, terlebih ketika mendapati lumpur yang bercipratan ke sembarang arah sukses membuat pakaian yang di kenakan kedua sepupunya kotor. Aksara benci kotor, walaupun ia bukan pecinta kebersihan seperti Mas Yudhis, tapi ia tetap tidak akan pernah membiarkan pakaian yang di gunakannya terkena noda sedikitpun.

"Ayo Aksa ikutan," pekik Anna senang.

Aksara menggeleng dengan cepat, menolak ajakan sang sepupu.

Tapi sepertinya kedua sepupunya tidak akan tenang jika si anak bungsu abah dan ibuk itu pulang dengan pakaian bersih tanpa celah. Dengan seringaian lebar segera menarik lengan sepupunya tanpa aba-aba hingga pemuda itu tersungkur masuk ke dalam tanah berlumpur.

Aksara mendengus, selesai sudah. Seluruh tubuhnya kotor bahkan hingga wajahnya.

Riri dan Anna tertawa girang, bertos ria karena merasa berhasil 'mengotori' seluruh tubuh sang sepupu.

Aksara bergegas beranjak, mendengus kesal dengan mata memincing, "Abah," adunya.

Abah menoleh, lalu tertawa keras, "Nah gitu dong lelaki. Mau kotor kotoran nggak cuma diem doang di rumah,"

Anak itu semakin mencebik, segera berjalan dengan sedikit kesulitan lalu duduk di pinggiran sawah. Sudah tidak peduli dengan pakaiannya. Beruntung ia meninggalkan ponsel dan dompetnya di rumah uti.

"Aaa ularrr," dengan kesulitan Anna berlari diikuti Riri. Beberapa kali terjatuh karena tanah berlumpur yang seakan menghisap kaki mereka.

Aksara menoleh cepat, "Mana ular?"

"Itu tuhhh. Anak ular piton tuh pasti," pekik Riri.

Satu satunya pemuda diantara mereka melirik penasaran ke arah yang di tunjuk oleh sepupunya, "Abah ada ular," pekiknya.

Abah menoleh, "Yaudah lari atuh jangan cuma di lihatin,"

"Nanti abah kena patuk ini. Mending di buang aja bah," jawab sang anak.

Abah menarik napas panjang, meninggalkan alat pembajak tradisional milik Pakdhe Anas berserta sang empunya lalu berlari tergopoh-gopoh mendekati mereka, "Mana ularnya mana?"

"Itu pakdhe,"

"Ini mah bukan ular," abah berdecak kesal, "Itu namanya belut,"

Aksara bergidik, "Kenapa bisa segede itu. Yang di masak ibuk nggak segede itu,"

"Iya ih, geli banget," Anna mengangguk kecil.

Pakdhe Anas diatas alat pembajak sawah miliknya tertawa jenaka, "Anak kota ya nggak tau belut,"

"Gue tau cuma nggak tau kalo ada yang gede," bisik Riri.

Abah ikut terkekeh, "Pulang sana. Mandi. Masuknya lewat pintu belakang,"

"Bentar Pakdhe mau main dulu," jawab Anna, "Di kota nggak ada sawah. Makanya puas puasin main di sawahnya," sindirnya sukses membuat Aksara tersedak ludahnya sendiri.

Setelah nyaris setahun tidak bertemu ternyata membuat sifat blak-blakan kedua sepupunya itu semakin menjadi.

Abah terkekeh, "Di ujung sana ada sungai. Kalau kalian mau main ke sana,"

"Wah seriusan pakdhe?" tanya Riri girang, "Ayo main ke sungai aja. Sekalian bersih bersih,"

"Percuma juga sih baju gue udah kotor semua," Aksara mencebik kesal, namun tetap mengikuti langkah Riri yang mulai menjauh.

"Hati-hati ya jangan sampe jatoh. Sarah jangan kesorean pulangnya nanti masuk angin,"

"Iya bah,"

"Pakdhe Anas nikah berapa kali sih?" sesi gosip kembali di buka oleh Anna.

Aksara mengedikkan bahu, "Tiga kali atau berapa ya kurang tau,"

"Kayanya sih tiga. Istri pertama kan ibuknya Mbak Arra yang katanya cerai itu. Istri kedua ibuknya Mbak Sela yang meninggal," jawab Riri, "Berarti ini otw istri ketiga,"

"Pantesan Mbak Arra sama Mbak Selanya gitu. Bapaknya aja begitu,"

"Begitu gimana Ri?" tanya Aksara, tidak mengerti.

Kedua gadis di sana tertawa renyah, memberikan kode satu sama lain yang Aksara tidak tau artinya.

Anna merangkul bahu Aksara, "Kaya lintah nempel sana sini,"

"Hah?"

"Kaya uler keket itu loh,"

"Ohh. Jangan gitu lah sama sepupu sendiri juga,"

"Ya gue bilangnya juga ke sepupu yang lain. Masih nggak mengumbar aib keluarga sendiri lah,"