3/2/22
Happy Reading
***
Belum apa-apa tangannya sudah gemetaran.
Jantungnya berdebar gelisah saat melihat sekelebat bayangan hitam yang lewat didepan sana, dan lagi terdengar suara satu, dua, tiga atau … entahlah ada berapa orang— yang jelas orang-orang itu sedang mengobrol santai. Bahkan suara tawa ringannya pun sangat jelas terdengar.
"Hah … hah." Selasa menarik napas dalam-dalam.
Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaan paniknya saat ini— padahal jika didengar dari tawa dan obrolan ringan mereka— mereka adalah anak buah Minggu yang diperintahkan untuk menjaga mansionnya ini.
Iya … iya!!
Selasa berusaha menyakinkan perasaannya supaya tidak semakin panik.
Mereka semua bukan wartawan ataupun penguntit. Mereka orang-orangnya Minggu.
Iya!
Jangan cemas, Sel!
Selasa mencoba menyakinkan berkali-kali hal itu di dalam dirinya.
Setelah, beberapa menit berhasil menguasai keadaannya— ia memberanikan diri untuk membuka celah gorden.
Auw!!
Mata Selasa langsung terpejam.
"Ah, silaunya."
Selasa membuka salah satu matanya untuk beradaptasi dengan cahaya matahari di luar sana.
"Wahh, terangnya …." Selasa bergumam ngilu. Pelan-pelan, ia membuka kedua matanya hingga sepenuhnya melebar.
"Hishh, sakitnya," keluhnya.
Sungguh, cahaya terang membuat kedua bola matanya menjadi linu kearah pegal.
Apa ini efek aku tidak pernah keluar kamar?
Selasa menekan-nekan bola matanya yang sudah tertutup kelopak mata.
"Aku mirip vampire. Kalau aku keluar bisa-bisa kulitku ikut terbakar," ucapnya tidak bermaksud bercanda. Ia hanya frustrasi dengan keadaannya.
Sudah lumpuh, buta lagi!
Ah, mati lebih baik sepertinya.
Hem, Selasa menghela napas setelah berhasil menghilangkan linu di kedua bola matanya.
Ia membuka matanya perlahan-lahan …
Masih samar-samar karena masih dalam proses penangkapan cahaya.
Setelah beberapa detik penyesuaian matanya, dengan jelas ia bisa melihat lima orang pria dewasa bertubuh kekar sedang duduk-duduk di pinggiran danau.
Ada yang duduk di batu besar, ada yang duduk tepat di pinggiran danau, ada yang duduk bersila bersandar pada pohon mangga, ada yang rebahan, dan ada lagi yang sedang berguling-guling di tanah berumput manila.
Selasa hanya bisa tersenyum geli melihat pemandangan itu, mereka seperti anak kecil.
Sangat lucu!
"Ah, sepertinya disana sejuk," gumamnya merasa iri dengan pria-pria itu.
Ya, hawa dan suasana di taman belakang dekat kamar pribadinya itu memang sangatlah sejuk dan menenangkan.
Dulu, Selasa ingin ada ayunan di pohon mangga itu tapi belum juga dipakai, eh … rantingnya sudah putus duluan.
Katanya tidak kuat, huh!
Jika, gorden ini tidak ditutup rapat— kamar pribadinya ini akan berhadapan langsung dengan sebuah danau kecil yang di salah satu sisinya ada pohon mangga yang cukup rindang.
Pinggiran danau itu setengahnya dikelilingi bunga jenis bunga lily-lily'an.
Selasa sangat suka bunga lily jadi waktu ia membangun mansion yang tidak bertingkat ini— alih-alih membuat kolam renang— ia membiarkan danau itu tetap ada, dan sekalian saja, ia meminta pada arsiteknya untuk menanam berbagai jenis bunga lily-lily'an.
Namun, saat dalam proses menanamnya jenis bunga lily itu disamakan, supaya kalau lagi musim berbunga tidak selang seling bunganya.
Ada sekitar enam varietas lily-lily'an yang hidup di danau itu dan musim bunganya pun berbeda-beda.
Hem, indahkan?
Kalau lagi musim bunga pasti tamannya itu akan didatangi banyak kupu-kupu.
"Hah, ingin sekali aku berlarian disana lagi."
Selasa menutup rapat gorden itu lagi.
Memutar kursi rodanya secara random. Menjalankannya tak tentu arah. Berputar-putar seperti menaiki gocar di wahana fantasi dan setelah lelah … ujung-ujungnya ia kembali lagi ke depan dinding kaca.
Mau apalagi coba?
Jalan tidak bisa.
Lari tidak bisa.
Menari tidak bisa.
Pegang ponsel tidak boleh.
Lihat tv tidak boleh.
Hanya boleh nonton film di Nenfindai, itu pun dijatah. Hanya boleh satu kali dalam sehari, dan sangat diawasi Senin, takutnya jari ini berselancar didunia maya.
Huh!
Bosan, pasti.
Ingin keluar kamar … takut!
Ingin pergi jalan-jalan … jangan tanya lagi, sangat menakutkan!
Bertemu orang pun tidak berani. Jangankan bertemu orang dijalan— bertemu Minggu yang hampir setiap hari saja ia sangat takut.
Hah, kenapa harus aku? Kenapa harus aku!
Itu yang selalu ditanyakannya setiap hari.
Dunia sangat kejam padanya.
Apa salahnya, sampai musibah yang sangat mengerikan ini menimpanya berkali-kali lipat menyengsarangkannya.
Maksudnya …
Jika lumpuh iya lumpuh saja!
Tidak bisa jalan iya ….
Karirnya hancur iya ….
Hermm, mau ku, jangan ditambahi musibah macam-macam.
Arghh!!
Berita itu, fitnah itu, tuduhan itu, makian dan semua-semuanya benar-benar ingin membuatnya mati.
Ya … mati adalah jalan terbaik.
Selasa melihat kedua kaki cantiknya yang sudah tidak bisa berfungsi lagi.
Kita tidak akan bisa kemana-kama.
Selasa tertawa getir.
Ya … Selasa Langit Malam sudah mati sejak kecelakaan itu.
Hahahaaa!
Selasa tertawa-tawa lagi, mengolok dirinya yang sangat payah ini.
Mati, Sel!
Sudahlah!
Mati lebih baik!
Lagipula, selama dua minggu ini yang kau lakukannya hanya seperti ini.
Mengurung diri dikamar, tidak melakukan apa-apa, tidak kemana-mana dan …
Iyaa, kamar ini satu-satunya tempat paling aman sekarang.
Dan, lagi ia tidak pernah mengizinkan siapapun masuk kecuali Senin— Senin si gadis pemaksa menyebalkan itu.
Yah, hanya Senin saja yang bisa masuk ke kamarnya untuk menemui dirinya yang sudah jadi pesakitan yang amat akut ini.
Selama dua minggu terakhir juga, setelah drama pengusiran itu— disela-sela waktu Minggu yang sibuk— Minggu tetap saja menyempatkan diri menjenguknya.
Tapi, Selasa tidak pernah mau dan tidak akan menemuinya Minggu lagi.
Disamping takut bertemu orang, ia memang tidak ingin melihat wajah Minggu lagi, bila perlu selamanya.
Alasannya, ia takut saat melihat Minggu, ia akan menjadi wanita lemah yang minta dikasihani. Pun ia tidak mau lagi membebani Minggu yang sudah banyak membantu dan membelanya sampai sejauh ini.
Menurut berita yang didengarnya dari Senin beberapa hari lalu jika saham perusahaan Sky Castle menurun drastis.
Satu-persatu model yang jadi kebanggan Minggu— meninggalkannya. Hanya sebagian model saja yang bertahan, dan itu semua tidak lebih hanya karena kasihan pada Minggu.
Hah, ini semua salahnya!!
Kalau saja ia tidak kecelakaan pasti semua hal ini tidak akan terjadi.
Kasihan Minggu Menantang Waktu, kasihan Senin Melawan Hari … kalau saja ia mati …
Ya … mati?!
Ahh, mati iya?
Benar!
Itu akan jadi keputusan terbaik untukmu, Sel. Pasti tidak ada pihak yang dirugikan lagi untuk kekacauan yang sudah kau buat.
Minggu dan Senin tidak perlu repot-repot lagi merawatmu. Minggu dan Senin bisa terbebas dari belenggu dirinya yang pesakitan ini. Minggu dan Senin tidak akan terbebani lagi.
Mereka akan bebas!
Aku harus membebaskan mereka.
Aku bukanlah tanggung jawab mereka.
Ok!
"Bagaimana caranya aku bunuh diri?" Selasa mendongak, matanya menyipit— melihat langit-langit kamarnya yang gelap, seingatnya disana ada lampu gantung yang cukup besar. "Bagaimana kalau aku gantung diri?"
Ah, Selasa memukul kepalanya sendiri. "Bodoh, bagaimana cara aku mengikat tali disana? Berdiri saja tidak bisa."
O–iya, kalau dipikir-pikir sekarang jam berapa iya? Biasanya Senin akan menerobos masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
Jika, ia melakukan bunuh diri di waktu yang tidak tepat, bukannya mati dengan tenang justru ia akan menjadi beban Minggu dan Selasa kalau ditemukan masih hidup.
Dan, gosip gila yang mengerikan akan merebak semakin luas!!
Ah, mau mati saja susahnya minta ampun!
Harus mengepaskan waktu kapan Senin dan Minggu akan masuk ke kamarnya dengan tiba-tiba.
Apalagi Senin kalau malam sudah menjadi satpam mata. Kalau ia belum menutup mata, Senin akan menunggunya sampai tertidur pulas, dan Senin tidur di sampingnya dengan mengikat tali di tangannya lalu tali itu diikat juga ditangan Senin.
Hem!!
Gerak sedikit, Senin akan bangung!
Oh, Tuhan!!
Selasa mencari jam dindingnya, "Ah, tidak terlihat," gumamnya kesal sendiri. Ia tidak bisa melihat dengan jelas jam yang ada disalah satu muka dinding kamarnya ini.
Oh, dikamar mandi ada karbol, kan?
Bagaimana kalau aku minum itu saja? Matinya bisa cepat tidak iya?
Saat Selasa akan memeriksa kamar mandi ….
Ceklak!
Deg!
***
Salam
Galuh