webnovel

QOLLBII QOLLBUKA

"Saya akan menangkapmu dan melucuti semua pakaianmu!" Keputusan Khawla Asyifa keluar dari dunia terlarang, membuatnya berlari dari kejaran Albert---mantan kekasih---yang tengah menagih hak satu malam dengannya. Lari tanpa memperdulikan jarak membuatnya memasuki sebuah tempat asing yang beratasnamakan pesantren, hingga dipertemukan dengan seorang Gus yang berhasil menyelamatkannya malam itu. Abizar Arfan Al-Faizan, dengan penuh keikhlasan hati, dia turut membantu Syifa menyelesaikan permasalahannya dengan Albert. Perkenalannya dengan Syifa yang cukup lama, membuatnya memantapkan hati, hingga menjadikan perempuan itu sebagai seorang istri. Namun siapa sangka, pernikahan itu hanya berlangsung tiga bulan lamanya. Gus Arfan dikabarkan meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan surat wasiat yang menyatakan ; bahwa Syifa harus menikah dengan lelaki yang sudah dia pilihkan. Syifa enggan untuk menjalankan wasiat itu. Namun, mengingat segala kebaikan suaminya serta Kiai Faizan---sang mertua---membuat Syifa mau tidak mau harus menjalankan wasiat suaminya. Syifa memutuskan untuk memantapkan hati dengan niatan berbakti kepada mertua dan juga sang suami. Perjalanan hidup Syifa tidak mulus begitu saja. Pernikahan barunya yang tanpa berlandaskan cinta, membuat Syifa kerap berpikiran untuk berpisah. Terlebih lagi ketika Syifa mendapati ada rahasia besar suami barunya yang sudah lama disembunyikan dalam rumah tangga mereka.

Radeka_Frishilla · Urban
Zu wenig Bewertungen
19 Chs

Dipermalukan di Pesantren

Perlahan, langkah Syifa mulai memelan saat dia sudah berada di samping pesantren Al-Huda. Sejenak, perempuan itu mengamati keadaan sekitar. Masih aman, tidak ada santri yang keluar, bahkan, gerbang pesantren pun masih terbuka, sama seperti tadi.

Syifa sejenak mengatur napasnya. Dia menetralkan diri agar bisa terlihat seolah tidak terjadi apa-apa. Buat jaga-jaga saja, barangkali nanti ketika Syifa memasuki gerbang, ada salah seorang santri yang melihatnya. Jadi, Syifa pasti bisa menyahuti dengan tenang. Setidaknya dia juga sudah mengumpulkan alasan tadi perihal rancangan pertanyaan yang barangkali akan dilemparkan kepada Syifa nanti.

Kembali, Syifa melanjutkan langkahnya seraya memasuki gerbang pesantren dengan sesekali jaga-jaga terhadap keadaan sekitar.

"Nah, ini dia orangnya!"

Suara salah seorang santriwati itu nyaris membuat Syifa spontan menoleh. Didapatinya gerombolan santriwati beranjak menuju ke arah Syifa.

Syifa terbelalak. Seolah dia tertangkap basah saat ini. Namun, karena Syifa sudah terlebih dahulu menetralkan diri tadi. Jadi, sebisa mungkin saat ini Syifa menghadapinya dengan santai.

"Saya sudah tahu siapa kamu dan apa hubungan kamu dengan lelaki kemarin." Sindi bersuara dengan menatap remeh Syifa. Sedang, perempuan yang ditatapnya itu justru kembali melempar tatapan tanya. Syifa tidak mengerti apa yang Sindi ketahui.

"Bahkan, saya pikir, kamu sudah tidak lagi menginjakkan kaki di pesantren ini." Sindi kembali melanjutkan suara dengan pembelaan sebagian santriwati lainnya. Saat ini di depan gerbang begitu ramai gerombolan santriwati yang seolah tengah memojokkan Syifa.

"Maksud kamu apa?" Syifa bertanya, tetap mencoba santai. Dia sejenak menatap secara bergantian ke arah santriwati yang turut hadir saat ini. Hampir semua santriwati pesantren Al-Huda, terkecuali santriwati yang tengah mendapat tugas memasak, pasti mereka masih sibuk di dapur sana.

"Maksud saya ... kupu-kupu malam, serta perempuan bayaran seperti kamu sepertinya kesasar masuk ke sini." Sindi menyahuti dengan tak kalah santainya. "Atau mungkin hanya untuk berkedok saja? Biar dikatain alim. Padahal di luaran sana mesra-mesraan sama lelaki lain. Lelaki bukan mahramnya!" Sindi tertawa. Dia juga mengode agar santriwati lainnya turut bertingkah seperti dirinya.

"Kamu jangan merusak nama baik pesantren ini, Mbak!" Kali ini Rena yang menyahuti. Diikuti dengan santriwati lainnya yang juga turut menyalahkan Syifa. Hanya beberapa dari mereka memilih untuk terdiam sembari menyimak saja.

Kedua mata Syifa memanas. Kedua tangannya turut dia kepalkan.

"Kamu jangan asal bicara, ya!" Syifa langsung mendekat ke arah Sindi dengan kedua mata yang berapi-api. Jarak keduanya saat ini hanya selisih beberapa jengkal saja.

"Jalang mah jalang aja," ucap Sindi, pelan. Namun, Syifa tentu masih bisa mendengarnya.

Gigi atas dan bawah Syifa mulai bergesekkan. Sorot matanya pun semakin menatap Sindi dengan tatapan tajam.

Sindi yang melihat itu sebenarnya takut, tetapi mencoba untuk biasa saja. Bahkan, perempuan itu masih sanggup tertawa, hingga pada akhirnya jambakan dari Syifa membuat Sindi turut murka.

"Lepasin, Syifa! Lepasin saya!" teriak Sindi. Dia mencoba untuk melepaskan tangan Syifa yang masih saja menjambak kerudungnya.

Para santriwati mencoba memisahkan mereka, tetapi kwalahan karena Syifa sudah terlanjur membabi buta.

"Afwan, Kiai. Santriwati baru sama Mbak Sindi lagi berantem di depan gerbang pesantren sana." Salah seorang santriwati itu melapor kepada Kiai Faizan yang tengah berada di area kerja bakti santriwan.

Bahkan, hal itu membuat sebagian santriwan menghentikan aktivitasnya hanya untuk mengalihkan pandang ke arah yang dimaksud santriwati ini.

"Astagfirullah." Kiai Faizan beristigfar, pelan. Tanpa banyak mengeluarkan kata, beliau langsung bergegas menuju ke arah depan gerbang pesantren.

Para santriwan juga turut bergegas ke sana. Sama halnya dengan Gus Arfan yang tadi turut mengikuti kerja bakti. Dia mulai bergegas menuju kerumunan para santriwan lainnya.

"Kamu itu sialan!" Syifa melontarkan berbagai macam sumpah serapah. Tidak hanya Sindi saat ini yang kerudungnya menjadi korban, melainkan Syifa pun sama. Bahkan, pashmina yang dipakainya terlepas begitu saja karena jarum yang menjadi pengaitnya jatuh disebabkan tarikan kuat yang diberikan Sindi tadi.

"Mbak! Auroranya kelihatan!" Bagas berujar heboh dan langsung mendapat jitakan dari temannya.

"Syifa! Sindi!"

Suara dari Kiai Faizan nyaris membuat Syifa dan Sindi menghentikan sejenak aktivitas perkelaian mereka. Namun, tatapan keduanya masih saling beradu tajam.

"Kenapa tidak dilanjutkan?" tanya Kiai Faizan.

Sindi dan Syifa tidak menyahuti. Keduanya merapikan diri dan membalikkan badan menghadap sang Kiai.

"Ada apa sebenarnya?"

Sindi menunduk sejenak. "Afwan, Kiai. Dia menyerang saya." Sindi berujar.

Syifa yang mendengar itu pun nyaris tidak terima. Perempuan itu kembali melanjutkan aksinya, menghajar Sindi, hingga membuat para santriwan juga santriwati turut memisahkan keduanya lagi.

"Syifa! Berhenti!" tegur Kiai Faizan.

Deru napas Syifa naik-turun tidak beraturan. Dia sudah sangat kesal pagi ini. "Saya tidak akan menyerang dia kalau saja dia tidak membuat saya murka, Kiai," sahut Syifa.

"Hal apa yang membuatmu murka?"

"Tanyakan saja kepada santriwati, Kiai." Kali ini Syifa sudah kehilangan kesabaran. Dia bahkan mengabaikan teguran dari santriwati lainnya karena Syifa tidak sopan dalam berbicara dengan Kiai Faizan.

"Afwan, Kiai. Saya hanya berbicara fakta sesuai apa yang saya lihat. Saya berbicara memang pada dasarnya santriwati baru ini kupu-kupu malam, perempuan bayaran, dan lebih tepatnya, dia adalah seorang jalang!"

Kesekian kalinya Syifa dibuat murka dengan pembicaraan Sindi. Meski itu benar, tetapi setidaknya perempuan itu tidak berbicara di depan umum seperti ini. Bahkan, perkataan Sindi membuat para santriwan yang belum mengetahui siapa Syifa juga turut terkejut mendengarnya.

Baru saja Syifa mau kembali menghajar Sindi, tetapi teguran dari Gus Arfan kali ini membuatnya terhenti seketika.

"Sindi, dengarkan saya! Allah akan menutupi aib kita jikalau kita menutupi aib saudara kita. Kita semua punya cela, tidak luput dari salah dan dosa. Kalau saja kamu mengetahui aib saudaramu, maka lebih baik sakana." Kiai Faizan memberikan wejangan.

"Tapi Kiai ... santriwati ini juga bermesraan di luar sana dengan lelaki. Bukankah di pesantren ini punya aturan tersendiri? Dekat-dekat dengan lawan jenis tanpa ada keperluan saja tidak diperizinkan, apalagi bermesraan. Kiai kalau tidak percaya lihat saja." Sindi berujar sembari merogoh ponsel dari saku gamisnya. Memang pada dasarnya setiap hari Jumat, ponsel para santri akan diberikan kepada sang pemiliknya, itu pun hanya berlaku untuk pagi hingga sore hari, karena malamnya sudah kembali dikumpulkan lagi.

Kedua jari jempol Sindi dengan cekatan beraktivitas di benda pipih yang tadi diambilnya.

"Ini, Kiai."

Sindi menunjukkan ponselnya kepada Kiai Faizan.

Syifa yang tidak mengerti hal apa yang ditunjukkan Sindi. Dia hanya memberi peringatan kepada Sindi melalui bahasa isyarat. Setelahnya, Syifa kembali terfokuskan kepada raut wajah Kiai Faizan yang tampak terkejut di sana.

Kiai Faizan bahkan berujar istigfar, pelan, kemudian kembali mengembalikan ponsel itu kepada sang pemiliknya.

"Syifa, saya tunggu kamu di ruangan saya." Kiai Faizan berujar kemudian pamit beranjak terlebih dahulu.

Lain halnya dengan Syifa yang masih terpaku di tempat. Dia masih tidak mengerti terhadap hal apa yang tadi ditunjukkan Sindi.

Sejenak, Syifa menatap ke arah ponsel Sindi. Tanpa menunggu lama lagi, Syifa langsung mengambil alih ponsel itu.

Sindi terbelalak. "Syifa, kembalikan ponsel saya!"

Syifa masa bodo. Bahkan, perempuan itu langsung menghindar dari Sindi.

"Berhenti di sana atau saya banting ponsel kamu?"

Pernyataan Syifa nyaris membuat Sindi mendengus sebal. Para santriwan dan juga santriwati bahkan terkejut dengan tindakan yang baru saja dilontarkan Syifa. Lain halnya dengan Gus Arfan yang hanya menyaksikan dengan datar saja. Selagi mereka tidak main tangan dan kembali bertengkar, maka Gus Arfan memilih untuk menyaksikan terlebih dahulu.

Lagipula, Syifa juga mempunyai hak untuk tahu apa yang terjadi. Meski cara perempuan itu salah karena mengambil ponsel Sindi secara paksa, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada sang empunya.

Syifa berdiri tepat di dekat area para santriwan. Dia dengan cekatan mulai mengecek galeri ponsel Sindi. Lebih tepatnya, Syifa melihat potretan gambar dan juga rekaman video terbaru saat ini.

Rupanya, tidak hanya Kiai Faizan yang terkejut ketika melihat ponsel Sindi, melainkan Syifa pun sama. Dia bahkan tidak menyadari kalau Sindi sedari tadi mengikuti dirinya. Di potretan gambar terbaru sana, menampilkan kalau Syifa dan Albert sedang bermesraan. Tidak. Lebih tepatnya Albert yang beraktivitas sendiri dengan menekan bagian tengkuk Syifa.

Di gambar berikutnya pun sama, Albert yang tengah mengusap pipi Syifa. Lebih tepatnya, saat itu Albert sedang mencoba mengusap air mata Syifa dan mengecupnya. Dan di bagian gambar terakhir, menampilkan keduanya tengah memberikan dekapan. Syifa dan Albert di sana juga terlihat seolah tengah menikmatinya. Padahal nyatanya, itu sebagai tanda perpisahan Syifa kepada Albert. Dengan cara seperti itu pula, Syifa berharap agar Albert tidak terus bertindak gila, serta mau luluh terhadap keputusan Syifa.

"Dasar sialan, kamu sudah mempermalukan saya!"

Kedua sorot mata Syifa kembali menatap tajam ke arah Sindi. Tangannya pun turut meremas ponsel Sindi hingga membuat sang pemilik bergegas mencoba untuk mengambil alih ponselnya dari remasan Syifa. Namun, spontan Syifa menghindarkan ponsel itu. "Mudur, atau saya banting ponsel kamu sekarang?" Pernyataan itu kembali terulang.