Haoran dan Emma tinggal di rumah ibu Haoran sampai malam tiba. Mereka tak puas-puasnya menumpahkan rasa rindu. Ibu Haoran sangat ramah dan segera memperlakukan Emma seperti anaknya sendiri. Tindakannya itu membuat Emma sangat terharu.
Ibu Haoran membuka-buka album lama dan menunjukkan berbagai foto saat Haoran masih bayi hingga ketika mereka bertemu terakhir kali enam tahun lalu, saat Haoran berumur 14 tahun. Emma dan Haoran tampak sangat senang melihat foto-foto lama itu.
"Haoran terlihat menggemaskan sekali waktu masih kecil, ya..." kata ibu Haoran sambil mengelus rambut anaknya.
Emma mengangguk. "Ibu benar. Haoran sangat lucu."
"Ahh.. kalau nanti kalian punya bayi, pasti akan jauh lebih lucu lagi. Ibu sudah tidak sabar ingin menggendongnya..." cetus ibu Haoran dengan antusias.
Tanpa sadar Haoran dan Emma serempak batuk-batuk. Keduanya tidak berani saling pandang karena wajah keduanya tampak sangat merah.
Ibu Haoran hanya tertawa kecil melihat reaksi kedua remaja itu. Ia menjadi sadar bahwa mereka tentu belum pernah berhubungan intim, sehingga pembicaraan tentang bayi membuat keduanya sangat malu.
Dengan penuh pengertian ia mengalihkan pembicaraan tentang petualangan mereka di Swiss. Masih dengan wajah merah Haoran menceritakan beberapa tempat yang mereka kunjungi kepada ibunya.
"Ah.. Ibu sangat senang mendengarnya. Ibu sangat menyukai Swiss. Kau ingat tidak, kita dulu sering liburan ke sana?" tanya ibu Haoran.
Pemuda itu mengangguk. "Masih. Rumah kita di Jenewa juga masih ada. Tetapi aku sudah lama tidak bepergian dengan ayah. Baru kemarin aku ke Swiss lagi bersama Emma."
"Ah, ya. Kalian harus sering jalan-jalan berdua. Buat banyak kenangan indah." Ibu Haoran menasihati anaknya. Haoran hanya mengangguk.
Tentu saja. Ia dan Emma akan membuat banyak kenangan bersama. Bukan hanya di bumi, melainkan hingga ke ujung dunia bersama.
Mereka menghabiskan waktu seharian dan kemudian tinggal untuk makan malam. Walaupun ibu Haoran sangat ingin lebih lama bersama anaknya, ia sadar bahwa mereka harus pulang ke hotel untuk beristirahat dan mempersiapkan diri karena besok mereka akan menikah.
Dengan berat hati ia melepas mereka pergi saat makan malam usai. Ketika ia mengantar Haoran keluar pintu gerbang, ibu Haoran menarik anaknya pelan dan berbisik di telinganya.
Wajah Haoran seketika memerah. Ia mengangguk dan tersenyum kepada ibunya. "Tentu saja, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan. Aku pergi dulu. Besok kita bertemu di Kantor Catatan Sipil."
"Selamat beristirahat," kata ibu Haoran. Ia melambai kepada Emma yang sudah berada di samping mobil. Supir mereka membukakan pintu belakang untuk Emma dan Haoran dan keduanya segera masuk.
Haoran menurunkan kaca jendela dan melambai kepada ibunya. Ibunya balas melambai dan tersenyum haru. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan, ia lalu mengusap matanya yang basah.
Ahh... anak lelakinya sekarang sudah dewasa. Ia bahkan telah jatuh cinta dan akan segera menikah.
***
Emma menoleh ke arah Haoran dan bertanya apa yang tadi dibisikkan ibunya kepadanya di depan gerbang. Pemuda itu menggeleng dan mengunjukkan dagunya ke depan.
Emma mengerti Haoran tak ingin supirnya mendengar pembicaraan mereka.
'Memangnya supir kita bisa bahasa Inggris?' tanya Emma menggunakan telemancy. Haoran hanya mengangkat bahu.
'Siapa tahu, kan? Aku tidak mau mengambil risiko membahas hal pribadi di depan orang lain.'
'Lalu, apa yang ibumu katakan di gerbang tadi? Aku penasaran karena wajahmu lalu memerah.' Emma menatap Haoran dengan penuh selidik. 'Apakah ibumu bicara tentang hal mesum?'
'Astaga, Emma.. kau ini tidak sensitif ya...' omel Haoran. 'Ibuku TIDAK mesum. Dia tadi memberi nasihat yang sangat bagus sebagai wanita dewasa. Katanya, kita tidak boleh berhubungan seks malam ini karena besok kita akan menikah. Dia tidak mau kau besok sakit di hari pernikahan. Astaga... memangnya ibuku pikir aku ini tidak pernah dapat pendidikan seksual di sekolah? Tentu saja aku tahu itu. Saat pertama kali berhubungan intim akan menyakitkan bagi perempuan, karena itu aku tidak akan berbuat macam-macam malam ini kepadamu. Aku tak ingin kau merasakan sakit.'
Seketika Emma menyesal telah bertanya.
Wajahnya menjadi sangat merah seperti kepiting rebus. Tanpa sadar ia menekan dadanya dan batuk-batuk tanpa dapat ditahan lagi. Haoran tersenyum lebar melihatnya. Ia menepuk-nepuk bahu Emma dengan penuh kasih sayang.
'Kita melakukannya besok saja setelah pernikahan, ya. Aku akan berusaha selembut mungkin agar kau tidak terlalu merasa sakit...'
Emma cegukan dan batuknya semakin bertambah parah. Haoran menjadi kuatir. Ia buru-buru mengambil tas Emma dari bangku di sampingnya dan mengeluarkan tumbler minuman. Ia membuka tumbler itu dan membantu Emma meminumnya.
"Astaga... aku tidak akan bicara lagi," kata pria itu buru-buru.
Ia tahu Emma sangat malu.
***
Setelah tiba di suite, keduanya duduk sebentar di ruang tamu dan beristirahat. Hari ini cukup intens. Perbedaan jam dengan Swiss mulai terasa dampaknya.
Tubuh mereka telah merasa lelah karena sudah beraktivitas seharian sejak pagi, tetapi secara biologis, tubuh mereka masih merasa berada di zona waktu Eropa yang berada enam jam di belakang China.
Karena itulah mereka duduk diam di sofa besar yang empuk, tanpa melakukan apa-apa selama setengah jam. Rasanya nikmat sekali menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan mengangkat kaki ke kursi ottoman.
Pukul 8 malam, Haoran lalu menoleh ke arah Emma yang duduk di sebelahnya sambil memejamkan mata. Ia menyentuh bahu gadis itu pelan.
"Kau mau mandi dan bersiap untuk tidur?" tanyanya lembut.
Emma mengangguk.
"Tunggu di sini, aku akan menyiapkan air hangatnya," kata Haoran sambil bangkit dari sofa.
Emma seketika membuka matanya dan menatap Haoran keheranan.
"Aku kan tidak cacat. Aku bisa menyiapkan air mandi sendiri," katanya buru-buru. Ia memegang tangan Haoran dan mencegahnya ke kamar mandi untuk menyiapkan air mandir untuk Emma.
"Aku melakukan ini bukan karena kau cacat, tetapi karena aku ingin menunjukkan bagaimana aku akan memperlakukanmu dengan penuh cinta seumur hidup kita," kata Haoran. Ia tersenyum jahil. "Lagipula yang berikut-berikutnya aku melakukannya untukku juga. Kita bisa mandi bersama dan hemat air."
"Haoran...!" Emma benar-benar kehilangan kata-kata.
Sejak kapan Haoran menjadi mesum begini? pikirnya.
Akhirnya Emma hanya bisa memperhatikan punggung Haoran yang berjalan meninggalkannya. Pemuda itu masuk ke kamar mandi di master bedroom dan menyalakan air panas dan dingin di bathtub hingga ukuran yang pas dan kemudian memanggil Emma.
"Airnya sudah siap. Kau mandilah dulu. Aku masih mau bekerja," katanya sambil mengacak rambut Emma kemudian masuk ke ruang kerja membawa laptopnya.
Emma masih ternganga melihat sikap Haoran. Pikirannya memusing. Haoran benar-benar sudah memperlakukannya seperti istri. Pemuda ini memang istimewa, pikir Emma.
Dengan tersenyum simpul, akhirnya Emma masuk ke kamar mandi dan berendam di bathtub yang telah disiapkan dengan sabun dan garam mandi yang membuatnya merasa sangat relaks.
Ah… Haoran benar-benar memanjakannya.
Emma merasa sangat bersyukur.