webnovel

BAB 5.2 – Diana Charlotte

Malam semakin larut, namun rembulan masih setia memberikan sinarnya. Udara yang berembus pun kian dingin, membuat hangatnya perapian yang ada di rumah-rumah dunia manusia menjadi tidak terasa.

Namun, berbeda dengan Kastel Haltz yaitu dunia vampir. Tidak ada satu pun perapian yang dinyalakan di sini. Bagi mereka—vampir, hal ini sangat tidak berguna karena dengan ada atau tidak adanya api, mereka tetap tidak akan merasakan dingin karena tubuh mereka adalah dingin itu sendiri.

"Jadi dia berbicara dengan si kembar?” tanya Rai.

"Aku juga cukup terkejut. Tapi dia benar-benar berbicara,” balas Al.

Saat ini Rai dan Al hanya sedang berdua di ruang singgasana, tanpa adanya pelayan ataupun prajurit yang berjaga. Mereka berbicara empat mata. Dalam keadaan seperti ini, Al akan melepaskan segala panggilan hormatnya untuk Rai. Ia akan berbicara seleluasa mungkin dan Rai tidak ada masalah untuk itu. Ia bahkan merasa ini menarik, karena ada vampir yang berani berbicara tanpa hormat kepadanya.

"Tadi kau bilang namanya Diana?"

"Ya, Diana. Diana Charlotte," jelas Al.

"Apa yang akan kau lakukan pada wanita itu sekarang? Jika Harawaltz tahu ada seorang manusia di sini, maka ini akan sangat berbahaya. Keberadaannya dapat menyebabkan konflik," sambungnya.

Rai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan mempertajam pendengarannya, "Di mana mereka?"

“Siapa yang kau maksud?"

"Si kembar. Di mana mereka?"

"Mereka ada di kamar wanita itu dan sepertinya mereka tertidur di sana.”

Ia mengerutkan keningnya, "Tertidur? Kau yakin mereka tertidur bukan sedang makan?" tanyanya dan Al menganggukkan kepalanya.

Rai merasa heran, ia sangat tahu adik kembarnya ini tidak akan bisa berhadapan dengan manusia. Rasa haus mereka masih tidak stabil, dan jika mereka berhadapan dengan manusia maka sudah dapat dipastikan manusia itu akan mati.

Mereka akan dihisap habis darahnya oleh vampir kembar ini, dan menghentikan mereka pada saat seperti itu adalah mustahil. Dalam keadaan lapar kekuatan mereka jauh lebih kuat dari vampir dewasa. Hal ini juga diperparah dengan fakta mereka adalah bagian dari keluarga utama Klan Haltz.

"Ini memang aneh, seharusnya mereka memakannya. Tapi sebaliknya mereka memperlakukan wanita itu seperti bagian dari kita dan—“ Ah! Al baru menyadari sesuatu.

"Apa? Kenapa dengan wajah terkejutmu itu?" tanya Rai.

“Aku... Aku baru sadar! Mereka memanggil wanita itu dengan sebutan kak!"

"Lalu...?" Rai menanggapinya dengan biasa.

"Kau tahu itu, Rai. Mereka arogan sama sepertimu, terutama Iki. Sangat mustahil bagi Iki memanggil wanita itu dengan sebutan kak! Bahkan aku saja selalu dia sebut dengan nama!"

Rai terlihat memikirkan sesuatu, "Aku tidak mengerti. Ada apa dengan sebutan “Kak”? Apa itu sesuatu yang harus kau protes?”

Al menghela napas, “Aku memang protes, tapi bukan itu yang aku maksud. Bukankah aneh memanggil wanita itu dengan “Kak Diana”? Mengapa harus memanggilnya seperti itu? Wanita itu adalah manusia bukan vampir sepertimu yang harus dihormati.”

“Aku tidak peduli. Biarkan saja mereka. Jika kau ingin protes, maka lakukan pada anak-anak itu.”

Al kembali menghela napas, “Kalian sama saja. Sia-sia sekali berbicara denganmu.”

Rai kemudian memasang wajah serius, “Pergilah ke dunia manusia dan cari informasi mengenai wanita itu. Membunuhnya sekarang akan terlalu bahaya. Kau mengerti?"

“Bunuh saja dia. Pergi ke dunia manusia terlalu merepotkan.”

“Baik, kalau begitu kau bunuh dia.”

“Tentu saja kau yang melakukannya. Aku tidak mau dan tidak bisa membunuh manusia.”

“Aku juga tidak mau membuang energi dan waktuku hanya untuk manusia. Jadi lakukan saja perintahku dan kembali secepatnya. Kau mengerti, Albert?”

Al menempelkan tangannya ke dada dan sedikit menundukkan kepalanya, "Baik, Rai," jawabnya dengan penuh penghormatan namun diikuti helaan napas.

Al pun langsung beranjak pergi, menembus gelapnya Hutan Silver dan menghilang di antara barisan pepohonan. Sementara itu, Rai sedikit menyunggingkan sudut bibirnya, memikirkan perkataan Al sebelumnya.

"Ini sangat menyenangkan," ujar Rai.

***

Kesenangan Rai harus terganggu ketika dua adiknya tiba-tiba mendatanginya.

"Aku lupa bilang. Jangan temui aku seenaknya, jika kalian memerlukan sesuatu, temui Albert dan minta padanya," jelas Rai dengan dingin.

Ika langsung menunduk dan bersembunyi di balik tubuh Iki. Iki sendiri dengan setengah berani melangkah maju dan menatap Rai.

"Harusnya kami yang tidak senang dan marah, bukan Kakak," ucap Iki.

"Apa?"

"Kakak yang berbohong pada kami, tapi malah Kakak yang marah. Bukankah ini tidak adil."

Rai menghela napasnya, "Lalu kalian pikir kembali ke sini tanpa pemberitahuan akan membuatku senang? Kalian adalah anak dari Klan Haltz, adik-adikku. Kalian setidaknya mengerti bahwa hal yang kalian lakukan sangat tidak bertanggung jawab."

"Tanggung jawab?! Kakak berani mengatakan hal itu kepada kami?!!" suara Iki meninggi, Ika langsung menarik lengan bajunya, berusaha menghentikan pembicaraan ini. Namun, Iki sama sekali tidak berniat berhenti.

"Kakak sendiri yang tidak mengerti tanggung jawab! Seperti yang Kakak bilang, kami adalah anak dari Klan Haltz, adik-adikmu. Kami memiliki hak untuk kembali ke sini. Tanggung jawab kami untuk kembali dan menjadi bagian dari Klan Haltz!"

Rai berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri, Iki terkejut, nyalinya mendadak surut tapi ia tidak dapat begitu saja mundur.

"Aku tidak mau membicarakan apapun kepada anak kecil yang bahkan tidak mengerti apa yang ia katakan. Jadi pergilah, atau aku yang akan menyeret kalian keluar!"

Ika mengigit bibir karena takut mendengar bentakan Rai. Tapi ia berusaha memberanikan diri dan ikut berbicara.

"Apa yang Iki katakan itu benar!" seru Ika.

"Kau juga?" respons Rai karena Ika ikut-ikutan berbicara.

Rai berbalik dan kembali duduk di singgasananya, "Jika kita berada di kerajaan, maka kau adalah seorang putri, Ika. Kau adalah satu-satunya putri dalam kerajaan. Menurutmu, apa tanggung jawabmu?"

"Jangan berbicara berputar-putar dengan Ika!" seru Iki.

"Sttt..." Rai memandang tajam Iki, membuatnya langsung menunduk, "Aku sedang berbicara dengan Ika, jadi diamlah."

Ika melihat ke arah Iki, dengan perlahan ia menjawab, "Tentu saja aku harus berkontribusi untuk kerajaan."

"Aku adalah Raja, karena aku belum menikah dan punya anak, maka Iki adalah calon penerus kerajaan. Lalu kau sebagai putri, apa kontribusi yang kau katakan tadi?"

Iki menunduk karena ia tidak tahu jawabannya.

"Jika aku tidak ada, maka Iki akan menjadi Raja. Kau tahu? Ketika menjadi Raja, maka dirinya bukanlah milik dirinya sendiri, tapi milik rakyatnya. Tidak ada lagi Iki di dunia ini, yang ada hanyalah Raja Haltz. Kau sebagai putri tidak bisa selamanya tinggal di kerajaan. Kau memiliki kekuatan, dan keberadaan kalian dalam satu kerajaan akan membuat kekuatan tidak seimbang. Kau akan membahayakan Iki, dan begitupun sebaliknya."

Rai menatap tajam keduanya, "Suka atau tidak suka, kau harus keluar dari kerajaan. Entah itu menikah, tinggal di tempat lain, atau bahkan berkelana. Itulah tanggung jawabmu. Iki tentu saja tidak bisa melakukan apapun. Tidak ada lagi keluarga baginya. Raja hanya seseorang yang berdiri sendiri tanpa siapapun."

"Jadi, maksud Kakak, aku harus pergi meninggalkan klan ini?" dan tetes mata pun terjatuh di pipi Ika.

"Kakak tidak seharusnya mengatakan hal itu pada Ika!" teriak Iki marah.

Rai menghela napas, "Kalian mengatakan tanggung jawab, tapi hal seperti ini saja kalian tidak tahu. Aku hanya memberitahukannya dan kalian marah."

"Tapi--"

"Iki..." Rai memanggilnya dengan nada yang sangat dingin, "Saat ini, akulah Rajanya. Raja tidak memiliki seorang pun di sisinya, termasuk keluarga. Raja tidak bisa melindungi siapapun kecuali rakyatnya. Kalian memang rakyatku, kalian berhak mendapat perlindunganku. Tapi, kalian bukanlah rakyat biasa. Kalian adalah anggota kerajaan, tentu hak tersebut menjadi tidak valid. Pada akhirnya seorang Raja hanya bisa memilih rakyatnya."