webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · Urban
Zu wenig Bewertungen
174 Chs

Part 28- Bertemu Arsen

KANYA

Aku sedang berada di sebuah outlet barang branded di salah satu mall Surabaya saat sebuah tangan menyentuh lenganku.

"Mbak Kanya 'kan?" aku yang sudah terlanjur menoleh, memicingkan mata. Aku berpikir sejenak, apakah aku mengenal laki-laki charming lagi selain Naren? Jawabannya kurasa tidak.

Laki-laki di depanku tersenyum. Jenis senyuman yang bisa memikat hati siapa pun. Tapi sayangnya tidak untukku. Aku bisa mendapatkan senyum yang lebih menawan lagi dari Naren. Ah sial! Lagi-lagi pikiranku kembali pada laki-laki itu.

"Maaf, siapa ya?" tanyaku pada akhirnya karena tidak berhasil mengingat kenalanku yang berwajah seperti laki-laki ini.

"Aku Arsen, Mbak. Masa kamu lupa?"

Arsen yang aku kenal hanya adik dari Naren. Apa? Aku terkejut mendapati sosok tinggi di hadapanku. Jika dipikir-pikir dia memang mirip Naren. Kenapa loading-ku lama sekali.

"Arsen?"

"Iya, Mbak Kanya apa kabar?"

"Aku baik. Arsen kamu, kamu ada di sini juga?"

"Oh, akhirnya aku bisa menemukan Mbak Kanya."

Kukihat Arsen mengusap wajah. Seolah bertemu denganku adalah sebuah penantian panjang yang dia tunggu.

"Memangnya kamu mencariku? Bahkan kita baru bertemu lagi setelah sekian tahun Arsen."

Dia malah tertawa. Padahal aku bicara serius. "Bukan aku Mbak. Tapi Kak Naren. Astaga Mbak. Aku di sini tuh buat bujuk dia kembali ke Jakarta. Eh malah aku disuruh bantu dia nyari Mbak Kanya."

"Apa?"

"Mbak Kanya menghilang kemana sih sampe bikin Kak Naren kaya orang stress begitu?"

"A-aku... "

"Kanya, aku udah nemuin sepatu yang cocok."

Ucapanku terpotong oleh kemunculan suara Kenan. Kontan aku dan Arsen menoleh.

"Oh, Hay,"  sapa Kenan mendekat. Seolah mengerti apa yang Kenan pikirkan, lebih baik aku mengenalkan Arsen.

"Kenan dia Arsen adik dari Naren, Arsen dia Kenan dia..."

"Saya Kenan, calon suami Kanya."

Mataku sudah lebih dulu melebar saat Kenan menyambar kalimatku, tangannya terulur.

Aku melihat sebuah tanda tanya besar di atas kepala Arsen. Dia seperti orang kebingungan saat menjabat tangan Kenan.

"Ini serius calon suami Mbak Kanya?"

Aku hendak menjawab pertanyaan Arsen ketika Kenan merangkul pundakku.

"Serius dong, masa bohongan."

Kalau boleh, aku ingin mengumpat. Laki-laki ini benar-benar menikmati kebingungan Arsen.

"Ini kami lagi mempersiapkan. Dimulai dari mencari sepatu baru." Dia mengangkat sepasang sepatu yang dari tadi ditentengnya.

Aku cuma bisa menghela napas melihat keisengan Kenan.

Arsen mengangguk. "Selamat ya buat kalian. Semoga acaranya lancar. Mbak Kanya, sebenernya aku mau bicara sesuatu. Tapi waktunya kurang tepat." Dia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Sebuah kartu nama dia sodorkan. "Aku harap Mbak Kanya, mau menghubungiku nanti."

Aku meraih kartu nama itu.

"Aku pergi dulu, Mbak. Dan calon suami... Sampe ketemu lagi. Bye!"

Aku menggeplak bahu Kenan begitu Arsen berlalu. "Nggak cukup kamu bikin jengkel Naren tiap kali ketemu, sekarang adiknya juga kamu bikin salah paham."

Kenan mengangkat alisnya. "Kenapa? Apa kamu takut dia memberitau prince charming-mu itu."

Aku memutar bola mata, malas. "Mending sekarang kamu bayar sepatumu itu, lalu kita pulang."

Baru semalam Kenan bercerita, kalau dia akan mengajar di ITS. Hanya untuk satu semester saja. Dia diundang langsung dari pihak sana. Aku pikir dia hanya menghadiri seminar dan workshop dari fakultas, pantas dia bilang akan lama berada di Surabaya. Jadilah aku di sini, mengantarnya membeli sepatu pantofel untuknya mengajar. Dalihnya simpel, dia lupa membawa sepatu kerja.

***

Aku membolak-balik kartu kecil yang Arsen berikan kemarin. Menimang apakah aku harus menghubunginya atau tidak. Ada rasa ingin tahu, apa yang hendak dia katakan kepadaku. Tapi ada dorongan hatiku yang lain agar aku abaikan saja.

Tapi sayangnya keinginantahuanku lebih kuat dari rasa tidak peduliku. Maka saat nomor kontak Arsen sudah terpampang jelas di layar ponsel, aku sentuh juga ikon deal dan langsung tersambung.

Tidak membutuhkan waktu lama karena panggilanku langsung dijawab.

"Ya Halo, dengan siapa ini?" sapa Arsen di sana.

"Aku Kanya,  Arsen."

"Oh Mbak Kanya. Aku udah tunggu-tunggu."

Syukurlah, setidaknya rasa kepo yang aku miliki tadi tidak terasa memalukan karena Arsen memang sedang menunggu teleponku.

"Mmm, Arsen. Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?"

"Sepertinya nggak enak kalo kita bicara di telepon. Gimana kalo kita ketemu aja. Mbak ada waktu?"

"Baik, kapan?"

"Malam ini di TP gimana?"

"Oke, deal."

Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya akan Arsen bicarakan saat aku sudah menutup panggilanku. Tapi perasaanku mengatakan masih ada sangkut pautnya dengan Naren. Apalagi, satu-satunya yang menghubungkan aku dengan anak itu ya karena aku dulu pernah menjalin hubungan dengan kakaknya.

***

Aku memasuki salah satu restoran jepang di TP sesuai pesan yang Arsen kirim. Dia yang menentukan lokasi kami bertemu. Dan aku sudah bisa menemukannya di sana. Dia melambaikan tangan ke arahku.

"Hay, udah lama?" tanyaku begitu sampai di depannya.

"Nggak kok. Duduk, Mbak. Kita pesan dulu yah."

Aku mengangguk dan duduk bersebrangan dengannya. Banyak yang berubah dari laki-laki di depanku. Badannya lebih berisi dari terakhir yang aku lihat waktu itu. Dan tingginya hampir sama dengan Naren. Ketampanan yang mereka miliki menurun dari Om Damian.

"Mbak, apa kabar?" tanya Arsen saat pelayanan yang mencatat pesanan kami berlalu.

"Aku baik. Kamu sendiri nampaknya sangat, sangat baik. Sudah nampak dewasa."

Arsen terkekeh. "Aku udah 23 tahun, Mbak. Masa kayak bocah terus."

"Oya, kalo gitu siapa pacar kamu sekarang?"

"Aku? Nggak punya."

"Kamu nggak punya? Itu mustahil."

"Capek  pacaran terus, Mbak. Mending langsung nikah aja."

"Ya sudah. Kenapa nggak kamu lakukan?"

"Apa? Aku nikah? Kak Naren aja belum. Aih, kenapa jadi bahas aku sih? Yang mau nikahkan Mbak Kanya sama laki-laki kemarin itu."

Aku jadi ingat pertemuan tak sengaja di outlet sepatu kemarin. Kenan yang menyebalkan. Laki-laki itu sedang keluar, saat aku pergi tadi.

"Jangan dengarkan dia."

"Jadi itu nggak beneran?"

"Ya, nggaklah. Kenan itu temanku."

"Syukurlah kalo itu nggak bener. Kak Naren nggak jadi bunuh diri."

Aku melotot. "Eh, apa maksudnya?"

"Maksudnya seandainya Mbak Kanya nikah sama laki-laki lain, Kak Naren akan mati. Soalnya dia nggak bisa hidup tanpa kamu, Mbak."

Omong kosong. Nyatanya dia masih bernapas hingga saat ini. Obrolan kami terjeda saat pelayan mengantarkan pesanan kami.

"Sebenarnya aku mau minta tolong sama Mbak Kanya," ujar Arsen. Aku yang hendak membuka bungkus sumpit beralih menatapnya.

"Apa yang bisa aku bantu?"

"Pertama, aku ingin Mbak Kanya mendesaign logo brand yang sedang aku bikin. Aku sedang merintis bisnis di bidang sandang, Mbak."

Aku mengangguk. Sebenarnya Kenan yang lebih jago dalam mendesign sebuah logo. Tapi bukan berarti aku tidak bisa.

"Kedua, aku minta tolong sama Mbak Kanya agar mau menikah dengan Kak Naren."

Gerakan tanganku yang sedang menyumpit ramen di mangkok, terhenti. Sepertinya permintaan tolong Arsen yang kedua agak menyulitkanku.

"Aku bisa membantumu membuat logo brand-mu Arsen. Tapi kalo untuk yang kedua, aku nggak bisa membantu kamu."

"Kalian masih saling cinta kan? Lalu apa masalahnya?"

Apa yang seperti ini harus aku bicarakan juga dengan Arsen?

"Mungkin kami memang nggak berjodoh."

"Ayolah Mbak, pikirkan lagi. Kalian berdua pasangan serasi. Dari dulu aku suka hubungan kalian."

"Apa Naren yang menyuruhmu untuk membicarakan ini?"

Arsen menggeleng. "Aku ke sini untuk menyusul Kak Naren. Tapi dia kekeh nggak mau pulang ke Jakarta dan nggak mau mengurus perusahaan lagi jika dia nggak berhasil menikah dengan Mbak."

Kuangkat sudut bibirku. "Itu konyol."

"Itu konyol dan nggak banget. Tapi Kak Naren serius mengatakan itu. Dan kamu tau Mbak, aku sama sekali nggak tertarik dengan bidang yang Papa jalani. Makanya aku buka usaha lain yang aku suka. Dan anak Papa yang bisa melanjutkan itu hanya Kak Naren."

Itu terdengar seperti akal-akalan Naren saja. Menikah denganku atau pun tidak, perusahaan itu akan tetap jatuh ke tangan dia. Jadi, menjadikan aku sebagai alasan untuk dia meneruskan usaha Papanya rasanya sangat tidak masuk akal.

PS. Maaf kalau banyak typo karena ditulis on the spot. Dan terima kasih buat yg sudah mau ngoreksi typonya.